ZIARAH MAKAM NABI MUHAMMAD

    Author: Unknown Genre: »
    Rating




    Ziarah kepada Nabi saw. Merupakan Amal Terafdol dalam Pandangan al-Hafidz Ibnul Qayyim



    Al-Imam al-Hafidz Ibnul Qayyim dalam kasidahnya yang dikenal dengan nama (kasidah) an-Nuniyah mengatakan,

    فَإِذَا أَتَيْنَا الْمَسْجِدَ النَّبَوِي صَلَّ = ـيْنَا التَّحِيَّةَ أَوَّلاً ثِنْتَانِ
    بِتَمَامِ أَرْكَانٍ لَهَا وَخُشُوْعِهَا = وَحُضُوْرِ قَلْبٍ فِعْلِ ذِى الْإِحْسَانِ
    ثُمَّ انْثَنَيَا لِلزِّيَارَةِ نَقْصُدُ الْـ = ـقَبْرَ الشَّرِيْفَ وَلَوْ عَلَى الْأَجْفَانِ
    فَنَقُوْمُ دُوْنَ الْقَبْرِ وَقْفَةَ خَاضِعٍ = مُتَذَلِّلٍ فِى السِّرِّ وَالْإِعْلاَنِ
    فَكَأَنَّهُ فِى الْقَبْرِ حَيٌّ نَاطِقٌ = فَالْوَاقِفُوْنَ نَوَاكِسُ الْأَذْقَانِ
    مَلَكَتْهُمْ تِلْكَ الْمَهَابَةُ فَاعْتَرَتْ = تِلْكَ الْقَوَائِمَ كَثْرَةُ الرَّجْفَانِ
    وَتَفَجَّرَتْ تِلْكَ الْعُيُوْنُ بِمَائِهَا = وَلَطَالَمَا غَاضَتْ عَلَى الْأَزْمَانِ
    وَأَتَى الْمُسَلِّمُ بِالسَّلاَمِ بِهَيْبَةٍ = وَوَقَارِ ذِى عِلْمٍ وَذِى إِيْمَانِ
    لَمْ يَرْفَعِ الْأَصْوَاتَ حَوْلَ ضَرِيِْحِهِ = كَلاَّ وَلَمْ يَسْجُدْ عَلَى الْأَذْقَانِ
    كَلاَّ وَلَمْ يَرَ طَائِفًا بِالْقَبْرِ أُسْـ = ـبُوْعًا كَأَنَّ الْقَبْرَ بَيْتٌ ثَانِ
    ثُمَّ انْثَنَى بِدُعَائِهِ مُتَوَجِّهًا = لِلّهِ نَحْوَ الْبَيْتِ ذِى الْأَرْكَانِ
    هذِهِ زِيَارَةُ مَنْ غَدَا مُتَمَسِّكًا = بِشَرِيْعَةِ الْإِسْلاَمِ وَالْإِيْمَانِ
    مِنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ هَاتِيْكَ الزِّيَا = رَةُ وَهِيَ يَوْمَ الْحَشْرِ فِى الْمِيْزَانِ
    Jika kami tiba di Masjid Nabawi, maka pertama kali kami shalat Tahiyatul Masjid dua rakaat.
    Dengan menyempurnakan rukun-rukunnya, khusyu’, dan hudlur hati, seperti perbuatan orang-orang yang ihsan.
    Kami kemudian bertolak untuk ziarah menuju makam mulia, walau hanya dengan pelupuk mata.
    Kami berdiri di muka makam laksana berdirinya orang yang khudlu lagi rendah diri di waktu tersembunyi dan terang-terangan.
    Seakan-akan beliau hidup nan dapat berbicara di dalam makam. Orang-orang yang berdiri (berhenti) sama menundukkan kepala.
    Mereka terkuasai oleh kewibawaan. Maka, bergetar dan menggigillah telapak kaki.
    Mata mengucurkan air mata, yang lama sekali masa surutnya.
    Orang lalu menyampaikan salam dengan penuh rasa hormat dan penuh ketenangan sebagai orang yang berilmu dan beriman.
    Dia tidak meninggikan suara di sekitar makam beliau. Jangan begitu. Dia juga tidak mensujudkan kepala.
    Tidak boleh begitu. Dia tidak boleh pula memancangkan niat untuk thawaf seminggu seakan-akan makam adalah rumah kedua.
    Kemudian beranjak berdoa menghadap kepada Allah pada arah Baitullah yang memiliki sudut-sudut.
    Inilah ziarahnya orang yang senantiasa berpegang teguh dengan syariat Islam dan iman.
    Ziarah itu adalah amal yang paling afdol dalam timbangan amal pada hari penghimpunan.
    (Qasidah Nuniyah karya Ibnul Qayyim hal. 181)


    Adab Ziarah kepada Nabi saw.

                Hendaknya tidak meninggikan suara di masjid Rasulullah saw. Sungguh telah diceritakan bahwa Amirul mukminin, al-Manshur, bermunadzarah (bertukar pikiran) dengan Imam Malik di dalamnya. Imam Malik lalu berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mu’minin, jangan engkau tinggikan suaramu di masjid Nabawi ini. Sesungguhnya Allah swt. telah mengajarkan adab pada kaum dengan firman-Nya,
    إِنَّ الَّذِيْنَ يَغُضُّوْنَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ أُولئِكَ الَّذِيْنَ امْتَحَنَ اللهُ قُلُوْبَهُمْ لِلتَّقْوَى
     “Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa.” (Q.S. al-Hujurat: 3)
    Dan telah mencela satu kaum dengan firman-Nya,
    إِنَّ الَّذِيْنَ يُنَادُوْنَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُوْنَ
    “Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu) kebanyakan mereka tidak mengerti.” (Q.S. al-Hujurat: 4).
    Sesungguhnya kemuliaan beliau setelah wafat tak ubahnya kemuliaan beliau saat masih hidup.” Demikian nasehat Imam Malik. Al-Manshur lalu berubah tenang.
                Wahai saudaraku, perhatikanlah adab yang agung dari Imam Malik dan al-Manshur –rahimahumallah ta’ala- ini. Dan di shahih Bukhari dari Umar bin Khatthab ra. Ia berkata kepada dua orang dari penduduk Thaif, “Seandainya kamu berdua termasuk penduduk negeri ini niscaya aku cederai kamu dengan pukulan. Kamu berdua meninggikan suara di masjid Rasulullah saw.”
                Dalam kitab Dzirwatul Wafa karya as-Samhudi diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq bahwasanya dia berkata, “Tidak pantas meninggikan suara kepada Nabi saw. baik di waktu masih hidup maupun sesudah wafat.” Sesungguhnya Aisyah ra. dahulu jika ada pasak atau paku dipasang di sebagian rumah yang berada di sekitar Masjid Nabawi, maka ia mengirim utusan/surat kepada mereka agar mereka tidak menyakiti Rasulullah saw. Aku berkata, “Tindakan Aisyah demikian dalam rangka membatasi pada kadar kecukupan di dalam hal itu, karena melakukan sesuatu yang berlebih di hadrah yang mulia bukanlah termasuk adab (terpuji). Nabi saw. merasa tersakiti oleh orang yang tidak menjaga kesempurnaan adab bersama beliau karena beliau hidup di dalam dua alam.”

    Dikhususkannya Syafaat yang Spesial bagi para Peziarah

    مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شََفَاعَتِيْ
    “Barangsiapa menziarahi makamku maka ‘wajabat lahu syafa’ati’ (dia berhak mendapatkan syafaatku).”
    Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Adiy dan al-Baihaqi dari Ibnu Umar ra. Sementara al-Baihaqi meriwayatkan dari Anas ra.,

    مَنْ زَارَني بِالْمَدِيْنَةِ مُحْتَسِبًا كُنْتُ لَهُ شَهِيْدًا وَشَفِيْعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
    “Barangsiapa menziarahi aku di Madinah dengan ikhlas (hanya mengharap pahala dari Allah ta’ala), maka aku akan menjadi penyaksi dan penolong (pemberi syafaat) baginya pada hari kiamat.”
    Makna “wajabat lahu syafa’ati” adalah dia berhak, layak, dan mesti mendapatkan syafaatku, yakni permohonanku kepada Allah ta’ala agar Allah mengampuninya. As-Subki berkata, “Yang dikehendaki dari dikhususkannya syafaat padanya mungkin bermakna bahwa para peziarah mendapatkan syafaat yang spesial yang tidak diraih oleh selain mereka baik secara umum maupun khusus. Atau yang dikehendaki adalah para peziarah disendirikan dengan satu syafaat yang tidak bisa dicapai oleh selain mereka sebagai bentuk memuliakan dan meninggikan mereka. Atau yang dikehendaki adalah, dengan berkah ziarah, mereka berhak masuk pada kalangan orang-orang yang mendapatkan syafaat. Faedah dari berita gembira ini adalah dia akan meninggal dunia dalam keadaan muslim.
    Kesimpulannya, faedah ziarah bisa jadi adalah meninggal dunia dalam keadaan memeluk agama Islam secara mutlak bagi setiap peziarah. Bisa jadi juga suatu syafaat yang dikhususkan kepada peziarah lebih banyak daripada kalangan pada umumnya.
    Dan sabda berbunyi “syafa’ati’ (syafaatku), dengan dinisbatkan kepada beliau, merupakan bentuk memuliakan kepada beliau, karena para malaikat dan orang-orang tertentu dari kalangan manusia juga memberikan syafaat. Bagi peziarah ada penisbatan yang khusus. Nabi saw. memberikan sendiri syafaat padanya. Dan sabda beliau pada hadits yang lain, “Man zarani bil Madinah muhtasiban” (barangsiapa menziarahi aku di Madinah dengan ikhlas), yakni di waktu hidupku dan di waktu sesudah wafatku seraya berniat dengan ziarahnya karena Allah dan untuk meraih pahala dari-Nya, maka aku akan menjadi penyaksi dan penolong baginya, yakni menjadi penyaksi bagi orang yang taat dan menjadi penolong bagi orang yang durhaka. Ini adalah keistimewaan yang lebih daripada persaksian beliau atas seluruh umat dan daripada syafaat beliau yang bersifat umum. Para ulama berkata, “Menziarahi makam mulia beliau termasuk bagian dari kesempurnaan haji, bahkan menurut kalangan sufi, menziarahi beliau hukumnya fardlu. Bagi mereka, hijrah menuju kepada makam beliau semasa beliau telah wafat tak ubahnya hijrah menuju kepada beliau semasa beliau hidup.
    Al-Hakim at-Tirmidzi berkata, “Menziarahi makam al-musthafa (sosok manusia pilihan) merupakan hijrah. Maka, pasti beliau tidak akan mengedewakan para peziarahnya. Beliau justeru akan menetapkan atas mereka syafaat yang menegakkan kemuliaan ziarah mereka.”

    Keistimewaan dan Nilai Lebih Kota Madinah al-Munawwarah

    Imam Zarkasyi membuat pasal khusus mengenai hal ini. Dan aku telah meringkasnya dan menyebut hal terpenting darinya yang lebih dekat pada tema dan yang sahih dalam masalah ini.
                Pertama, sesungguhnya pondasi masjid kota Madinah Munawwarah didirikan oleh kaum muhajirin yang pertama kali dan kaum anshar yang terdahulu di atas tangan penghulu para nabi. Mereka adalah sebaik-baik umat ini. Di dalam hal ini tidak diragukan lagi terdapat kemuliaan lebih daripada selainnya.
                Dan kota Madinah memuat satu kapling tanah yang ia adalah tanah lapang di muka bumi yang paling afdol menurut ijma’ ulama’. Ia adalah satu tempat yang menggenggam tubuh Nabi saw. Ijma’ ini diceritakan oleh qadli Iyadh dan lainnya. Mengenai hal ini, sebagian ulama mengatakan,
    جَزَمَ الْجَمِيْعُ بِأَنَّ خَيْرَ الْأَرْضِ مَا = قَدْ حَاطَ ذَاتَ الْمُصْطَفَى وَحَوَاهَا
    وَنَعَمْ لَقَدْ صَدَقُوا بِسَاكِنِهَا عَلَتْ = كَالنَّفْسِ حِيْنَ زَكَتْ زَكَى مَأْوَاهَا
    “Semua menetapkan bahwa sebaik-baik bumi adalah bumi yang menggenggam tubuh al-Musthafa. Dan iya, mereka benar. Bumi menjadi luhur disebabkan sosok penghuninya, seperti halnya jiwa, jika jiwa itu suci, maka suci pulalah tempat domisilinya.”

                Kedua, diharamkannya buruan dan pepohonan kota Madinah bagi orang yang halal maupun bagi orang yang tengah ihram seperti halnya kota Makkah, berbeda dengan pendapatnya Imam Abu Hanifah, berdasarkan sabda beliau, “Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan (menjadikan sebagai tanah haram) Makkah dan sesungguhnya aku telah mengharamkan Madinah. Di antara dua sisi kota Madinah, pepohonannya tidak boleh ditebang dan binatangnya tidak boleh diburu.” (H.R. Muslim)
    Ketiga, diharamkan memindah tanah atau bebatuan di wilayah haram Madinah keluar dari haram Madinah. Hal ini didasarkan pada keumuman haramnya sesuatu yang berada di dua sisi kota Madinah.
    Keempat, dianjurkan tinggal berdekatan dengan kota Madinah karena di dalam hal itu terdapat derajat dan kemulian berlebih yang bisa diraih.
    Kelima, shalat di Masjid Nabi saw. bernilai lebih dibanding shalat di lainnya dengan perbandingan seribu kali shalat. Di dalam dua kitab hadits shahih dari Abu Hurairah ra. diceritakan, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih utama daripada seribu kali shalat di lainnya kecuali masjidil haram.” Imam Nawawi berkata, “Keutamaan ini mencakup shalat fardlu dan shalat sunnah, laksana Makkah.”
    Demikianlah an-Nawawi berkata dalam syarah Muslim. Dan dalam syarah Muhaddzhab, an-Nawawi menuturkan, “Pandangan yang teliti adalah bahwa sesungguhnya shalat sunnah di rumahnya itu lebih afdol daripada di masjid, dan sesungguhnya (kawasan) haram kota Madinah tidaklah seperti masjidnya di dalam hal pelipatgandaan pahala.
    Keenam, sesungguhnya Allah swt. memberikan pahala kepada orang-orang yang sengaja menuju kepada kota Madinah berupa pahala haji dan umrah. Mengenai haji, Ibnu Jauzi menuturkan dengan jalur periwayatan dari sahabat Abu Umamah bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa keluar dalam keadaan suci tidak menghendaki kecuali shalat di masjidku sehingga ia dapat melakukan shalat di dalamnya, maka dia berkedudukan laksana haji.” Adapun mengenai pahala umrah, adalah dengan menziarahi masjid Quba. Di dalam ash-shahih disebutkan, “Shalat di masjid Quba itu laksana umrah.”
    Dan di dalam ash-shahih dari Ibnu Abbas ra. diceritakan bahwa Rasulullah saw. mendatangi masjid Quba dengan berkendaraan dan berjalan kaki, maka beliau shalat dua rakaat di dalamnya (riwayat lain menyebutkan, beliau mendatanginya setiap sabtu). Dan hal itu ditekankan.
    Ketujuh, dianjurkan menghabiskan umur di kota Madinah, agar dapat meninggal dunia di dalamnya. Dahulu kaum muhajirin (orang-orang yang berhijrah) ke Madinah tidak menyukai meninggal dunia di kota selainnya. Mereka memohon kepada Allah azza wa jalla agar diwafatkan di dalamnya. Dalam shahih Bukhari dari hadits Zaid bin Aslam dari ayahnya dari Umar bin Khatthab bahwasanya dia berdoa, “Ya Allah, karuniakanlah aku kesyahidan di jalan-Mu, dan jadikanlah matiku di negeri Rasul-Mu.”
    Imam Nawawi dalam al-Adzkaar membuat satu judul bab, bab dianjurkannya seseorang berdoa memohon meninggal dunia di negeri yang mulia. Diriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa bisa meninggal di Madinah, maka hendaklah ia meninggal di dalamnya, karena sesungguhnya aku akan memberikan syafaat kepada orang yang meninggal di dalamnya.” (H.R. Tirmidzi, dan katanya, “hadits ini hasan shahih lagi asing dari sisi ini). Dan mengenai bab ini ada riwayat pula dari Subaiah binti al-Harits al-Aslamiyah. Ad-Daraquthni di dalam kitab al-Ilal al-Kabir ditanya mengenai hadits itu, dia lalu mengokohkan kesahihan hadits tersebut dengan uraian yang panjang bila disebutkan.
    Kedelapan, penduduk kota Madinah mendapatkan keistimewaan berupa nilai lebih syafaat dan kemuliaan di banding umat-umat selain mereka.
    Dalam kitab Mu’jam ath-Thabarani dari haditsnya Qasim bin Habib dari Abdul Malik bin Abbad dari Abdullah bin Ja’far berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang pertama kali aku berikan syafaat dari kalangan umatku adalah penduduk Madinah, kemudian penduduk Makkah, kemudian penduduk Thaif.” Dan al-Bazzar juga meriwayatkannya di dalam Musnadnya dengan menggunakan “wawu” (dan), kemudian dia (al-Bazzar) berkata, “Dan Abdul Malik bin Abbad aku tidak mengetahuinya meriwayatkan hadits dari Nabi saw. kecuali hadits ini dengan jalur sanad ini.”
    Dan di dalam “ash-shahihain” dari Abu Hurairah dan lainnya disebutkan, “Barangsiapa tabah (tahan derita) atas cobaan-cobaan kota Madinah dan kekerasannya, maka aku akan menjadi penyaksi (atau pemberi syafaat) baginya pada hari kiamat.”
    Kesembilan, adanya keberkahan di dalam sha’, mud, dan takaran penduduk kota Madinah, karena Nabi saw. mendoakan keberkahan kepada mereka di dalamnya.
    Kesepuluh, diistimewakannya kota Madinah dengan satu kapling tanah yang berada di antara makam dan mimbar. Di dalam ash-shahih disebutkan, “Apa yang ada antara makamku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga.”
    Kesebelas, sesungguhnya Dajjal tidak akan dapat memasukinya sebagaimana ia juga tidak dapat memasuki kota Madinah. Di dalam ash-shahihain dari hadits Anas secara marfu’ disebutkan, “Sesungguhnya Dajjal tidak akan menginjak Makkah dan juga tidak akan menginjak Madinah. Sesungguhnya ia datang sehingga turun di sisi kota Madinah, lalu bergoncanglah kota Madinah tiga kali, maka keluarlah setiap orang kafir dan orang munafiq kepada Dajjal.” Dalam riwayat Bukhari dari Abu Bakar dari Nabi saw., “Pengaruh al-Masih ad-Dajjal tidak akan memasuki kota Madinah. Saat itu kota Madinah memiliki tujuh pintu. Setiap pintu dijaga dua malaikat.” Dan dalam hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra., “Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Al-Masih datang dari arah timur, dan tujuannya adalah kota Madinah, sehingga ia turun (tinggal) di belakang Uhud, kemudian Malaikat mengarahkan mukanya kea rah Syam. Dan di sanalah ia hancur.” Di dalam ash-shahihain juga disebutkan, “Tidak ada satu negeri kecuali akan diinjak oleh Dajjal selain Makkah dan Madinah.”
    Kedua belas, sesungguhnya penyakit thoun tidak akan memasuki kota Madinah. Dan ini termasuk keistimewaannya. Di dalam ash-shahihain dari hadits Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Di atas lorong-lorong (anqab) kota Madinah ada malaikat-malaikat yang tidak dimasuki oleh wabah thoun dan juga Dajjal.” Satu riwayat dari Imam Bukhari dari Abu Hurairah menyebutkan, “Tidak didekati oleh Dajjal dan tidak pula oleh thoun, jika Allah menghendaki.” Kata ‘anqab’ adalah bentuk plural dari kata nuqb atau niqb, yakni jalan raya di puncak gunung. Al-Akhfasy berkata, “Makna anqabul Madinah adalah jalan-jalan dan lembah-lembah kota Madinah.”
    Ketiga belas, sesungguhnya ia menelan negeri-negeri. Disebutkan dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku diperintahkan (berhijrah) menuju satu negeri yang menelan negeri-negeri, mereka menyebutnya ‘Yatsrib’, dan ia adalah kota Madinah.”
    Keempat belas, kota Madinah laksana ububan tukang besi di dalam menghilangkan kotoran darinya. Dalam ash-shahihain dari hadits Jabir diterangkan, “Sesungguhnya seorang penduduk pelosok berbaiat untuk (komitmen) berislam kepada Nabi saw., lalu dia terserang demam di kota Madinah. Katanya, “Wahai Muhammad, batalkanlah baiatku.” Rasulullah saw. tidak mau, lalu keluarlah si penduduk pelosok tadi. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kota Madinah laksana ububan tukang besi yang menghilangkan kotorannya sekaligus mengkilatkan kebaikannya.”
    Kelima belas, seseorang tidak meninggalkan kota Madinah karena merasa tidak senang dengannya (raghbatan anha) kecuali Allah akan menggantinya dengan orang yang lebih baik daripadanya di dalamnya, sebagaimana disebutkan dalam ash-shahih. Mengenai makna hadits ini, ada pendapat. Pertama, ia dikhususkan semasa hidup Baginda Nabi saw. Kedua, selamanya. Dan makna dari kata ‘raghiban anha’ adalah ‘zahidan fiha’ (tidak senang; menjauhi).
    Keenam belas, seseorang tidak bermaksud melakukan kejahatan kepada penduduk kota Madinah kecuali Allah akan melelehkannya di api neraka laksana lelehnya timah dan lelehnya garam di dalam air, sebagaimana disebutkan secara tegas di dalam ash-shahih. Al-Qurtubi mengatakan, “Makna lahirnya adalah bahwa Allah menyiksanya dengan hal itu di dalam neraka. Dan mungkin juga hal itu adalah bahasa kiasan tentang dihancurkannya mereka di dunia, atau dihinakannya urusannya, atau dimusnahkan kalimatnya, sebagaimana hal-hal itu telah diperbuat oleh Allah terhadap orang-orang yang memerangi kota Madinah dan membunuh penduduknya, seperti Muslim bin Uqbah. Allah menghancurkan dan mengusirnya dari Madinah. Juga seperti dihancurkannya Yazid bin Muawiyah pasca ia menyakiti penduduk Madinah. Dan sebagainya.
    Ketujuh belas, dianjurkan berpuasa di kota Madinah, bersedekah kepada penduduknya, dan berbuat kebajikan kepada mereka, karena mereka adalah para tetangga Rasulullah saw., khususnya, penduduk Madinah. Thabarani meriwayatkan dengan sanad yang lemah bahwa sesungguhnya beliau bersabda, “Bulan Ramadhan di kota Madinah lebih baik daripada 1000 bulan Ramadhan di negeri-negeri selainnya.”
    Kedelapan belas, diriwayatkan bahwa Imam Malik ra. tidak menaiki bighal di kota Madinah. Ditanyakan mengenai hal itu, Imam Malik ra. menjawab, “Aku tidak dapat menginjak dengan naik kendaraan satu tempat yang dahulu diinjak oleh Rasulullah saw. dengan berjalan kaki. Dia juga tidak mau meninggikan suara di masjid Rasulullah saw. dan berkata, “Kehormatan Rasul sewaktu hidup dan mati adalah sama, sedang Allah swt. telah berfirman,
    يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلاَ تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ
    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain. (Q.S. al-Hujurat: 2)
                Kesembilan belas, tidak berijtihad mengenai mihrab Rasulullah saw, karena sesungguhnya mihrab itu adalah hal yang benar secara pasti. Karena, ia tidak menetapi di atas kekeliruan. Maka, tidak ada ruang (lapangan) untuk berijtihad di dalamnya. Sehingga, tidak berijtihad di dalamnya dengan ke kanan dan ke kiri. Berbeda dengan mihrab-mihrab orang-orang Islam. Dan yang dimaksud dengan mihrab beliau adalah tempat shalat beliau, karena pada masa beliau belum ada mihrab.
                Kedua puluh, dianjurkan mandi untuk memasuki kota Madinah. Hal ini dikatakan oleh Abu Bakar al-Khaffaf dari kalangan Syafiiyah. Imam Nawawi menegaskan hal ini juga dalam kitab Manasiknya.
                Kedua puluh satu, Imam Bukhari meriwayatkan, “Barangsiapa membiasakan setiap pagi memakan 7 kurma ajwah maka racun maupun sihir tidak akan mencederainya pada hari itu.” Hadits ini diucapkan oleh Abu Bakar al-Barqani di dalam Mustakhrajnya atas ash-shahihain di dalam riwayat Makki bin Ibrahim. Hasyim berkata, “Aku tidak mengetahui kecuali bahwa Amir menuturkan tentang kurma ajwah yang unggul.” Al-Humaidi berkata, “Hadits ini termasuk hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri dari Abu Thiwalah, dari Amir bin Saad, dari ayahnya, sesungguhnya dia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa makan 7 kurma daripa apa yang berada di antara dua sisi kota Madinah kala pagi, maka dia tidak akan dicederai oleh racun sehingga sore.” Dalam redaksi Hakim disebutkan, “Dari kurma al-barani.” Dan di kitab al-Ilal al-Kabir karya ad-Daraquthni disebutkan, “Barangsiapa makan 7 kurma dari apa yang berada di antara dua sisi kota Madinah sebelum sarapan (sebelum makan/minum lainnya).” Dan dalam satu redaksi disebutkan, “Dari kurma ajwah yang unggul.” Di dalam kitab al-Ath’imah karya Usman bin Said ad-Darimi dari hadits Syarik bin Abdullah bin Abi Atiq dari Aisyah secara marfu’ disebutkan, “Di dalam kurma ajwah yang unggul terdapat obat atau perisai saat masuk pertama kali.” Dari hadits Syahr bin Hausyab dari Abu Said dan Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “Kurma ajwah itu dari surga, dan di dalamnya ada obat (terapi) dari racun.” Al-Khatthabi berkata, “Keberadaan kurma ajwah bisa melindungi dari sihir dan racun hanyalah karena keberkahan dari doa Rasulullah saw. yang mendahuluinya, bukan karena sifat (karakter) kurma yang bisa berbuat itu sedikit pun. Dan ajwah merupakan kurma terbaik Madinah.”     
                Kedua puluh dua, Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dari Ya’qub bin Hamid: meriwayatkan kepada kami Katsir bin Ja’far bin Abi Katsir dari Ziyad bin Zaid dari Sahl bin Saad, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa di kota Madinah mempunyai pangkal pohon, maka hendaklah dia memegangnya, dan barangsiapa tidak punya, maka hendaklah menjadikan pangkal, walaupun berupa qashrah (sebatang kurma).” Al-Khatthabi berkata, “Qashrah maknanya adalah pohon kurma.” Al-Hasan membaca, “Innaha tarmi bi syararin kal qashr,” (sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi qashr ‘batang pohon kurma’). Para ulama menafsirkan al-qashr sebagai batang-batang pohon kurma.
                Kedua puluh tiga, ucapan para sahabat secara lahir menunjukkan dianjurkannya shalat Id di masjid kota Madinah, tetapi Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah. Ia berkata, “Kami ditimpa hujan pada hari Id. Rasulullah saw. lalu memimpin kami shalat di masjid.” Hadits ini dirwayatkan oleh al-Hakim dari al-Mustadrak, dan berkata, “sanadnya shahih”. Hadits secara lahir menunjukkan bahwa beliau seringkali melakukan shalat di mushalla (lapangan tempat shalat), dan seakan-akan hal ini karena tempat yang sempit bagi mereka.
                Kedua puluh empat, Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dalam Tarikh Kabir-nya dari Imam Malik, “Sesungguhnya seluruh kota ditaklukkan dengan pedang, sedang kota Madinah ditaklukkan dengan iman,” lalu dia melanjutkan sanadnya kepada Malik dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah. Kata Aisyah, “Semua negeri ditaklukkan dengan pedang dan anak panah, sedang kota Madinah ditaklukkan dengan al-Qur’an.”
                Kedua puluh lima, konon diceritakan dari Imam Malik bahwa khabar (hadits) satu orang jika bertentangan dengan ijma’ (konsensus) penduduk Madinah, maka ijma’ mereka lebih didahulukan.
                Kedua puluh enam, Ibnu Kajj berkata, “Jika seseorang bernadzar ziarah makam Nabi saw., maka dia harus memenuhinya, satu alternative, dan diceritakan bahwa apabila bernadzar ziarah makam selain beliau, ada ada alternative di dalam keharusan memenuhinya. Imam Rafi’i dan lainnya menegaskan hal ini.
                Kedua puluh tujuh, peziarah dari luar (kelana) seyogyanya menyampaikan salam kepada Nabi saw. setiap kali masuk atau keluar masjid. Adapun untuk penduduk (tetap) Madinah, Imam Malik dan lainnya memakruhkan hal itu, kecuali bila seseorang dari mereka hendak bepergian atau datang dari bepergian. Kata Imam Malik, “Hal itu, yakni mengucapkan salam setiap kali masuk dan keluar masjid, hanyalah untuk orang-orang dari luar.”
                Al-Baji berkata, “Karena orang-orang dari luar bertujuan untuk itu, sedang penduduk Madinah muqim (berdomisili) di dalamnya. Dan yang tepat adalah anjuran ini mencakup orang dalam dan orang luar, karena beliau menyukai salam bagi setiap ornag yang berjumpa beliau bahwa orang dalam maupun orang luar. Dan termasuk bagian dari adab adalah mempraktekkan hal itu sepeninggal beliau.
                Kedua puluh delapan, dimakruhkan keluar dari masjid Nabi saw. usai adzan. Walaupun ini umum untuk seluruh masjid, namun untuk masjid Nabi saw. lebih dikokohkan. Di dalam Mu’jam al-Ausath karya Thabarani dari hadits Abdul Azis bin Abi Hatim: ayahku dan Shafwan bin Sulaim menceritakan kepadaku dari Said bin Musayyib dari Abu Hurairah. Katanya, “Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang tidak mendengar adzan di masjidku ini kemudian dia keluar darinya kecuali karena suatu kebutuhan kemudian dia tidak kembali lagi, kecuali dia adalah orang munafiq.”
    Kedua puluh sembilan, orang yang muqim di dalamnya hendaklah menyadari keagungan tempat domisilinya itu, seraya meyakini dengan segenap keagungan dan kebesarannya, di samping berhati-hati (waspada) dari menciptakan petakan di dalamnya walau kecil, sebagaimana diriwayatkan bahwa sesungguhnya Abdurrahman bin Mahdi setiap kali tiba di kota Madinah dan memasuki masjid, dia menaruh sesuatu yang dia punyai di antara shaf-shaf, Imam Malik lalu memerintahkan untuk mengambilnya. Dia lalu mengambilnya. Dikatakan kepada Imam Malik, “Sesungguhnya dia adalah fulan.” Imam Malik lalu menegurnya, seraya berkata, “Pantaskah kamu berbuat hal semacam ini. Tidakkah engkau tahu sesungguhnya Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa membuat petaka di dalamnya atau melindungi (memberi suaka) orang yang membuat petaka, maka baginya laknat Allah, para malaikat, dan umat manusia seluruhnya.” Perhatikanlah, bagaimana Imam Malik rahimahullah menjadikan hal yang kecil dan remeh ini masuk dalam keumuman hadits.
    Konon diceriatakan bahwa Imam Malik rahimahullah dimintai fatwa tentang seseorang yang mengucapkan, “Tanah Madinah tidak sehat,” beliau berfatwa agar orang itu dipukul.
    Ketiga puluh, seyogyanya menuju kota Madinah untuk niat belajar atau mengajar. Di dalam sunan Ibnu Majah dari Abu Bakar bin Abi Syaibah: meriwayatkan kepada kami Hatim bin Ismail, dari Humaid bin Shakhr dari al-Maqburi dari Abu Hurairah. Katanya, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa mendatangi masjidku ini dan ia tidak mendatanginya kecuali demi mempelajari atau mengajarkan kebaikan, maka dia tak ubahnya orang yang berjihad di jalan Allah. Dan barangsiapa mendatanginya untuk selain itu maka dia laksana orang yang memandangi harta benda orang selainnya.”
    Ketiga puluh satu, penulis al-Mabahij menuturkan, “Sesungguhnya minyak wangi dan kemenyan harum didapati di Thaibah baunya lebih semerbak berlipat-lipat daripada apa yang didapati di negeri-negeri lain. Thaibah sejatinya adalah keharuman, walau tidak didapati minyak wangi sedikit pun di dalamnya. Alangkah agungnya orang yang bersenandung,
    مَاذَا عَلَى مَنْ شَمَّ تُرْبَةَ أَحْمَدَ = أَنْ لاَ يَشُمَّ مَدَى الزَّمَانِ غَوَالِيَا
    Apa yang terjadi pada orang yang mencium tanah Ahmad. Ia tidak akan mencium lagi hal-hal yang amat berharga sepanjang masa.
    Demikianlah akhir dari apa yang kami pilih dan kami ringkas dari keistimewaan-keistimewaan kota Madinah al-Munawwarah dari apa yang diterangkan secara panjang lebar oleh Imam al-Zarkasyi dalam kitabnya, I’lam as-Sajid (memberitahu orang yang bersujud).

    Keutamaan Mimbar Mulia Nabi saw.

                Di antara hal yang menunjukkan keutamaan mimbar Rasulullah saw. adalah diperberatnya nilai sumpah di sebelahnya. Hal ini disampaikan dalam hadits marfu’ dari sahabat Jabir, “Seseorang tidak bersumpah di sisi mimbarku ini atas suatu sumpah dosa walaupun atas siwak hijau kecuali dia akan menempati tempatnya dari neraka.” (H.R. Malik, Abu Dawud, Nasai, dan Ibnu Majah. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lainnya menshahihkan hadits ini). Abu Umamah bin Tsa’labah juga meriwayatkan secara marfu’, “Barangsiapa bersumpah di sebelah mimbarku ini dengan sumpah palsu, dalam rangka menghalalkan harta orang muslim, maka baginya laknat Allah, para malaikat, dan umat manusia seluruhnya.” (Al-Fat jilid 5 hal. 385)

    Anjuran Ziarah ke Makam Nabi saw. dalam Pandangan Madzhab Hanabilah

                Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali berkata, “Dan dianjurkan menziarahi makam Nabi saw. berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dari Ibnu Umar. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda,
    مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي بَعْدَ وَفَاتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِى حَيَاتِي
    “Barangsiapa haji lalu menziarahi makamku setelah wafatku maka seakan-akan dia menziarahi aku di waktu aku hidup.”
                Dalam riwayat lain,
    مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شََفَاعَتِيْ
    “Barangsiapa menziarahi makamku maka dia berhak mendapatkan syafaatku.”
    Redaksi hadits pertama diriwayatkan oleh Said: menceritakan kepadaku Hafsh bin Sulaiman dari Laits dari Mujahid dari Ibnu Umar. Imam Ahmad berkata di dalam riwayat Abdullah dari Yazid bin Qasith dari Abu Hurairah, bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda,

    مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ عِنْدَ قَبْرِيْ إِلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِيْ حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ
    “Tidak seorang pun mengucapkan salam kepadaku di sisi makamku kecuali Allah akan mengembalikan ruh atasku sehingga aku bisa menjawab salam kepadanya.”
                Jika orang berhaji dan dia tidak pernah berhaji sama sekali –yakni dari jalan selain Syam- dia tidak boleh mengambil jalan Madinah, karena aku khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan, maka dia seyogyanya menuju Makkah melalui jalan yang terpendek (terdekat), dan tidak menyibukkan diri dengan yang lain. Dan diriwayatkan dari Utbi. Katanya, “Aku pernah duduk di sebelah makam Nabi saw., lalu seorang penduduk dusun datang, lalu berkata, “Salam kesejahteraan semoga selalu terlimpah kepada engkau, wahai Rasulullah. Aku mendengar Allah berfirman,

    وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيْمًا

    “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya (berdosa) datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. an-Nisaa’: 64).

    Dan aku sungguh telah datang kepada engkau memohon ampunan untuk dosaku, memohon syafaat (pertolongan) dengan (perantara) engkau kepada Tuhanku.” Dia lalu bersenandung,

    يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ                                                             

    فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَالْأَكَمُ                                                                                     
    نَفْسِى الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ                                                                    

    فِيْهِ الْعَفَافُ وَفِيْهِ الْجُوْدُ وَالْكَرَمُ                                                                 

    “Wahai sebaik-baik manusia yang tulang-tulangnya dikebumikan di dasar tanah. Lalu lembah dan bukit menjadi semerbak harum dikarenakan keharuman tulang-tulang itu. Diriku menjadi tebusan bagi makam yang engkau tempati. Di dalamnya ada kesucian. Ada pula di dalamnya kemurahan dan kebaikan hati.”

                Orang dusun tadi lalu beranjak pergi. Aku lalu diserang kantuk. Aku tertidur, lalu aku melihat Nabi saw. Beliau bersabda, “Wahai Utbi, susullah orang dusun tadi, dan berikan berita gembira kepadanya bahwa sesungguhnya Allah telah memberikan pengampunan kepadanya.” (Jilid 3 hal. 557)

    Keutamaan Kendaraan yang Membawa Para Peziarah

    Qadli Iyadh dalam asy-Syifa berkata, “Diceritakan dari sebagian murid bahwa sesungguhnya tatkala mendekati kota Madinah Munawwarah, dia bersenandung,

    رُفِعَ الْحِجَابُ لَنَا فَلاَحَ لِنَاظِرِيْ = قَمَرٌ تُقَطِّعُ دُوْنَهُ الْأَوْهَامُ
    وَإِذَا الْمُطِيُّ بَلَغْنَ أَرْضَ مُحَمَّدٍ = فَظُهُوْرُهُنَّ عَلَى الرِّجَالِ حَرَامُ
    قَرَّبْنَنَا مِنْ خَيْرِ مَنْ وَطِىءَ الثَّرَى = فَلَهَا عَلَيْنَا حُرْمَةٌ وَذِمَامُ
    Tirai telah tersingkap bagi kita. Purnama terbit bercahaya dalam pandanganku, mengkoyak-koyak ilusi di bawahnya.
    Jika kendaraan telah sampai pada bumi Muhammad, maka punggung kendaraan itu haram atas orang-orang.
    Kendaraan itu telah mendekatkan kita terhadap sebaik-baik orang yang menginjak bumi. Maka, baginya al-hurmah (penghormatan) dan adz-dzimam (jaminan perlindungan) atas kami.

                ‘Al-hurmah’ adalah penghormatan, dan ‘adz-dzimam’ adalah jaminan perlindungan.
                Syeikh an-Nabhani dalam al-Majmuah juz 4 hal. 83 menyatakan, “Dua bait terakhir adalah ucapan Abu Nuwwas di dalam menyanjung Al-Amin bin Harun ar-Rasyid. Dan tepatlah syeikh ini yang memindahkan dua bait tadi menjadi madah (sanjungan) terhadap Nabi saw., karena beliaulah yang berhak untuk disanjung dengan kedua bait itu.

    Berbagai Kemuliaan bagi Peziarah Makam Rasulullah saw.

    Sebagian ulama berkata, “Ada sepuluh kemuliaan bagi peziarah makam Rasulullah saw.,
    Pertama, dia diberikan martabat tertinggi.
    Kedua, dia mencapai puncak tujuan.
    Ketiga, terpenuhi hajat kebutuhannya.
    Keempat, diberikan berbagai anugerah pemberian.
    Kelima, aman dari kebinasaan.
    Keenam, bersih dari celaan.
    Ketujuh, diperingan dan dipermudah berbagai musibah.
    Kedelapan, berbagai bencana dicukupi.
    Kesembilan, kesudahan yang baik.
    Kesepuluh, mendapat rahmat dari Rabb timur dan barat.

    Sungguh terpujilah orang yang menggubah,
    هَنِيْئًا لِمَنْ زَارَ خَيْرَ الْوَرَى = وَحَطَّ عَنِ النَّفْسِ أَوْزَارَهَا
    فَإِنَّ السَّعَادَةَ مَضْمُوْنَةٌ = لِمَنْ حَلَّ طَيْبَةَ أَوْزَارَهَا
    Kesentosaan bagi orang yang menziarahi sebaik-baik manusia/makhluk dan mau menurunkan beban-beban dosa dari jiwanya.
    Sesungguhnya kebahagiaan diemban oleh orang yang menyinggahkan beban-beban bawaannya di Thaibah (Madinah).

    Bentuk dan Batasan Raudlah Nabawiyah

    Para ulama berbeda pandangan mengenai bentuk dan batasan Raudlah dalam beberapa pendapat. Pertama, Raudlah adalah searah pada masing-masing dari sudut mimbar dan sudut hujrah (kamar), lalu diukur lurus. Maka, termasuk di dalamnya adalah yang sejajar dengan hujrah dari sisi kiri, walaupun tidak searah dengan mimbar, juga yang sejajar dengan sudut mimbar dari arah kiblat, walaupun tidak searah dengan hujrah, karena lebih maju di arah kiblat. Raudlah dengan demikian berbentuk persegi empat, dan ia adalah tiga serambi/pelataran: serambi mushalla (tempat shalat) yang mulia dan dua serambi setelahnya sampai shaf tiang wufud (delegasi), dan ia adalah yang berada di belakang tiang haras (penjagaan), dan itu adalah atap/bangsal depan masjid pada zaman Nabi saw.
    Dan termasuk di dalamnya pula pada saat itu adalah tempat shaf awal yang berada di sebelah hujrah, dan seluruh mushalla yang mulia. Ini adalah yang lebih utama untuk dijadikan patokan dan penampakan dari apa yang dipegangi oleh kebanyakan ulama dan masyarakat sebagaimana disebutkan di dalam kitab ‘al-Minah’, dan yang dianggap unggul oleh as-Samhudi dalam kitab ‘al-Khulashah’ dan asalnya, dan diikuti oleh segolongan imam-imam kita dan selain mereka setelahnya.
    Tanda batasan Raudlah saat ini sebagaimana diterangkan di dalam kitab an-Nuzhah menurut pendapat yang unggul adalah tiang-tiang berbatu pualam putih (marmer) dan merah keemasan hingga batas separuh darinya, dan di atas tepi-tepinya terdapat kasidah dengan bahasa Turki yang terukir di batas batu-batu pualam dari arah atas melingkar laksana gambar (lukisan) yang dilapisi dengan air emas. Dikatakan: “Dibangun oleh Sultan Salim Khan”. Dan dalil dari pendapat ini adalah sabda Rasulullah saw., “Apa yang ada antara rumahku dan mimbarku adalah raudlah (taman) dari taman-taman surga.” Sebuah hadits shahih lagi disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim.
    Kedua, Raudlah adalah apa yang searah dengan hujrah syarifah dan makam luhur saja. Maka, diambil tidak lurus . ia melebar dari arah hujrah nan menyempit dari arah mimbar. Ia miring sisi-sisinya, kaerna lebih majunya mimbar mulia di arah makam dan lebih mundurnya hujrah syarifah di arah Syam. Dengan demikian ia seperti berbentuk segi tiga yang tertutup dua sisinya sesuai dengan kadar memanjangnya mimbar Nabi yang mulia, dan mimbar Nabi itu adalah 5 jengkal, sebagaimana ditulis oleh as-Samhudi. Dan dalil dari pendapat ini adalah berpegang teguh terhadap realitas teks “al-bayniyah al-haqiqiyah” (perihal ‘antara’ yang sebenarnya) dari hadits yang lalu. Dan pada saat itu tempat shaf awal dari apa yang berada di sebelah hujrah bukanlah termasuk bagian Raudlah.
    Ketiga, Raudlah mencakup seluruh masjid yang ada pada masa beliau, dan pendapat ini yang tegaskan oleh as-Sam’ani dan lainnya, serta dinukil oleh ar-Rimi dari al-Khathib bin Jamalah. Ia mengambil dalil dengan sabda Rasulullah saw., “Apa yang berada di antara rumahku.” Dan ia adalah kata tunggal yang dinisbatkan yang memberi faedah umum mencakup seluruh rumah-rumah beliau. Dan walau tanpa mengambil dalil dengannya, hal ini dijelaskan oleh satu riwayat yang shahih dari Imam Ahmad, “Apa yang berada di antara rumah-rumah ini,” yakni rumah-rumah Nabi saw., “hingga tempat mimbarku.”
    Keempat, Raudlah mencakup seluruh masjid pada masa Nabi dan setelahnya. As-Samhudi menyebutkan bantahan terhadap pendapat ini.
    Berbagai riwayat tersbeut agaknyabisa dipadukan bahwa Raudlah diucapkan untuk tempat-tempat yang berbeda-beda (berpautan) dalam hal keutamaan. Raudlah yang lebih afdol adalah apa yang ada di antara makam dan mimbar, kemudian antara rumah-rumah Nabi seluruhnya dan mimbar, kemudian seluruh masjid pada masa Nabi saw., kemudian apa yang ditambahkan pada masjid itu sepeninggal beliau, kemudian apa yang berada di luar tempat shalat. (Lihat adz-Dzakhair al-Qudsiyah karya Abdul Hamid Qudsy hal. 127).

    Makna Keberadaan Raudlah Nabi (Berasal) dari Surga

    Ketahuilah –semoga Allah memberikan taufiq kepadamu- bahwa terjadi perbedaan pendapat mengenai maksud dari sabda Rasulullah saw.,
    مَا بَيْنَ بَيْتِيْ وَمِنْبَرِيْ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ
    “Apa yang ada di antara rumahku dan mimbarku adalah raudlah (taman) dari taman-taman surga.”
    Apakah ini hakikat (fakta nyata) atau majazi (kiasan)? Pendapat yang dipegang oleh Imam Malik adalah yang pertama. Dia berkata, “Ia adalah taman dari taman-taman surga. Dia akan dipindah ke surga. Dan ia tidaklah seperti bumi-bumi lainnya yang bisa lenyap dan sirna.” Segolongan ulama menyepakati hal ini dan dishahihkan oleh Ibnul Haaj. Ibnu Abi Jamrah berkata, “Dan bisa jadi sesungguhnya tanah itu sejatinya sekarang adalah dari surga, sebagaimana Hajar Aswad juga dari surga, dan akan kembali menjadi raudlah (taman) di dalam surga.”
                Dan ada yang mengatakan: kiasan, dalam arti bahwa beribadah di dalamnya bisa mengantarkan ke surga atau ia laksana tman dari surga dalam hal diturunkannya rahmat dan diraihnya kebahagiaan dengan merutinkan ibadah di dalamnya, lebih-lebih di masa Nabi saw.
    Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani mengungunggulkan pendapat yang pertama dalam satu tempat di al-Fath (Fathul Bari). Ia memandang pendapat kedua seraya berkata, “Jika begitu, maka tidak ada hal yang istimewa dengan satu kapling tanah itu, sedang khabar (hadits) dihadirkan berkait dengan kemuliaan tanah tersebut atas lainnya.” Demikian kata Ibnu Hajar.
    Pendapat pertama adalah yang paling unggul karena beberapa hal, karena hukum asalnya adalah tidak adanya majaz karena tidak ada alasan untuk mengalihkan redaksi jauh dari makna lahirnya, dank arena luhurnya kedudukan Nabi saw., dan agar antara beliau dan antara sang nenek moyang, yaitu Nabi Ibrahim, ada keserupaan (kemiripan) dalam hal ini, bahwa al-Khalil (Nabi Ibrahim) diberikan keistimewaan berupa hajar (batu) dari surga, sedang al-Habib (Nabi Muhammad) berupa raudlah (taman) dari surga. Dan lagi, yang mewartakan bahwasanya raudlah dari surga dialah juga yang mewartakan bahwa hajar (batu) dan maqam dari surga juga.
    Keberadaan Raudlah dari surga secara nyata tidaklah menafikan adanya rasa lapar dan telanjang di dalamnya, karena raudlah bersifat dengan sifat dunia, sebagaimana Hajar Aswad  dan Maqam Ibrahim dari surga, tetapi keduanya manakala turun di dunia ini maka keduanya bersifat dengan sifat dunia. Maka, dinafikannya rasa lapar dan telanjang dari orang yang menempati surga tidak mengharuskan dinafikannya rasa lapar dan telanjang itu di dalam perkara yang dipindah dari surga. Jika tidak begitu, niscaya dinafikanlah keberadaan Hajar dan Maqam dari surga secara nyata, dan tidak ada orang yang mengatakan ini. Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam. (Adz-Dzakhair al-Qudsiyah)

    Masjid Nabawi Merupakan Madrasah Pertama dalam Islam

                Masjid Nabawai yang mulia itu merupakan tempat turun wahyu, mahkota sejarah yang terkenal, fajar peradaban Islam, sekaligus madrasah pertama dalam Islam yang mengeluarkan tokoh-tokoh ulama yang bak bulan purnama, mujahid-mujahid super hero, dan panglima-panglima penakluk.
                Betapa banyak Rasul Muliz duduk di dalamnya memberikan pendalaman agama, mengajar, membimbing, dan menyiapkan kader-kader yang dipilih oleh Allah Dzat Yang Mengetahui bagi agama-Nya. Mereka ditempa oleh al-Qur’an al-Karim dengan petunjuknya. Mereka dididik oleh Sang Guru Terbesar dengan kesucian dan sunnahnya dalam pangkuan takwa dan sumber keimanan, maka tumbuhlah mereka menjadi tokoh-tokoh besar,
    صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيْلاً
    Mereka menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu, dan mereka sedikit pun tidak merobah (janjinya). (Q.S. al-Ahzaab: 23)
    Merekalah para pembebas yang menyapih jiwa-jiwa mereka dari syahwat. Jiwa-jiwa itu bertasgih dalam singgasana Allah, tunduk pada al-haq, mengakui tauhid, dan menyeru akhlak-akhlak terpuji. Merekalah para pahlawan yang menjadi sebab umat meraih hidayah, dapat membangun keagungan yang tinggi, dan menolong akhlak yang mulia, yang menjadikan umat itu bangkit pasca ketergelinciran mereka dan naik ke puncak kebanggaan dan kekekalan.
                Inilah Masjid Nabawi, perhatikanlah, ia selalu dinaungi kekaguman dan kewibawaan, serta diliputi oleh keindahan dan keagungan. Apakah putus dawai (gema) suara al-Qur’an darinya sejak ia turun di dalamnya atau berhenti dzikrulla ta’ala di dalamnya sejak ia tumbuh di dalamnya? Sungguh ia selalu dan akan selalu menjadi benteng keimanan dan keutamaan, menjadi kediaman bagi ilmu, menjadi situs keagamaan yang memegang jiwa-jiwa hingga jiwa-jiwa itu tidak memiliki tatkala melihatnya, hanya saja jiwa-jiwa itu senang suatu saat dan sedih pada saat lain, tertawa suatu saat dan menangis di saat lain, serta maju dan mundur, yang menggambarkan arak-arakan dzikir dan fakir yang melintas cepat. Jiwa-jiwa itu melihat peristiwa-peristiwa sejarah yang penuh nasehat dan pelajaran. Di sinilah majelis Rasul saw. bersama para sahabat di Raudlahnya yang merupakan bagian dari raudlah-raudlah surga di mana beliau menyampaikan risalah-risalah Tuhannya. Inilah mushallah beliau di mana beliau berhenti di dalamnya untuk munajat kepada Tuannya yang menjadikannya tenteram dan tenang hati.
    Dan ini adalah mimbar yang beliau berkhutbah di atasnya, seakan-akan beliau adalah komandan tentara. Beliau berkata, “Selamat pagi kalian. Selamat sore kalian.” Maka, hati bergetar, air mata bercucuran, dan urat leher menggigil. Dan ini adalah kamar-kamar beliau yang beliau tinggal (menumpang) di situ, disambut oleh para ibunda kaum mu’minin, lalu beliau membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah dan hikmah,
    رَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
    Rahmat Allah dan keberkatan-Nya dicurahkan atas kamu, hai ahlul bait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah. (Q.S. Huud: 73)
                Dan ini adalah tempat shalat tahajjud yang di dalamnya beliau melakukan shalat sunnah malam hari, memohon al-maqam al-mahmud (kedudukan terpuji) kepada Rabb-nya, memohon hidayah untuk umatnya dan kemenangan agama. Beliau berdoa malam dan siang. Beliau tadlarru’ (merendahkan diri) secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Dan ini adalah tiang Sayyidah Aisyah ra. Itu tiang Abu Lubabah ra. Ini rumah anak paman Rasul, tempat tinggal al-Batul (Sayyidah Fatimah), di mana tumbuh dan berkembang dua cucu; dua penghulu pemuda ahli surga dan dua pengharum Rasulullah saw. dari dunia.
                Dan ini adalah pintu kecil ash-Shiddiq yang bersama dengan al-Faaruuq meraih kebahagiaan dikarenakan menemani dan menyandingi beliau di dunia, alam kubur, dan alam akhirat. Semoga Allah meridlai keduanya. Dan ini adalah darul iman (rumah keimanan), sebagai sarang singa, yang di dalamnya terdapat orang-orang miskin sahabat. Dan itu adalah Baqi’ yang didalamnya dimakamkan ribuan para sahabat Nabi saw., sang pemberi syafaat. Dan ini adalah Uhud, gunung pemilik keimanan, yang cahaya tauhid bersinar darinya, dan di dekatnya dahulu pernah terjadi peperangan antara haq dan kebatilan, lalu kebatilan mundur ke belakang, hancur, dan eksislah keimanan secara kokoh nan terpelihara.
                Dan ini adalah Aqiq (lembah yang diberkahi), kediaman Rasulullah saw. dan tempat shalat beliau.
                Iya. Inilah masjid yang dibangun oleh Nabi pengemban tauhid dan dibangun pula oleh tangan-tangan pemilik keyakinan.

    Allahu Akbar. Inilah masjid yang semerbak harum. Inilah Thaibah yang semerbak harum nan berkilauan.
    Inilah Raudlah yang makmur yang tampak berasal dari surga keabadian: tidak ada susah dan keruh.
    Inilah Aqiq. Ini Sil’. Dan ini Uhud. Berkilau dengan keimanannya. Keabadian menunggu.
    Inilah rumah-rumah di mana al-Habib tinggal di situ menjaga dan memelihara hati agar hati dapat mengambil peringatan.

    Sungguh aku benar-benar meraih kehormatan bisa berpuasa Ramadhan beberapa tahun di negeri yang baik ini, maka aku berkata, “Di sini, Allah mewajibkan puasa dan zakat kepada kita. Dan ini adalah pintu Jibril di mana ia turun naik membawa wahyu kepada Penghulu Teragung dan Termulia, majelis-majelis ketenteraman, tempat-tempat bersemi kesucian, tempat-tempat turun al-Qur’an, tempat-tempat kenangan. Alangkah agungnya berita gembira ini! Alangkah agungnya peringatan itu! Hari-hari interaksi. Ia adalah tahun-tahun umurku yang mulia dan perantara kontrak kebanggaanku dalam perjamuan penduduk Thaibah, para tetangga al-Musthafa, empunya kejujuran, kesempurnaan, dan pemenuhan janji.
    فَيَا سَاكِنِيْ أَكْنَاف طَيْبَةَ كُلُّكُمْ = إِلَى الْقَلْبِ مِنْ أَجْلِ الْحَبِيْبِ حَبِيْبُ
    Wahai penduduk sisi-sisi Thaibah. Kalian semua terkasih dalam hati dikarenakan al-Habib (Sang Kekasih).

    *****
    هَنَاؤُكُمُو يَا أَهْلَ طَيْبَةَ قَدْ حَقَّا = فَبِالْقُرْبِ مِنْ خَيْرِ الْوَرَى نَلْتَمِسُ السَّبْقَا
    فَيَا رَاحِلاً عَنْهَا لِأَمْرٍ تُرِيْدُهُ = أَتَطْلُبُ مَا يَفْنَى وَتَتْرُكُ مَا يَبْقَى
    Kesentosaan kalian sungguh nyata, wahai penduduk Thaibah. Dengan berdekatan dengan sebaik-baik manusia, kami mencari keterdepanan.
    Wahai engkau, yang meninggalkan Thaibah karena urusan yang engkau kehendaki. Apakah engkau mencari sesuatu yang fana, dan meninggalkan sesuatu yang kekal.


    Pembangunan Masjid Nabawi

    Ketika Nabi saw. hijrah ke Madinah, beliau shalat begitu waktu shalat tiba. Beliau berkehendak membangun masjid untuk mendirikan shalat di dalamnya. Abu Umamah As’d bin Zurarah dahulu menjadi imam shalat banyak orang. Ia mengumpulkan mereka di satu masjid yang dibangunnya di tempat penambatan unta (tempat menebah kurma) milik Sahl dan Suhail, dua putera Rafi’ bin Abi Amr. Nabi saw. lalu memohon kepada Abu Umamah untuk menjual tanah yang dulunya milik dua anak yatim. As’ad menawarkan kepada beliau untuk mengambilnya saja (gratis) tanpa bayar kepada kedua anak yatim. Beliau tidak mau. Beliau membelinya dengan harga 10 dinar yang dibayarkan dari harta ash-Shiddiq ra.
                Tempat masjid dulunya adalah kebun kurma dan reruntuhan bangunan serta pekuburan bagi orang-orang musyrik. Nabi saw. memerintahkan menghilangkan pekuburan, menggali tulang-tulangnya, meratakan reruntuhan bangunan, serta menebangi pepohonan kurma dan dijadikan sebagai tiang-tiang masjid. Setelah itu, beliau memerintahkan membuat bata, dan membangun masjid dengannya, meninggikan pondamennya dengan batu, dan (meninggikan) atapnya dengan pelepah kurma. Tiang-tiangnya dibuat basah tatkala mereka sama mengeluh kepanasan. Ketika bocor, maka mereka melepanya dengan tanah. Mereka menjadikan tengahnya sebagai serambi. Kaum muslimin bahu-membahu bekerja. Mereka membawa bata. Ammar bin Yasir membawa dua bata, satu bata darinya, dan satu bata lainnya untuk Nabi saw. Beliau tampak juga ikut membawa bata bersama mereka, seraya bersenandung,
    هذَا الْحِمَالُ لاَ حِمَالُ خَيْبَرَ = هذَا أَبَرُّ رَبَّنَا وَأَطْهَرُ
    Beban bawaan ini bukan beban bawaan Khaibar. Ini, wahai Tuhan kami, lebih mulia dan lebih suci.

                Beliau juga bersenandung,
    اللّهُمَّ إِنَّ الْأَجْرَ أَجْرُ الْآخِرَةِ = فَارْحَمِ الْأَنْصَارَ وَالْمُهَاجِرَةَ
    Ya Allah. Sesungguhnya pahala sejati adalah pahala akhirat, maka rahmatilah kaum Anshar dan kaum Muhajirin. (H.R. Bukhari)

                Rasulullah saw. menaruh selendangnya seraya turut bekerja memindah batu. Mereka bersenandung,
    لَئِنْ قَعَدْنَا وَالنَّبِيُّ يَعْمَلُ = فَذَاكَ مِنَّا الْعَمَلُ الْمُضَلَّلُ
    Jika kita duduk, sedang Nabi bekerja. Maka demikian itu adalah tindakan yang menyesatkan dari kami.

                Keberadaan masjid terus eksis seperti adanya hingga zaman ash-Shiddiq ra., karena kesibukannya memerangi pemurtadan. Adapun al-Faaruuq ra., ia memperluasnya. Dia menambahkan kediaman Abbas ra. di dalamnya. Dan sayyidina Utsman ra. pada masa kekhilafahannya membangun lagi dengan batu dan potongan-potongan kayu. Ia jadikan tiang-tiangnya dari batu dan atapnya dari kayu Saj (sejenis pohon jati). Dia pindahkan bebatuan dari lembah Aqiq padanya. Dan para khalifah dan raja senantiasa memperhatikan kemakmuran Masjid Nabawi dan memobilisasi dana-dana yang mengesankan dalam hal itu.

    Madinah Munawwarah Berpesta Menyambut Kehadiran Nabi saw.

                Imam Baihaqi dalam Dalailun Nubuwah meriwayatkan dengan sanad sampai kepada Bara’ bin Azib. Ia berkata, “Orang yang pertama kali datang kepada kami dari sahabat-sahabat Rasulullah saw. adalah Mus’ab bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum. Keduanya membacakan al-Qur’an.” Satu riwayat menyatakan, “Keduanya lalu membacakan al-Qur’an kepada banyak orang. Lalu datangnya Ammar bin Yasir, Saad, dan Bilal. Kemudian dating pula Umar bin Khatthab dalam (rombongan) 20 orang. Lalu datanglah Rasulullah saw. Maka aku tidak melihat penduduk Madinah bergembira dengan sesuatu sebagaimana gembira mereka dengan kedatangan beliau, hingga aku melihat anak-anak kecil memenuhi jalan-jalan seraya berucap, “Rasulullah saw. telah datang.”
                Dalam riwayat lain ia berkata, “Manusia sama keluar (tumpah) di jalan kala kami datang di kota Madinah. Anak-anak dan para pembantu berada di atas rumah-rumah seraya berucap, “Rasulullah saw. dating. Muhammad dating. Allahu Akbar. Muhammad datang. Rasulullah saw. datang.” Kala pagi, beliau beranjak dan bertempat di mana beliau diperintahkan.” (H.R. Bukhari dari Abdullah bin Raja’).
                Imam Muslim meriwayatkan juga dari sisi lain dari Israil: Abu Amr al-Adib menceritakan kepada kami. Katanya: Abu Bakar al-Ismaili menceritakan kepada kami. Katanya: aku mendengar Abu Khalifah berkata: Aku mendengan putera Aisyah berkata: tatkala Nabi saw. tiba di kota Madinah tampak para wanita dan anak-anak bersenandung,

    طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا = مِنْ ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ
    وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا = مَا دَعَا لِلّهِ دَاعِ
    Merekahlah purnama di tengah kami dari Tsaniyatul Wada’.
    Wajiblah kaim bersyukur, selama ada dai menyeru kepada Allah.

                Dan dalam satu riwayat dari Anas. Ia berkata, “Aku berlarian di kalangan anak-anak kecil, sedang mereka sama berucap, “Muhammad datang.” Aku lalu berlari dan aku tidak melihat sesuatu. Mereka berucap, “Muhammad dating.” Aku lalu berlari dan tidak melihat sesuatu, hingga datanglah Nabi saw. dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami berada di sebagian tembok-tembok kota Madinah. Kami kemudian mengutus seseorang dari penduduk dusun untuk mengumumkan kedatangan keduanya kepada kaum Anshar. Tidak kurang dari 500 orang Anshar menyambut keduanya sehingga mereka sampai pada keduanya. Kaum Anshar berujar, “Berangkatlah kalian berdua dalam keadaan aman lagi dipatuhi. Beliau dan sang sahabat berjalan di tengah-tengah mereka. Penduduk Madinah sama keluar hingga gadis-gadis naik ke atas rumah demi melihatnya. Mereka berujar, “Yang mana beliau?! Yang mana beliau?!” Kata Anas, “Kami tidak melihat pemandangan yang menyerupainya pada saat itu!” Anas berkata, “Aku telah melihat hari beliau masuk kepada kami dan hari beliau wafat. Aku tidak melihat dua hari yang menyerupai keduanya.”
                Dalam riwayat yang lain, Anas berkata, “Aku menyaksikan hari ketika Nabi saw. memasuki kota Madinah. Aku tidak melihat hari yang lebih baik dan lebih bersinar terang daripadanya.”
                Riwayat lain dari Anas menyatakan, “Rasulullah saw. tiba di kota Madinah. Ketika beliau tiba di kota Madinah, datanglah kaum Anshar laki-laki dan perempuan. Mereka berujar, “Kemarilah pada kami ya Rasulullah!” Beliau bersabda, “Biarkanlah unta, karena dia diperintahkan. Unta itu lalu menderum di muka pintu Abu Ayyub.” Kata Anas, “Gadis-gadis Bani Najjar lalu keluar seraya memukul rebana dengan bersenandung,
    نَحْنُ جَوَارٍ مِنْ بَنِى النَّجَّارِ = يَا حَبَّذَا مُحَمَّدٌ مِنْ جَارِ
    Kami gadis-gadis dari Bani Najjar. Alangkah mulia dan untung bertetangga dengan Muhammad.

                Rasulullah saw. lalu keluar menemui mereka seraya bersabda, “Apakah kalian mencintaiku?” Mereka menjawab serentak, “Tentu, demi Allah, ya Rasulullah.” “Aku demi Allah juga mencintai kalian. Aku demi Allah juga mencintai kalian. Aku demi Allah juga mencintai kalian. (Tiga kali).”

    Adab Menziarahi Nabi

    Orang yang diberikan taufiq oleh Allah dan sampai di kota Madinah seyogyanya berpegang teguh dengan adab-adab syara’ di serambi yang suci dan tempat yang diberkahi, sehingga dia bisa merasakan kemuliaan tempat dengan keutamaan yang nyata.
                Jika dia memasuki masjid nabawi, dia hendaklah masuk dengan tenang, tenteram, dan memuliakan. Dia tidak boleh meninggikan suara, karena meninggikan suara di masjid itu terlarang. Dan di masjid Nabi saw., larangan itu lebih keras.
                Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Konon diceritakan bahwa Umar bin Khatthab ra. melihat dua orang meninggikan suara di dalam masjid. Katanya, “Seandainya aku tahu kamu berdua termasuk penduduk negeri niscaya aku cederai kalian dengan pukulan. Sesungguhnya suara tidak boleh ditinggikan di masjid beliau. Apa yang dilakukan oleh sebagian orang awam yang bodoh berupa meninggikan suara merupakan kemungkaran yang terburuk.” Demikian perkataan Ibnu Taimiyah.
                Dan di sana tidak ada formula tertentu untuk ziarah yang disunnahkan untuk diiltizami atau terikat dengannya. Namun, seandainya dia bershalawat kepada Nabi saw. dengan formula atau gaya tertentu niscaya mencukupi. Dan cukuplah baginya bila dia meringkas dengan ucapan, “Assalamu alaika, ya Rasulallah. (Salam kesejahteraan semoga terlimpah kepada engkau, wahai Rasulullah). Assalamu alaika, ya Aba Bakrin. (Salam kesejahteraan semoga terlimpah kepada engkau, wahai Abu Bakar). Assalamu alaika, ya Aba Hafshin Umar. (Salam kesejahteraan semoga terlimpah kepada engkau, wahai Abu Hafsh, Umar), setiap kali masuk masjid.” Karena, dahulu, Ibnu Umar jika memasuki masjid, juga mengucapkan, “Assalamu alaika, ya Rasulallah. Assalamu alaika, ya Aba Bakrin. Assalamu alaika, wahai ayahku.” Ia kemudian beranjak pulang.”
                Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika seseorang dalam salamnya mengucapkan, “Assalamu alaika, ya Rasulallah, ya Khiratallah min khalqihi (wahai pilihan Allah dari segenap makhluk-Nya), ya Akramal Khalqi ala Rabbihi (wahai semulia-mulia makhluk menurut Tuhannya, ya Imamal Muttaqin (wahai imam orang-orang yang bertakwa), maka semua ini adalah sifat-sifat beliau, demi ayahku dan ibuku.”
                Dia seyogyanya juga menjaga diri dari tindakan yang biasa dilakukan oleh sebagian orang-orang bodoh di depan hujrah (kamar; makam mulia) berupa mengusap dan lainnya. Dia hendaknya tidak mengecup hujrah, menciumi, dan mengelilinginya. Dia hendaknya juga tidak membuat-buat ‘wajd’ (ekstase) atau haal (kondisi tertentu) atau syauq (kerinduan) palsu, karena orang yang merasa kenyang terhadap apa yang tidak dia punyai itu laksana orang yang memakai baju kepalsuan.
                Sebenarnya, Allah telah menjaga kawasan itu dari segala hal yang menafikan tauhid. Dan segala pujian kepada Allah, tidak didapati di antara umat Islam orang yang meyakini hal itu, atau di makam beliau, dengan keyakinan yang batil, sebagai bentuk pemenuhan doa beliau, yaitu, “Ya Allah, jangan jadikan makamku berhala yang disembah,” dan sebagai bentuk nyata dari apa yang beliau informasikan bahwasanya, “Tidak berhimpun dua agama di jazirah Arab. Dan sesungguhnya setan telah berputus asa untuk disembah di jazirah (Arab) sebagai tuhan.
                Dan jangan sekali-kali berprasangka, sesungguhnya apa yang dilakukan oleh sebagian orang berupa hal-halnya yang kelihatan menafikan tauhid, tidak lain hanyalah keluar dari kebodohan yang perlu untuk diberikan pendidikan dan peringatan.
                Syeikh Ibnul Qayyim berkata,
    وَلَقَدْ نَهَانَا أَنْ نصير قَبْرَهُ = عِيْدًا حذَارَ الشِّرْكِ بِالرَّحْمنِ
    وَدَعَا بِأَنْ لاَ يَجْعَلَ الْقَبْرَ الَّذِى = قَدْ ضَمَّهُ وَثَنًا مِنَ الْأَوْثَانِ
    فَأَجَابَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ دُعَاءَهُ = وَأَحَاطَهُ بِثَلاَثَةِ جُدْرَانِ
    حَتَّى غَدَتْ أَرْجَاؤُهُ بِدُعَائِهِ = فِى عِزَّةٍ وَحِمَايَةٍ وَصِيَانِ
    Beliau telah melarang kita menjadikan makamnya sebagai id (hari raya), karena mengantisipasi/mewaspadai syirik terhadap Dzat Yang Maha Pengasih.
    Beliau berdoa agar makam yang menggenggam beliau tidak dijadikan sebagai berhala.
    Tuhan semesta alam mengabulkan doanya. Dia telah meliputi makamnya dengan tiga tembok.
    Sehingga jadilah harapan beliau dalam doanya selalu berada dalam kemuliaan, penjagaan, dan perlindungan.

                Seorang muslim seyogyanya beradab di hadirat itu seraya memperhatikan bahwa beliau selalu merasakan dan mengenalnya, menjawab salam atasnya, mengetahui tempat duduknya, dan sesungguhnya kemuliaan beliau sewaktu telah wafat tak ubahnya kemuliaan beliau sewaktu hidup.
                Syeikh Ibnul Qayyim menggubah,
    فَإِذَا أَتَيْنَا الْمَسْجِدَ النَّبَوِي صَلَّ = ـيْنَا التَّحِيَّةَ أَوَّلاً ثِنْتَانِ
    بِتَمَامِ أَرْكَانٍ لَهَا وَخُشُوْعِهَا = وَحُضُوْرِ قَلْبٍ فِعْلِ ذِى الْإِحْسَانِ
    ثُمَّ انْثَنَيَا لِلزِّيَارَةِ نَقْصُدُ الْـ = ـقَبْرَ الشَّرِيْفَ وَلَوْ عَلَى الْأَجْفَانِ
    فَنَقُوْمُ دُوْنَ الْقَبْرِ وَقْفَةَ خَاضِعٍ = مُتَذَلِّلٍ فِى السِّرِّ وَالْإِعْلاَنِ
    فَكَأَنَّهُ فِى الْقَبْرِ حَيٌّ نَاطِقٌ = فَالْوَاقِفُوْنَ نَوَاكِسُ الْأَذْقَانِ
    مَلَكَتْهُمْ تِلْكَ الْمَهَابَةُ فَاعْتَرَتْ = تِلْكَ الْقَوَائِمَ كَثْرَةُ الرَّجْفَانِ
    وَتَفَجَّرَتْ تِلْكَ الْعُيُوْنُ بِمَائِهَا = وَلَطَالَمَا غَاضَتْ عَلَى الْأَزْمَانِ
    وَأَتَى الْمُسَلِّمُ بِالسَّلاَمِ بِهَيْبَةٍ = وَوَقَارِ ذِى عِلْمٍ وَذِى إِيْمَانِ
    لَمْ يَرْفَعِ الْأَصْوَاتَ حَوْلَ ضَرِيِْحِهِ = كَلاَّ وَلَمْ يَسْجُدْ عَلَى الْأَذْقَانِ
    Jika kami tiba di Masjid Nabawi, maka pertama kali kami shalat Tahiyatul Masjid dua rakaat.
    Dengan menyempurnakan rukun-rukunnya, khusyu’, dan hudlur hati, seperti perbuatan orang-orang yang ihsan.
    Kami kemudian bertolak untuk ziarah menuju makam mulia, walau hanya dengan pelupuk mata.
    Kami berdiri di muka makam laksana berdirinya orang yang khudlu lagi rendah diri di waktu tersembunyi dan terang-terangan.
    Seakan-akan beliau hidup nan dapat berbicara di dalam makam. Orang-orang yang berdiri (berhenti) sama menundukkan kepala.
    Mereka terkuasai oleh kewibawaan. Maka, bergetar dan menggigillah telapak kaki.
    Mata mengucurkan air mata, yang lama sekali masa surutnya.
    Orang lalu menyampaikan salam dengan penuh rasa hormat dan penuh ketenangan sebagai orang yang berilmu dan beriman.
    Dia tidak meninggikan suara di sekitar makam beliau. Jangan begitu. Dia juga tidak mensujudkan kepala.... (Dan seterusnya hingga akhir kasidah).

                Orang yang sampai pada kota Madinah Munawwarah seyogyanya berupaya sungguh-sungguh untuk menjaga shalat di masjid nabawi yang dimuliakan itu. Dalam ash-shahihain dari Abu Hurairah ra. disebutkan bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih utama daripada seribu kali shalat di masjid lainnya kecuali Masjidil Haram.”
                An-Nawawi berkata, “Dan keutamaan ini mencakup shalat fardlu dan shalat sunnah, juga meliputi masjid yang lama dan bangunan baru yang digabungkan padanya saat ini dan sebelumnya. Telah diriwayatkan bahwa beliau bersabda, “Seandainya masjid ini dibangun hingga ke Shan’a, tetaplah ia masjidku.”
                Seyogyanya pula dia tidak melupakan raudlah (taman) surga di dunia. Dalam ash-shahih secara marfu’ disebutkan, “Apa yang ada di antara makamku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga.” Redaksi lain menyebutkan, “Apa yang ada di antara rumahku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga.” Dia hendaknya berupaya mengusahakan shalat di dalamnya, tetapi dengan syarat tidak sampai menyakiti orang lain dengan berdesakan dan saling dorong, dan (hendaknya) tidak datang terlambat ke masjid, lalu bertawajjuh (bergegas menuju) kepada Raudlah untuk shalat di dalamnya, hingga mengganggu orang-orang yang tengah shalat, dan melangkahi leher-leher, memutus shaf-shaf, mengganggu orang-orang yang tengah berdzikir, dan memicu adu mulut dan debat yang seringkali berujung caci maki dan berucap kotor. Dengan ini dia telah melakukan hal haram untuk bisa sampai kepada sunnah. Maka, dia terjatuh dalam keburukan dari sisi dia menghendaki kebaikan.

    Negeri Iman dan Tauhid

                Kota Madinah al-Munawwarah, negeri yang bagus (sehat), dan tanah yang tercinta nan semerbak harum adalah negeri sunnah dan hijrah serta tempat masuk kejujuran dan keimanan. Allah ta’ala memberinya nama Thabah dalam kitab ash-shahih, dan Rasulullah saw. memberinya nama Thaibah. Dulu, Madinah dinamakan Yatsrib, dan dinamakan begitu pula dalam al-Qur’an, terkait cerita orang yang mengucapkannya dari kalangan kaum munafiqin dan orang-orang yang di dalam hatinya terpendam penyakit. Dan telah ada larangan memberi nama kota Madinah dengan Yatsrib, karena ia diambil dari kata ‘ats-tsarb’ yang berarti rusak, atau dari ‘at-tatsrib’ yang bermakna cercaan dan celaan, sedang Rasulullah saw. tidak menyukai nama yang buruk.
    Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan dari hadits Bara’ bin Azib ra. Ia berkata bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,
    مَنْ سَمَّى الْمَدِيْنَةَ يَثْرِبَ فَلْيَسْتَغْفِرِ اللهَ ، هِيَ طَابَةُ
    “Barangsiapa memberikan nama Madinah dengan nama Yatsrib, maka hendaklah dia memohon ampun kepada Allah. Ia adalah Thabah (negeri baik).”
    Konon disebutkan bahwa barangsiapa mengucapkan ‘Yatsrib’, maka kaffaratnya adalah dia mesti mengucapkan ‘al-Madinah’ sepuluh kali.
    Madinah adalah tanah haram, disucikan, nan dimuliakan. Ada dalil mengenai diharamkannya buruan dan pepohonan Madinah bagi orang halal dan bagi orang yang ihram karena Allah, sebagaimana madzhab Jumhur, berdasarkan sabda Rasulullah saw. dalam ash-shahih (sebagaimana riwayat Muslim), “Sesungguhnya Ibrahim telah mengharamkan Makkah dan sesungguhnya aku telah mengharamkan Madinah. Apa yang berada di antara sisi-sisi Madinah adalah haram. Pepohonannya tidak boleh dipotong dan binatangnya tidak boleh diburu.” Akan tetapi, Makkah menjamin (melindungi) buruan dan pepohonannya, sedang di dalam jaminan (perlindungan) buruan dan pepohonan Makkah terdapat perbedaan pendapat.
    Madinah Munawwarah adalah negeri yang makanan dan minumannya diberkahi, karena Nabi saw. mendoakan berkah kepada penduduknya di dalam sha’, mud, dan takaran mereka. Madinah Munawwarah terjaga. Dajjal tidak akan memasukinya. Dalam ash-shahihain, Rasulullah saw. bersabda,
    إِنَّ الدَّجَّالَ لاَ يَطَأُ مَكَّةَ وَلاَ الْمَدِيْنَةَ وَأَنَّهُ يَجِيْءُ يَنْزِلُ فِى نَاحِيَةِ الْمَدِيْنَةِ ، فَتَرْجُفُ ثَلاَثَ رَجَفَاتٍ ، فَيَخْرُجُ إِلَيْهِ كُلُّ كَافِرٍ وَمُنَافِقٍ
    “Sesungguhnya Dajjal tidak akan menginjak Makkah dan tidak akan pula menginjak Madinah. Sesungguhnya ia datang dan turun di sisi Madinah, lalu Madinah bergoncang tiga kali, maka keluarlah setiap orang kafir dan munafik kepadanya.”
    Riwayat lain menyatakan,
    لَيْسَ مِنْ بَلَدٍ إِلاَّ سَيَطَؤُهُ الدَّجَّالُ إِلاَّ مَكَّةَ وَالْمَدِيْنَةَ
    “Tidak satu pun negeri kecuali akan diinjak oleh Dajjal kecuali Makkah dan Madinah.”
    Madinah Munawwarah juga dijaga. Wabah thoun tidak akan memasukinya. Dalam ash-shahihain, Nabi saw. bersabda, “Di atas ‘anqab’ (lorong-lorong) kota Madinah terdapat malaikat-malaikat. Wabah thoun dan Dajjal tidak akan bisa memasukinya.” ‘Anqab’ adalah bentuk plural dari ‘nuqb’, yaitu jalan di atas puncak gunung. ‘Anqabul Madinah’ maknanya adalah jalan-jalan dan lembah-lembah Madinah.
    Rahasia di dalam hal ini adalah thoun menurut para dokter adalah wabah. Dan benar bahwa tatkala mereka tiba di kota Madinah dan diserang oleh penyakit-penyakit besar dan demam-demam yang berat, Nabi saw. mendoakan mereka lalu lenyaplah semua itu dari mereka. Beliau berdoa, “Ya Allah, pindahkanlah wabahnya Madinah ke Khum.” Dan Khum adalah satu tempat berjarak 3 mil dari Juhfah yang berada di arah Rabigh.
    Al-Qurthuby berkata, “Thoun adalah kematian merata dan serentak (meraja lela). Kami maksudkan dengan itu adalah bahwa di Madinah tidak akan terjadi thoun seperti halnya thoun itu terjadi pada negeri-negeri lainnya, seperti yang terjadi di Amwas. Dan Allah telah menampakkan kebenaran Rasulullah saw., karena sesungguhnya tidak didengar dari para sejarawan dan kalangan lainnya orang yang menyatakan bahwa telah terjadi wabah thoun yang meraja lela di negeri Madinah. Dan itu adalah berkah doa beliau kala beliau berdoa, “Ya Allah, sehatkanlah kota Madinah bagi kami.”
    Madinah Munawwarah tidak menerima kotoran (keburukan). Dia laksana ubupan pandai besi di dalam menghilangkan kotoran darinya, sebagaimana disebutkan dalam ash-shahihain: “Sesungguhnya seorang penduduk dusun berbait kepada Nabi saw., lalu dia diserang demam di Madinah, lalu dia berujar, “Wahai Muhammad, batalkanlah baiatku,” yakni gugurkan aku di dalam berbaiat kepadamu. Rasulullah saw. tidak mau. Maka keluarlah penduduk dusun tadi. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya Madinah itu laksana ubupan tukang besi. Dia bisa menghilangkan kotorannya dan mengkilatkan kebaikannya,” yakni menjernihkan dan menjadikannya lebih berbau. Sebagian ulama berkata, “Ini khusus pada zaman Nabi saw.” Sedang an-Nawawi menvalidkan bahwa hal itu umum mencakup segala zaman.
    Dalam hadits shahih diterangkan, “Hari kiamat tidak akan terjadi sehingga kota Madinah menghilangkan orang-orang buruknya, sebagaimana ububan tukang besi menghilangkan kotoran besi.” Az-Zarkasyi berkata,”Ini, wallahu a’lam, adalah pada zamannya Dajjal.”
    Seseorang tidak meninggalkan kota Madinah Munawwarah karena rasa tidak suka kecuali Allah akan menggantinya dengan orang yang lebih baik daripadanya. Maknanya adalah orang yang keluar dari kota Madinah karena rasa tidak suka, dia hanyalah orang yang tidak mengerti terhadap keutamaan Madinah dan keutamaan tinggal di dalamnya, atau kufur (ingkar) terhadap hal itu. Masing-masing dari dua orang ini jika kelur dari Madinah, maka orang-orang dari kalangan muslim yang tersisa/tetap tinggal di kota Madinah, mereka lebih baik dan lebih afdol daripadanya dalam segala keadaan. Dan Allah ta’ala menetapkan bahwa Makkah dan Madinah tidak pernah lepas dari ahli ilmu, akhlak, dan agama, hingga Allah mewariskan bumi dan orang-orang berada di atasnya.
    Di Madinah Munawwarah terdapat masjid yang dibangun di atas dasar takwa, yaitu Masjid Quba, yang diisyaratkan dalam firman Allah swt.,
    لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُوْمَ فِِيْهِ
    Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. (Q.S. at-Taubah: 108)
                Abu Said ra. bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai masjid yang didirikan atas dasar takwa, lalu beliau bersabda, “Ia masjid kalian ini.” Dan dalam riwayat lain disebutkan, “Ia adalah masjid nabawi.”
                Yang benar adalah masing-masing dari keduanya didirikan di atas dasar takwa. Tirmidzi meriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda, “Shalat di masjid Quba itu laksana umrah.”
                Ibnu Majah dengan sanad yang bagus meriwayatkan dari Sahl. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian mendatangi masjid Quba, lalu shalat di dalamnya satu kali shalat, maka baginya pahala umrah.” (H.R. Ahmad dan Hakim. Ia berkata, “Sanadnya shahih.”)
                Dan dulu Rasulullah saw. datang ke masjid Quba dengan naik kendaraan dan berjalan kaki setiap hari Sabtu, dan kadangkala hari Senin, serta pagi hari tanggal 17 Ramadhan, lalu beliau shalat di dalamnya. Beliau memberi dorongan untuk tinggal di Madinah. Beliau menjamin barangsiapa tabah atas kesukaran (cobaan) dan kekerasan Madinah, beliau akan menjadi penyaksi atau penolong baginya pada hari kiamat. Beliau berdoa buruk atas orang melahirkan peristiwa gaduh, berbuat buruk, atau melakukan tindak kiminal di dalamnya, maupun membantu hal-hal itu. Beliau bersabda, “Barangsiapa membuat kegaduhan di dalamnya atau memberi tempat orang yang membuat gaduh, maka baginya laknat Allah, para malaikat, dan umat manusia seluruhnya. Allah tidak menerima amal fardlu (sharf) dan amal sunnah (adl) darinya pada hari kiamat.”
                Beliau mendoakan buruk atas orang yang menyakiti atau menghendaki buruk pada penduduk Madinah agar Allah melelehkannya di api laksana melelehnya timah atau melelehnya garam di air. Beliau berdoa, “Ya Allah, cukupilah orang-orang yang berbuat tidak baik kepada penduduk Madinah dengan adzab.” (H.R. Bazzar dengan sanad hasan).

    Leave a Reply

    Shoutul Haromain FM


    Streaming Islam Android App on Google Playstore

    follow me

    VISITOR

    free counters