أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kamu Lebih Tahu Mengenai Urusan Duniamu.”
Syeikh Ibnul Mubarak dalam al-Ibriz bertanya kepada guru besarnya, yaitu Imam Abdul Azis ad-Dabbagh, mengenai hadits mengawinkan kurma yang terdapat dalam Shahih Muslim ketika Nabi saw. melewati mereka yang sedang mengawinkan kurma, lalu beliau bertanya, “Apa ini?!” Jawab mereka, “Dengan begini, kurma jadi baik, ya Rasulullah!” Beliau lalu bersabda, “Seandainya kamu tidak melakukannya, niscaya tetaplah kurma itu akan menjadi baik.” Mereka lalu tidak mengawinkan kurma, lalu kurmanya jadi jelek. Ketika melihatnya setelah itu, Nabi saw. bersabda, “Ada apa kurma jadi begini jelek?!” Kata mereka, “Ya Rasulullah, engkau telah berkata kepada kita begini dan begitu…” Sabda beliau, “Kamu lebih tahu mengenai urusan duniamu.”
Imam ad-Dabbagh memberikan jawaban. Sabda beliau, “Seandainya kamu tidak melakukannya, niscaya tetaplah kurma itu akan menjadi baik,” merupkan ucapan yang benar dan jujur. Ucapan itu keluar dari kemantapan dan keyakinan beliau, bahwasanya Allah ta’ala bisa berbuat secara mutlak. Kemantapan itu dibangun di atas kesaksian berjalannya perbuatan Allah ta’ala di setiap hal-hal yang memungkinkan secara langsung tanpa perantara dan tanpa sebab. Tidak satu biji diam, tidak satu biji gandum bergerak, tidak satu hati berdebar, tidak urat nadi berdenyut, tidak ada mata berkedip, dan tidak ada seorang teman berisyarah, melainkan Allah ta’ala pembuatnya secara langsung tanpa perantara. Dan ini merupakan perkara yang disaksikan oleh Nabi saw. sebagaimana beliau melihat hal-hal yang dapat diindera lainnya. Semua itu tidak terlepas dari penglihatan beliau, baik di saat terjaga maupun di saat tidur, karena hati beliau (yang di dalamnya terdapat kesaksian ini) tidaklah tidur. Tidak diragukan lagi bahwa pemiliki kesaksian ini telah lenyaplah berbagai sebab dari pandangannya. Dia meningkat naik dari beriman kepada hal yang ghaib menuju menyaksisan dan melihat secara nyata. Firman Allah ta’ala,
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ
Dan Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (Q.S. ash-Shaffaat: 96)
Ayat ini pada sisi beliau terdapat kesaksian abadi yang tidak lenyap dan keyakinan yang sesuai dengan kesaksian ini, berupa keteguhan memaknai ayat secara mantap sehingga tidak terbersit dalam hatinya menisbatkan suatu perbuatan kepada selain Allah ta’ala, walau bersitan hati itu sekecil kepala semut. Tidak diragukan pula bahwa kemantapan (keteguhan) dalam karakteristik seperti ini dapat menembus berbagai kebiasaan dan mempengaruhi segala sesuatu. Dialah rahasia Allah ta’ala yang tidak menyisakan sebab dan perantara. Pemilik maqam (kedudukan) ini jika ia berisyarah terhadap jatuhnya sebab-sebab dan menisbatkan perbuatan kepada Rajanya para raja, maka ucapan dia pastilah benad dan jujur. Adapun orang yang (sekedar) mempunyai keimanan, firman Allah swt. tersebut di atas (Q.S. ash-Shaffaat: 96), pada sisinya tidak terdapat kesaksian, justeru dia hanya menyaksikan penisbatan perbuatan kepada orang yang tampak dalam kekuasaannya dan dia tidak menariknya kepada makna ayat. Menisbatkan perbuatan kepada-Nya dengan cara beriman yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Maka padanya ada dua penarik. Pertama, dari Tuhannya, yaitu keimanan yang dapat menarik kepada kebenaran. Kedua, dari watak tabiatnya, yaitu menyaksikan perbuatan dari orang yang lain yang menarik kepada kebatilan. Dia berada di antara dua penarik ini selamanya, akan tetapi pada satu saat penarik keimanan lebih kuat (dominant), sehingga dia berupaya menghadirkan makna ayat terdahulu sesaat dan dua saat, dan pada saat yang lain penarik yang bersifat watak tabiat lebih kuat, sehingga kamu mendapatinya dia lupa (lalai) terhadap makna ayat sehari dan dua hari.
Pada waktu-waktu lalai, hilanglah keyakinan yang keluar dari adat kebiasaan. Atas dasar ini, urunglah terjadi apa yang diisyaratkan oleh Nabi saw., karena para sahabat –semoga Allah meridlai mereka- terlepas dari keyakinan yang keluar yang dikandung dalam batin Nabi saw.), dan dalam tataran ini keluarlah ucapan beliau yang benar dan jujur. Dan kala beliau tahu alasan tidak terjadinya hal itu dan beliau juga tahu bahwa hilangnya alasan itu tidaklah berada di dalam batas kemampuan mereka, maka beliau menetapkan mereka sesuai dengan keadaan mereka yang lazim seraya bersabda, “Kamu lebih tahu tentang urusan duniamu.”
Setelah uraian ini, Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “Perhatikan –semoga Allah memberikan taufiq kepadamu- apakah engkau mendengar jawaban seperti ini atau kamu melihatnya tertulis dalam satu kitab, ada hadits yang rancu, bagi tokoh-tokoh besar dari ulama-ulama Ushul?”
Anak-anak yang Pipis di Pangkuan Nabi saw.
Beberapa anak kecil pernah pipis (buang air kecil) di pangkuan Nabi saw. Sebagian ulama telah menggubahnya. Katanya,
قَدْ بَالَ فِى حِجْرِ النَّبِي أَطْفَالٌ = حَسَنٌ حُسَيْنُ ، ابْنُ الزُّبَيْرِ بَالُوْا
كَذَا سُلَيْمَانُ بْنِ هِشَامٍ = وَابْنُ أُمِّ قَيْسٍ ، جَاءَ فِى الْخِتَامِ
Anak-anak kecil pipis di pangkuan Nabi: Hasan, Husain, dan Ibnu Zubair.
Demikian pula Sulaiman bin Hisyam dan Ibnu Ummu Qais, yang datang sebagai pamungkas.
(Mauhibah Dzil Fadhl bab Najis).
Berapa Kali Rasul saw. Sujud Sahwi?
Nabi yang bak bulan purnama sujud karena lupa (sahwi) lima kali.
Katakanlah: lupa dalam bilangan ruku’. (Lakukan rakaat) kelima yang ungguli bintang.
Beliau lakukan salam dari dua rakaat. Begitu pula (beliau lakukan salam) ketika baru dapat tiga rakaat. Dan hal itu adalah kebaikan-kebaikan.
Beliau meninggalkan tasyahud, bergegas berdiri dari dua rakaat. Hadits menceritakannya.
(Bujairimi alal Khatib juz 2 hal. 10)
Apakah Nabi saw. Bisa Lupa?
Wahai orang yang bertanya kepadaku, bagaimana Rasulullah saw. bisa lupa (lalai), padahal lupa itu berasal dari hati yang lalai.
Rahasia segala sesuatu tidak dapat diketahui. Beliau lupa terhadap apa yang selain Allah. Pengagungan hanyalah milik Allah.
(Bujairimi alal Khatib juz 2 hal. 100)
Air yang Paling Afdol
وَأَفْضَلُ الْمِيَاهِ مَاءٌ قَدْ نَبَعْ = مِنْ بَيْنِ أَصَابِعِ النَّبِي الْمُتَّبَعْ
يَلِيْهِ مَاءُ زَمْزَمَ فَالْكَوْثَرُ = فَنِيْلُ مِصْرَ فَتَلِيْهُ الْأَنْهرُ
Air yang paling afdol adalah yang keluar dari antara jari-jari tangan Nabi, sosok yang diikuti.
Setelah itu air zamzam, lalu air Kautsar, berikutnya Air sungai Nil Mesir, baru kemudian sungai-sungai yang lain.
Air yang keluar dari jari tangan beliau lebih afdol paling tidak karena dua faktor. Pertama, Rasul saw. secara mutlak adalah sosok yang paling utama di antara seluruh makhluk. Maka apapun yang keluar dari beliau mengikuti dalam keutamaan ini. Atas dasar ini mereka bertabarruk dengan air-air bekas beliau.
Kedua, air ini baru datang dari Tuhannya. Rasul saw. dahulu mengeluarkan kepala saat turun hujan seraya bersabda, “Selamat datang wahai air yang baru datang dari Tuhannya.” Apapun mereka sepakat bahwasanya air ini adalah air yang paling utama. Dan keluarnya air dari jari tangan beliau merupakan suatu mukjizat, karena itu dikatakan,
إِنْ كَانَ مُوْسَى سَقَى الْأَسْبَاطَ مِنْ حَجَرِ = فَإِنَّ فِى الْكَفِّ مَعْنًى لَيْسَ فِى الْحَجَرِ
Jikalau Musa memberi minum suku-suku dari batu, maka di dalam jari tangan sungguh terdapat gambaran yang tidak terdapat di dalam batu.
Adapun penyebab lebih utamanya air zamzam daripada air Kautsar adalah karena Allah ta’ala memilih air itu pada malam Isra’ untuk mencuci kekasih-Nya, yaitu Muhammad saw.
(Demikian. Taqrir Ayahku).
Masuklah Makkah dari Arah yang Dikatakan oleh Hassan
Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Umar ra. Ketika Nabi saw. hendak memasuki kota Makkah pada hari penaklukannya, beliau melihat wanita-wanita melekatkan muka-muka kuda. Beliau tersenyum seraya menoleh pada Abu Bakar dan bersabda, “Wahai Abu Bakar, bagaimana Hassan pernah menggubah?” Abu Bakar lalu menyenandungkan syair yang digubah Hassan,
Kami kehilangan kuda. Jika kamu tidak melihat kuda itu membubungkan debu. Tempat yang dijanjikan bertemu adalah tanah keras.
Tali kekang yang terlepas itu kembali terpasang. Wanita-wanita telah melekatkan kuda-kuda itu dengan tutup-tutup kepala mereka.
Beliau lalu bersabda, “Masuklah kalian dari arah yang dikatakan oleh Hassan.” (Lihat as-Sirah an-Nawabiyah wal Atsar al-Muhammadiyah karya Sayyid Zaini Dahlan).
Jin-jin yang Mendengar Bacaan Rasulullah saw.
Jin-jin yang mendengar bacaan Nabi, para ulama menghimpun jumlahnya ada tujuh.
Nama-nama mereka, wahai orang yang ingat, adalah Hiss, Murr, Syathir, Nashir, Radan, Audas, kemudian Arjab. Imam yang cendekia menceritakannya dalam Fathul Bari.
[Muhammad bin Abdurrahman al-Ahdal al-Marwai]
وَخَمْسَةٌ مِنَ السّرَاةِ نَقَضُوْا = صَحِيْفَةَ الظُّلْمِ وَأَمْرًا رَفضَا
وَهُمْ: زُهَيْرٌ وَهِشَامُ الْعَامِرِي = كَذَاكَ مُطْعِمٌ وَزَمْعَةُ السَّرِي
كَذَا أَبُو الْبخْترِي قَوْمُ أَسَدِ = مُخْزِي أَبِي جَهْلِ الشَّقِيِّ الْأَنْكَدِ
“Dan ada lima orang dari kalangan orang-orang mulia menghapus shahifah (lembar perjanjian) yang penuh kedzaliman dan liar (keluar dari etika).
Mereka adalah Zuhair, Hisyam al-Amiri, Muth’im dan Zam’ah yang mulia.
Demikian pula Abul Bakhtari dari kaum Asad, yang menghinakan Abu Jahal, sosok celaka lagi bernasib buruk.”
Kaum Quraisy berkumpul dan menulis lembar perjanjian untuk mengisolasi Bani Hasyim atau mereka menyerahkan Nabi saw. untuk dibunuh. Bani Hasyim bersama dengan Bani Mutthalib lalu masuk lembah. Kaum Quraisy mengurung dan memboikot mereka. Kemudian berkumpullah lima orang dari orang-orang pintar Quraisy, yaitu yang tersebut tadi. Mereka menghapus dan membatalkan lembar penjanjian itu. Dan yang mengagumkan adalah bahwa orang-orang yang menulis shahifah itu ada lima , sedang yang menghapus juga ada lima . Dalam hal ini, al-Bushiri menggubah,
فُدِيَتْ خَمْسُةُ الصَّحِيْفَةِ بِالْخَمْـ = ـسَةِ إِنْ كَانَ لِلْكِرَامِ فِدَاءُ
فِتْيَةٌ بَيَّتُوْا عَلَى فِعْلِ خَيْرٍ = حَمِدَ الصُّبْحُ فِعْلَهُمْ وَالْمَسَاءُ
Lembaran yang ditulis lima orang ditebus oleh lima orang pula. Sesungguhnya penebusan hanya dilakukan oleh orang-orang mulia.
(Dari ayahandaku dari Syeikh Muhammad Arabi Tabbani dari gurunya).
Ringkasan Penting Mengenai Shalawat dan Salam kepada Nabi saw.
Aku membuat ringkasan mengenai tempat-tempat bershalawat dan salam kepada Nabi saw., seraya mengelompokkan dan menertibkannya,
Tempat-tempat yang ditekankan bershalawat dan salam kepada Rasulullah saw. di dalamnya: melewati masjid, melihat masjid, masuk dan keluar masjid, melihat Ka’bah, di atas bukit Shafa dan Marwa, mengecup Hajar, Multazam, masjid Khaif, kala melihat kota satelit Madinah Munawarah, menziarahi makam beliau, meninggalkan makam beliau, melihat petilasan, lokasi-lokasi, dan tempat-tempat beliau berhenti, seperti Badar, bepergian dan menaiki kendaraan, keluar menuju pasar, dan memasuki rumah.
Ibadah: selesai berwudlu dan bertayammum, selesai mandi janabah dan haid, usai shalat shalat, saat iqamah, tasyahud, qunut, saat bangun untuk shalat tahajjud dan setelahnya, saat setelah menjawab adzan, khutbah Jum’at, dua hari raya, istisqa’, gerhana matahari dan bulan, takbir-takbir shalat dua hari raya, usai talbiyah, awal doa, tengah doa, akhir doa, khatam al-Qur’an, menghafal al-Qur’an, semua tempat berkumpul untuk dzikir, dan taubat dari dosa.
Adat: bangkit dari tempat duduk, berjumpa teman, berpisahnya kaum (bubaran), terpelesetnya kaki, bersin, lupa, menganggap bagus sesuatu, memakan buah lobak, suara keledai, penyembelihan, jual beli, menulis wasiat, meminang untuk dinikahi, kurang (tidak bisa) tidur, berdengungnya telinga, menyebarkan ilmu, membaca hadits, berfatwa, memberikan sesuatu, dan pembukaan setiap ucapan.
Saat-saat musibah menimpa: orang yang dituduh buruk sementara dia bersih, jika mempunyai berbagai hajat kebutuhan, thaun, banjir, kefakiran, kesulitan, kesusahan, keresahan, jenazah, dan memasukkan mayat ke dalam kubur.
Waktu: hari Jum’at, malam Jum’at, Sabtu, Ahad, Senin, Selasa, bulan Sya’ban, sore hari Arafah, setiap pagi dan sore.
(Semua yang kami sebut berasal dari kitab Nuzhatun Nadzirin, sementara ringkasan dan pengurutan berasal dariku, dan juga berasal dari kitab Qaul Badi’ hal. 170)
Seputar Masalah Teguran Allah kepada Nabi-Nya
Syeikh Ibnul Mubarak bertanya kepada guru besarnya, Syeikh Sayyid Abdul Azis ad-Dabbagh, mengenai firman Allah ta’ala,
وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ
Dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. (Q.S. al-Ahzaab: 37) Bagaimana Allah menegur Nabi-Nya, sedang beliau adalah penghulu orang-orang arif dan imam para nabi dan rasul?
Syeikh ad-Dabbagh lalu memberi jawaban kepadaku dengan pengertian ini. Katanya, “Baginda Nabi saw. kala diajak musyawarah oleh Zaid di dalam mencerai isterinya dan perintah beliau agar dia menahan terus isterinya (tidak menceraikannya) dan menyruhnya bertakwa kepada Allah di dalam mempergauli isterinya itu, sedang beliau mengetahui bahwa isterinya itu akan menjadi miliknya dan merahasiakan hal itu, maka beliau balik menegur dirinya. Dalam hati (batin)nya beliau berujar, “Kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” Dia tampak terus mencela dirinya di dalam hati. Allah Yang Maha Suci lalu menampakkan apa yang ada di dalam hati beliau itu seraya menurunkan wahyu.”
Syeikh ad-Dabbagh berkata, “Barangsiapa dibukakan hatinya oleh Allah dan mau merenungkan kitab-kitab yang turun dari langit, niscaya dia akan mendapati cahaya firman terdahulu dan cahaya karakter keadaan Nabi saw. pada saat diturunkannya wahyu itu.
Berikutnya ad-Dabbagh berkata, “Orang yang telah terbuka pintu hatinya manakala menafsirkan al-Qur’an di antara mereka, mereka hanyalah mempergunakan Asbabun Nuzul, dan tidaklah yang dimaksud Asbabun Nuzul itu apa yang ada dalam ilmu lahir, melainkan berbagai kondisi dan cahaya yang zat Nabi saw. ada pada waktu turunnya al-Qur’an itu, maka terdengarlah dari mereka hal-hal yang tidak diduga (memiliki bentuk tertentu), karena mereka menyelami dalam di lautan batin Nabi saw.”
Aku bertanya pula kepada ad-Dabbagh mengenai firman Allah swt.,
عَفَا اللهُ عَنْكَ لِمَ أَذِنْتَ لَهُمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوا وَتَعْلَمَ الْكَاذِبِيْنَ
Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta? (Q.S. at-Taubah: 43)
Ad-Dabbagh lalu memberikan padaku jawaban yang mirip dengan pengertian ini. Katanya, “Sesungguhnya Nabi saw. diperintahkan oleh Allah ta’ala untuk memberi ampun dan memberi maaf yang indah serta bergaul dan membela diri dengan cara yang lebih baik, sehingga Allah berfirman padanya,
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْأَمْرِ
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (Q.S. Ali Imran: 159)
Dan ini adalah tradisi yang beliau terapkan bersama para makhluk.
Lalu ketikan datang kepada beliau kaum munafik dan mereka meminta izin untuk tidak ikut berperang dan mereka menyebutkan uzur-uzur mereka, maka beliau memberi izin mereka tidak ikut perang, sementara beliau mengetahui kemunafikan mereka, atas dasar rasa sayang dalam diri beliau dan atas dasar perintah Allah kepadanya agar bergaul dengan cara yang lebih baik, dan Allah telah mengkhususkan hal itu tidak hanya dalam satu ayat saja, maka menghadapi mereka beliau menempuh jalan lahir. Kemudian beliau berbicara di dalam batinnya akan turunnya ayat yang akan membuka kedok (menelanjangi) mereka. Beliau enggan mengurus dan membuka kejelekan mereka karena rasa sayang dalam dirinya dan wasiat Allah padanya. Beliau lalu berbicara dalam batinnya akan terbukanya kedok mereka dari arah yang penjelasannya berasal dari Allah, bukan dari dirinya, karena rasa malu yang ada dalam diri beliau, seperti firman-Nya,
إِنَّ ذلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِى مِنْكُمْ وَاللهُ لاَ يَسْتَحْيِى مِنَ الْحَقِّ
Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. (Q.S. al-Ahzaab: 53) Nabi saw. menyukai diturunkannya ayat dalam bentuk teguran baginya agar lebih menghindarkannya dari tuduhan jelek, lebih ditanggapi sebagai suatu nasehat belaka, dan lebih mencegah mereka dari menyibukkan diri bersifat munafik dalam hidup bersama dengan Nabi saw. pada kesempatan lainnya. Sesungguhnya Allah ta’ala adalah Dzat Yang diserahi beliau menghadapi orang-orang munafik, musuh-musuh, dan para pembantah beliau. Gambaran teguran ini dengan demikian mencakup sekian banyak kemaslahatan, dan secara batin sesungguhnya tidak ada teguran, dan Sang Kekasih (Allah) hanyalah mendudukkan kesasihnya (Nabi) sebagai ganti di dalam menegur, bukan lainnya.
Ad-Dabbagh berkata, “Seseorang tidak sepantasnya berprasangka bahwa Nabi saw. tidak mengetahui yang jujur dari yang tidak jujur dari orang-orang yang uzur. Bagaimana hal itu tersembunyi bagi beliau, sedang orang yang dibukakan pintu hatinya di zaman ini saja dapat mengetahui yang jujur dari yang tidak jujur dari mereka di zaman itu. Dan orang-orang yang terbuka hatinya itu bisa meraih apa yang mereka raih hanyalah disebabkan kecintaan mereka kepada Nabi saw. Mereka lalu diberikan anugerah sekedar sebiji dari cahaya beliau. Dan telah disebutkan bahwa kitab suci al-Qur’an ini diturunkan atas tiga huruf, maka bagaimana dengan ilmu Nabi saw.?”
Ibnul Mubarak berkata, “Taqrir (keterangan) mengenai ayat ini agaknya merupakan keterangan terbaik di dalam ayat itu bagi orang yang mau merenungkan ucapan para mufassir.”
Al-Baidlawi berkata –semoga Allah mengampuni kita dan dia-: “Ayat ‘Semoga Allah memaafkanmu’, merupakan sindiran akan kesalahan beliau di dalam memberikan izin, karena pemberiaan maaf itu lazimnya berada di belakang melakukan kesalahan.”
Syeikhul Islam Zakariya dalam catatan pinggirnya menyatakan, “Zamakhsyari mengikuti pandangan ini. Ath-Thibi berkata, “Zamakhsyari melakukan kesalahan yang nyata di dalam perkataan ini. Aku tidak tahu, bagaimana dia bisa lupa bahwa di dalam isyarah-isyarah semacam ini, yakni didahulukannya pemberiaan maaf, terdapat rasa pengagungan dan penghormatan terhadap orang yang diajak bicara, dan seperti itulah kenyataannya, karena hal semacam ini tidaklah mengharuskan berbuat kesalahan terlebih dahulu, justeru kemunculannya menunjukkan aspek pengagungan, seperti kamu katakan kepada orang yang kamu agungkan, “Semoga Allah memaafkanmu. Apa yang kamu perbuat dalam urusanku?” “Semoga Allah meridlaimu. Apa jawabanmu terhadap ucapanku?”
Atas dasar ini at-Taftazani berkata, “Tidak sepatutnya pengarang (yakni Zamakhsyari) membuat redaksi bahasa yang buruk ini setelah Allah memperhatikan Rasulullah saw. dengan mendahulukan permaafan, menyebut izin yang menerangkan keluhuran martabat dan kuatnya interaksi, dan menyampaikan ucapan dalam bentuk istifham (pertanyaan), walaupun tujuan yang dimaksudkan adalah ingkar, di sisi lain, ucapan mereka, “semoga Allah memaafkanmu”, seringkali diucapkan saat meninggalkan hal yang utama, bahkan (diucapkan) dalam posisi mengagungkan dan memuliakan, seperti “Semoga Allah memaafkanmu. Apa yang kamu lakukan di dalam urusanku?”
Al-Hafidz as-Suyuthi dalam catatan pinggirnya menyatakan, “Redaksi bahasa yang jelek ini diikuti oleh Zamakhsyari. Penulis kitab al-Intishaf berkata, “Kata itu berada di antara dua perkara. Adakalanya makna ini tidak dikehendaki, maka beliau melakukan kesalahan, atau makna ini dikehendaki, tetapi Allah menyatakannya dalam bentuk sindiran, sebagai pengagungan dan pengangkatan atas derajat Nabi saw. Apakah engkau tidak beretika dengan etika Allah ta’ala, apalagi pada diri pribadi sosok manusia pilihan?!” As-Suyuthi kemudian menukil ucapan ath-Thibi dan at-Taftazani, kemudian berkata, “Qadli Iyadh dalam asy-Syifa berkata, “Ia adalah pembuka perkataan, seperti kedudukannya kalimat, “semoga Allah memperbaikimu dan semoga Dia memuliakanmu.” Untuk membantah Zamakhsyari mengenai hal ini, tokoh terkemuka, yaitu Hasan bin Muhammad bin Shaleh an-Nabulsi menyusun kitab berjudul “Junnatun Nadzir wa Junnatul Munadzir fil Intishar li Abil Qasim ath-Thahir saw.,” (perisai pemandang dan pembanding di dalam membela Abul Qasim nan suci). Karena noktah-noktah ini dan sejenisnya, para ahli agama dan wara’ melarang mentelaah dan membacakan kitab al-Kasysyaf. Mengenai hal ini, Taqiyuddin as-Subky mengarang kitab berjudul “Sababul Inkifaf an Iqra’ al-Kasysyaf” (penyebab larangan dari membacakan kitab al-Kasysyaf). Maka lihatlah di dalam catatan pinggir itu. Sungguh dia telah menukilnya dengan cukup memuaskan. Wallahu ta’ala a’lam.
Hakikat Mukjizat Nabi saw.
Syeikh Ahmad bin Mubarak berkata, “Aku mendengar Sayyidi Abdul Azis ad-Dabbagh radliyallahu anhu berkata mengenai hadits,
مَا مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ وَقَدْ أُعْطِيَ مَا مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ ، وَمَا كَانَ الَّذِى أُوْتِيْتُهُ إِلاَّ وَحْيًا يُتْلَى
“Tidak ada seorang nabi pun kecuali dia diberikan sesuatu (mukjizat) yang dengannya manusia beriman kepadanya. Sesungguhnya mukjizat yang diberikan kepadaku berbentuk wahyu yang bisa dibaca.”
Sesungguhnya mukjizat para nabi itu menurut jenis diri pribadi mereka dan apa yang berhubungan dengan diri pribadi mereka itu. Di antara mukjizat itu ada yang diberikan kepada mereka setelah dewasa. Ada mukjizat yang tumbuh bersama dengan diri pribadi mereka pada masa kecil mereka hingga mukjizat itu tampak pada masa dewasa mereka.
Mukjizat Nabi kita itu berasal dari Dzat Yang Maha Benar, dan merupakan nur-Nya, kesaksian-Nya, dan ajakan dialog-Nya yang mencakup zat, akal, jiwa, dan ruh, serta rahasia beliau. Sehingga, seandainya kesaksian (musyahadah) beliau diberikan kepada seluruh nabi-nabi, niscaya mereka tidak akan mampu. Karena itu beliau bersabda, “Sesungguhnya mukjizat yang diberikan kepadaku berbentuk wahyu yang bisa dibaca.” Yakni, mukjizat beliau tidaklah sama seperti jenis mukjizat-mukjizat mereka, walau mukjizat-mukjizat mereka mencapai kadar keagungan, keluhuran, dan kebesaran sampai membuat seluruh manusia beriman kepada mereka. Mukjizat beliau berada di atas itu semua, karena berasal dari Dzat Yang Maha Benar lagi Maha Suci, bukan dari pribadinya.
Kemudian Sayyidi Abdul Azis memberikan perumpamaan seorang raja. Setiap kali raja itu bertambah anak, dia mengirimnya pada tempat pendidikan seraya mengirim serta masing-masing berbagai keperluan yang indah seperti mutiara, agar diketahui dan dikenali bahwa dia bersamanya, hingga ada anak (terakhir) yang dibiarkan berada di sisinya. Dia sendiri yang mendidiknya dan mengurus segala urusannya. Maka tidak bisa dibatasi kesempurnaan makrifat yang diraih anak ini, juga kesempurnaan titisan rahasia ayahandanya pada dirinya, dan tidaklah dapat dikiaskan dengan apa yang diraih oleh saudara-saudaranya sama sekali.
Ad-Dabbagh berkata, “Dahulu sebagian sahabat berharap sebagian mukjizat nabi-nabi juga tampak kelihatan pada diri Nabi saw. Nabi saw. lalu menoleh kepada hal itu, namun beliau buru-buru melihat apa yang telah diberikan oleh Allah secara spesial kepada diri beliau. Sifat malu yang agung lalu meliputinya.”
Ad-Dabbagh kemudian membuat perumpamaan seseorang yang disilakan oleh raja untuk berbuat apa saja di wilayah kekuasannya, sementara sebagian sahabat-sahabatnya berharap dia mempunyai kampong yang dia bisa berbuat bebas di dalamnya.
Berbagai Macam Musyahadah Nabi saw.
Syeikh Ahmad bin Mubarak bercerita tentang guru besarnya, Abdul Azis ad-Dabbagh radliyallah anhu. Aku bertanya kepadanya tentang sabda Rasulullah saw.,
وَاللهِ لاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ ، وَلاَ عِنْدِي مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ
“Demi Allah, aku tidak mendapati apa yang bisa aku bawakan kepadamu. Aku juga tidak mempunyai apa yang bisa aku bawakan kepadamu.”
Beliau berbicara pada suku Asy’ariyun, kemudian beliau memberikan bawaan pada mereka setelah itu. Nabi saw. tidaklah berkata kecuali benar dan jujur. Ad-Dabbagh berkata, “Iya, Nabi saw. tidaklah berkata kecuali benar dan jujur. Dan ucapan beliau keluar menurut batin dan musyahadah (kesaksian) beliau. Beliau sesekali berada di dalam musyahadah Dzat Yang Maha Tinggi. Dan di dalam musyahadah ini ada kelezatan yang agung, yang tidak bisa dibatasi, tidak bisa dikuasai, dan tidak bisa disamai oleh sesuatu di dunia. Ia adalah kelezatan penduduk surga. Dan sesekali beliau berada di dalam musyahadah Dzat secara kuat dan dengan kekuasaan yang memaksa. Di dalam musyahadah ini ada ketakutan dan kegelisahan disebabkan menyaksikan kekuatan dan kekuasaan yang memaksa. Dan dua model musyahadah ini kadang tersembunyi dari makhluk dan tidak satu pun mereka menyaksikannya. Sedikit dari hal ini telah dinyatakan dalam hadits, “Jibril tidak tersembunyi atasku.”
Pada kali lain, beliau berada di dalam musyahadah (menyaksikan) kuatnya Dzat bersama alam semesta. Maka beliau menyaksikan kekuatan berjalan di alam semesta. Di dalam musyahadah ini Dzat Yang Maha Tinggi tersembunyi dari batin, dan hanya tersisa perbuatan-perbuatannya. Di dalam musyahadah ketiga ini dapatlah menjalankan syariat, mengajari makhluk, dan menyampaikan mereka pada kebenaran. Apa yang diucapkan Nabi saw. tidaklah melampaui musyahadah-musyahadah ini. Suatu kali beliau berada di atas musyahadah pertama. Kali lain berada di atas musyahadah kedua. Dan kali berikutnya pada musyahadah ketiga. Dan hadits yang tersebut tampak keluar pada musyahadah kedua. Nabi saw. tampak tersembunyi di dalam musyahadah Dzat dan kekuatan musyahadah itu. Beliau tersembunyi jauh dari dirinya lebih-lebih dari orang selainnya. Maka ketika mereka berkata kepadanya, “Ya Rasulullah, berilah bawaan pada kami,” mereka mendapati beliau kebetulan di dalam musyahadah ini. Kata beliau pada mereka, “Demi Allah, aku tidak mendapati apa yang aku bisa bawakan pada kamu… dan seterusnya,” dan itu adalah ucapan yang jujur.
Lalu ketika beliau kembali pada menyaksikan (musyahadah) alam semesta dan berkebetulan dengan datangnya unta untuk beliau, maka berjalanlah hukum musyahadah ini berikut apa saja yang menjadi indikasinya, dari mengikuti berbagai perintah dan melaksanakan hak makhluk. Beliau bersabda, “Di mana orang-orang Asy’ariyun?” Mereka lalu dipanggil. Beliau lalu memberi (bawaan) pada mereka. Lalu mereka berkata, “Ya Rasulullah, engkau telah berjanji bahwa tidak akan memberi pada kami sedang engkau memberi kami?!” Nabi saw. lalu memberi jawaban yang mengindikasikan bahwa sumpah beliau yang pertama kali berada di atas indikasi musyahadah yang meliputi beliau waktu itu, lalu beliau bersabda, “Bukanlah aku yang membawakan untukmu, tetapi Allah-lah yang membawakan untukmu (maksudnya: sesungguhnya aku bersumpah bahwa aku tidak membawakan untukmu dan aku juga tidak punya apa yang bisa aku bawakan padamu. Dan inilah yang terjadi). Karena yang membawakan untukmu adalah Allah bukan aku. Maka ini adalah informasi beliau bahwa beliau tidak berkata kecuali benar dan jujur. Aku katakana, “Lalu mengapa beliau saat itu membayar kaffarat sumpahnya, saat beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak bersumpah dengan suatu sumpah, lalu aku melihat ada yang lebih baik dari sumpah itu, melainkan aku akan membayar kaffarat dari sumpahku dan aku lakukan hal yang lebih baik.” Ad-Dabbagh menjawab, “Dalam kisah ini, Nabi saw. tidaklah membayar kaffarat sumpah. Dan apa yang beliau sebut setelahnya dalam hadits hanyalah permulaan ucapan, merintis hukum, dan mengemukakan kaidah syara’. Dan tidaklah muncul dari beliau menebus sumpah dalam kisah ini sama sekali.”
Aku katakana, “Dan kepada inilah para pembesar ulama seperti Hasan Bashri dan lainnya berpendapat.”
Maka alangkah arifnya guru besar yang agung ini.
Aku Semalaman Berada di Sisi Tuhanku. Dia Memberiku Makan dan Minum.
Syeikh Ahmad bin Mubarak dalam al-Ibriz bertanya kepada guru besarnya, Sayyidi Abdul Azis ad-Dabbagh tentang hadits,
أَبِيْتُ عِنْدَ رَبِّيْ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِيْنِ
“Aku semalaman berada di sisi Tuhanku. Dia memberiku makan dan minum.”
Ad-Dabbagh menjawab, “Al-indiyah (di sisi) maksudnya adalah al-maiyyah (kebersamaan).” Dan yang dimaksudkan dengan makan dan minum adalah Allah memberikan kekuatan kepada Nabi-Nya.” Aku lalu bertanya, “Apakah zat (unsur) yang berasal dari tanah cukup dengan mencicipi cahaya, sehingga tidak memerlukan makanan?” Jawabnya, “Hal itu tidaklah cukup. Seandainya kita tetapkan bahwa ada seseorang yang sengaja berbuat buruk kepada seorang nabi. Nabi itu lalu dicegahnya dari makan dan minum. Niscaya matilah nabi itu. Maka zat yang berasal dari tanah ini mestilah butuh makanan yang tumbuh dari tanah. Atas dasar ini, kamu lihat para nabi sama makan, minum, lapar, dan dahaga.” Wallahu a’lam.
Aku bertanya juga kepadanya, “Apakah beliau (Nabi saw.) dilahirkan pada malam hari sebagaimana pandangan segolongan ulama seraya berdalil dengan haditsnya Utsman bin Abil Ash dari ibundanya, Fatimah binti Abdullah ats-Tsaqafiyah. Ibundanya itu berkata, “Aku menyaksikan kelahiran Nabi saw. Takala terlahir, aku melihat rumah itu dipenuh cahaya. Aku lihat pula bintang-bintang mendekat, sehingga aku menyangka bintang-bintang itu akan jatuh di atasku.” H.R. Baihaqi dan lainnya. Dan mereka menganggapnya shahih. Meerka juga berdalil dengan haditsnya Muslim dan lainnya, tetapi jauh dari fajar, seperti diceritakan pada hadits lain, walaupun dlaif (lemah), karena hadits dlaif bisa diamalkan dalam hal fadlail (keutamaan beramal) dan dalam hal manaqib (biografi). Mereka memberikan jawaban mengenai hadits terdahulu bahwa bintang-bintang itu kelihatan setelah fajar. Maka hadits terdahulu tidaklah menunjukkan kelahiran beliau pada malam hari sebelum fajar. Dia (ad-Dabbagh) radliyallah anhu (dan semoga Allah memberikan pertolongan padaku dengan rahasia-rahasia zatnya yang mulia) mengatakan, “Yang ada dalam kenyataan adalah beliau saw. dilahirkan pada akhir malam (satu masa sebelum terbit fajar) dan tertunda plasenta ibunda beliau hingga terbitnya fajar. Masa antara terlepasnya beliau dari perut ibundanya dan terlepasnya plasenta dari sang ibunda adalah masa dikabulkannya doa pada waktu malam. Masa ini telah diceritakan oleh banyak hadits, dibanggakan, dan diagungkan, serta hukumnya terus berlangsung hingga hari kiamat.”