Al-Allamah
al-Jardani berkata dalam kitab Fathul Allam bi Syarh Mursyidul Anam, “Dan di
antara hal baru yang paling mulia bahkan pendekatan dan ketaatan yang termulia
adalah tradisi yang terus berlangsung berupa memperhatikan maulid yang mulia,
suka cita di dalamnya terhadap penghulunya para penghulu, memberikan makanan,
membantu berbagai kebutuhan, dan membaca kisah maulid yang mulia.”
Ibnu
Jauzi berkata, “Dan termasuk perkara yang mujarab adalah barangsiapa
melaksanakan maulid maka dia akan mendapatkan keamanan pada tahun itu, dan
berita gembira yang kontan dengan teraihnya cita-cita.” Dan telah diceritakan
bahwa tatkala beliau lahir, Tsuwaibah (budak perempuan Abu Lahab) pergi lalu
memberi kabar berita gembira kelahiran itu kepada tuannya, yaitu Abu Lahab. Abu
Lahab lalu memerdekakannya dan memerintahkannya agar menyusuinya. Karena itu,
dia diberikan balasan berupa keringanan di neraka, setiap malam Senin. Jika ini
adalah keadaan orang yang secara jelas telah dicela oleh al-Qur’an, maka apa
sangkaanmu terhadap seorang muslim yang bergembira terhadap maulid Nabi-nya,
dan menampakkan kemampuan yang ia sanggupi dalam mengekspresikan cinta
kepadanya, pasti balasannya dari Allah Yang Maha Mulia adalah dimasukkannya dia
ke surga yang penuh kenikmatan, atas anugerah-Nya semata.”
Termasuk hal
baru yang mulia pula adalah tradisi berupa berdirinya manusia kala memperingati
maulid Nabi saw. Hal itu ditekankan. Karena di dalamnya terdapat pengagungan
kepadanya, menampakkan kesukacitaan terhadapnya, dan kegembiraan. Bahkan,
sebagian ulama Hanafiyah berfatwa orang yang tidak mau berdiri di saat semua
orang berdiri adalah kufur. Tentu, jikalau tidak boleh berdiri karena kehadiran
beliau, walaupun pada saat memperingati maulidnya, maka kepada siapa harus
berdiri? Akan tetapi, al-Allamah al-Halwani menuturkan dalam Mawakib-nya,
“Seyogyanya atau seharusnya tidak dilakukan jika khatib menuturkan hal itu,
atau pola berdiri menimbulkan gangguan dan tidak bisa memperhatikan (khutbah).”
Di Antara Formula Salam Terbaik kepada
Nabi saw.
Dan
termasuk formula terbaik yang dapat diucapkan oleh peziarah adalah, “Assalamu
alaika (salam kesejahteraan semoga terlimpah kepada engkau) ya Sayyidi (wahai
Bagindaku) ya Rasulallah. Aku mendengar Allah berfirman, [Atau wahai
sebaik-baik rasul. Sesungguhnya Allah menurunkan Kitab yang benar kepada
engkau], Dia berfirman di dalamnya,
وَلَوْ
أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ
وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيْمًا
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika
menganiaya dirinya (berdosa) datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah,
dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah
Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
(Q.S. an-Nisaa’: 64).
Dan aku sungguh telah datang kepada engkau memohon ampunan untuk dosaku,
memohon syafaat (pertolongan) dengan (perantara) engkau kepada Tuhanku.” Dalam
riwayat lain, “Sesungguhnya aku datang kepadamu seraya memohon ampunan kepada
Rabb-mu azza wa jalla dari dosa-dosaku,”
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ
|
فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَالْأَكَمُ
|
|
نَفْسِى الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ
|
فِيْهِ الْعَفَافُ وَفِيْ؇ِ الْجُوْدُ وَالْكَرَمُ
|
“Wahai sebaik-baik manusia yang tulang-tulangnya
dikebumikan di dasar tanah. Lalu lembah dan bukit menjadi semerbak harum
dikarenakan keharuman tulang-tulang itu. Diriku menjadi tebusan bagi makam yang
engkau tempati. Di dalamnya ada kesucian. Ada
pula di dalamnya kemurahan dan kebaikan hati.”
Diriwayatkan
dari Muhammad Utbi (syeikh imam kita) –semoga Allah meridlai keduanya-
sesungguhnya dia mendengar seorang dusun mengucapkan hal itu di sebelah makam
yang mulia, dan pulang, lalu Utbi melihat Rasulullah saw. dalam tidur. Beliau
bersabda, “Wahai Utbi, susullah orang dusun tadi, dan berikan berita gembira
kepadanya bahwa sesungguhnya Allah telah memberikan pengampunan kepadanya.”
Sebagian
ahli yang banyak menghafal hadits meriwayatkan dari Abu Said as-Sam’ani. Dia
meriwayatkan dari Ali karramallah wajhah: Tiga hari setelah dimakamkannya
Rasulullah saw., seorang penduduk dusun datang, dia lalu menjatuhkan dirinya di
atas makam mulia (shalawat dan salam semoga selalu terhatur kepada
penghuninya), dan dia menaburkan debu makam pada kepalanya, seraya berkata,
“Wahai Rasulullah, engkau berkata dan aku mendengar perkataanmu, engkau
memahami dari Allah ta’ala sebagaimana kami memahami dari engkau, dan di antara
yang diturunkan kepada engkau adalah firman-Nya,
وَلَوْ
أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ
وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيْمًا
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika
menganiaya dirinya (berdosa) datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah,
dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah
Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.R. an-Nisaa’: 64).
Dan
sungguh aku telah menganiaya diriku, dan aku telah datang kepadamu agar engkau
memohonkan ampunan untukku kepada Tuhanku.” Lalu diserukan dari dalam makam
yang mulia, “Sesungguhnya Dia telah mengampunimu.”
Kisah
ini dituturkan oleh komentator Iqna’, Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim,
Ibnu Asakir, dan Ibnu Jauzi. Ditegaskan pula oleh al-Hafidz Ibnu Katsir.
Memperbarui taubat memang ditekankan di tempat yang mulia ini, juga
(ditekankan) memohon kepada Allah ta’ala menjadikan taubat itu taubat yang
nashuha, memohon syafaat kepada Nabi saw. agar taubatnya diterima, memperbanyak
istighfar, dan merendahkan diri dengan membaca ayat tersebut, serta berucap
setelah itu: “Dan sungguh aku telah menganiaya diriku dengan penganiayaan yang
banyak, aku melakukan dosa besar disebabkan kebodohan dan kelalaianku, dan
sungguh aku telah datang berziarah kepada engkau seraya memohon perlindungan
engkau, aku datang kepada engkau seraya memohon ampun dari dosaku, memohon
engkau memberikan syafaat untukku kepada Tuhanku, engkaulah pemberi syafaat
bagi orang-orang yang berdosa, yang diterima penghadapannya di sisi Tuhan
semesta alam, dan inilah aku yang mengakui salah dan dosaku, bertawassul dengan
engkau kepada Tuhanku, dan `ku memohon kepada Allah Dzat Yang Maha Dermawan
lagi Maha Pengasih dengan perantara engkau, agar Dia mengampuniku, mematikanku
di atas sunnah dan kecintaan kepadamu, menghimpunku di dalam golonganmu, dan
melewatkanku dan kekasih-kekasihku pada telagamu, tanpa rendah, hina, dan
menyesal, dan berikanlah syafaat kepadaku wahai Rasul Allah, Tuhan semesta
alam, wahai pemberi syafaat orang-orang yang berdosa. Inilah aku yang berada di
hadirat engkau, yang turun di pintumu, dan aku gantungkan harapan pada
kedermawanan Tuhanku, mudah-mudahan Dia mengasihi hamba-Nya, walau dia berlaku
buruk, dan mudah-mudahan memaafkan apa yang dia langgar, serta mudah-mudahan
menjaganya dari apa yang tersisa dari dunia, dengan keberkahanmu dan syafaatmu,
wahai pamungkas nabi-nabi dan pemberi syafaat orang-orang yang berdosa.
أَنْتَ
الشَّفِيْعُ وَآمَالِي مُعَلَّقَةٌ = وَقَدْ رَجَوْتُكَ يَا ذَا الْفَضْلِ
تَشْفَعُ لِي
هذَا
نَزِيْلُكَ أَضْحَى لاَ مَلاَذَ لَهُ = إِلاَّ جَنَابُكَ يَا سُؤْلِيْ وَيَا
أَمَلِيْ
Engkau pemberi syafaat dan harapanku
digantungkan. Dan sungguh aku mengharap padamu wahai pemilik anugerah agar
memberikan syafaat kepadaku.
Inilah orang yang singgah padamu yang
tidak punya perlindungan selain sisimu, wahai permohonanku dan wahai harapanku.
Lainnya
menggubah,
ضَيْفٌ
ضَعِيْفٌ غَرِيْبٌ قَدْ أَنَاخَ بِكُمْ = وَمُسْتَجِيْرٌ بِكُمْ يَا سَادَةَ
الْعَرَبِ
يَا
مُكْرِمِي الضَّيْف يَا عَوْنَ الزَّمَانِ وَيَا = غَوْثَ الْفَقِيْرِ وَمَرْمَى
الْقَصْدِ وَالطَّلَبِ
هذَا
مَقَامُ الَّذِي ضَاقَتْ مَذَاهِبُهُ = وَأَنْتُمْ فِى الرَّجَا مِنْ أَعْظَمِ
السَّبَبِ
Tamu, lemah, nan asing telah menghadap
kepadamu, memohon perlindungan kepadamu, wahai penghulu Arab.
Wahai yang selalu memuliakan tamu. Wahai
penolong zaman. Wahai penolong orang fakir, sasaran tujuan dan permohonan.
Ini adalah posisi orang yang sempir
jalannya, sedang engkau merupakan perantara terbesar di dalam harapan.
Atau
dia mengucapkan juga setelah ayat tersebut, “Kami tamu engkau dan peziarah
engkau, wahai Rasulullah. Kami datang kepadamu untuk memenuhi hak engkau,
mendapatkan keberkahan dengan menziarahimu, dan memohon syafaat dengan
perantaramu, dari segala hal yang membebani punggung kami, membuat gelap hati
kami, ya Rasulullah, tiadalah penolong yang kami damba selain engkau, tidak ada
tumpuan harap yang kami hubungi selain pintumu, maka mohonkan ampun pada kami,
berikan syafaat kepada kami di sisi Tuhanmu, mohonlah kepada-Nya agar
memberikan anugerah pada setiap permohonan kami, menghimpun kami di dalam
folongan hamba-hamba-Nya yang shaleh, dan ulama-ulama yang amil.”
Keutamaan Nabi saw. dalam al-Qur’an
Sebagian
ulama menggubah,
Bukankah Dzat Yang Maha Pengasih dalam surat ad-Dluha telah
menjadikanmu puas? Tidak mungkinlah engkau puas, sedang di antara kami ada yang
disiksa!
Apakah engkau puas (rela; senang)
terhadap keterlantaran kami dengan derajat pangkat yang bisa mencegahnya,
padahal kami dinisbatkan kepada ambang pintumu?!
Luapkanlah percikan (embusan) kenabian
pada kami yang dapat menghimpun dan mempersatukan kaum muslimin yang berserakan
(bercerai-berai).
Ulama
lainnya menggubah,
Kami membaca di dalam surat ad-Dluha ‘wa lasaufa yu’thi’ (Dan kelak
Dia akan memberikan), maka suka citalah hati kami dengan pemberian itu.
Wahai Rasulullah, tidak mungkin engkau
puas, sedang di kalangan kami ada yang diadzab atau diperlakukan buruk.
Ulama
lain juga menggubah,
Bagaimana ada jalan untuk menjauh dari
menyanjung sosok yang Allah telah berfirman kepadanya, -dan cukuplah itu
sebagai ketinggian pangkatmu-, “Sesungguhnya orang-orang yang berbaiat
kepadamu, sesungguhnya mereka berbaiat kepada Allah.”
Syeikh
Qalaqsyandy, pujangga besar Mesir, menggubah,
Sesungguhnya aku mendamba harapan dengan
kemunculan beliau. Muka beliau yang cemerlang nan sentosa amat didamba.
Apa yang bisa aku katakan berhadapan
dengan apa yang ada dalam surat Zukhruf, asy-Syura, setelah apa yang ada di
dalam surt Fushhilat (Hamim Tanzil).
Bagaimana Ibadah Rasulullah saw. Sebelum
Bi’tsah
Ulama
lainnya berkata, “Beliau dahulu melakukan syara’ orang sebelumnya.” Kemudian
mereka berbeda pendapat. Sebagian mereka tidak berkomentar dan menahan diri
mengenai ketentuan (ta’yin), sedang sebagian yang lain berani (lancang).
Kalangan yang membuat ketentuan juga berbeda pendapat. Konon: Nuh. Ada yang mengatakan
Ibrahim, Musa, Isa, dan ada yang mengatakan Adam. Shalawat dan salam semoga
terlimpah pada mereka. Inilah sejumlah madzhab dalam masalah ini. Yang paling
jelas adalah pendapat pertama, yang dipegangi oleh Jumhur ulama. Dan yang
paling tidak mungkin adalah madzhab ta’yin, karena sekiranya benar
terjadi, niscaya diceritakan, seperti keterangan sebelumnya.
Sebagian
orang yang tidak memiliki ketelitian atas hakikat-hakikat al-Kitab dan
as-Sunnah menganggap bahwa Nabi kita dahulu menetapi syariat Ibrahim. Beliau
tidak memiliki syara’ tersendiri. Sesungguhnya maksud diutusnya beliau hanyalah
menghidupkan syara’ Ibrahim seraya berpegang dengan dzahirnya firman Allah
swt.,
ثُمَّ
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا
Kemudian Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” (Q.S. an-Nahl: 123)
Persangkaannya
tidak benar dan bahkan pantas disebut khurafat. Dari sana para ulama berkata, “Pandangan semacam
ini tidak muncul kecuali dari orang yang lemah akal lagi bebal nalar.
Sesungguhnya yang dimaksud ayat ini adalah pola mengikuti dalam hal tauhid yang
khusus dengan posisi khullah (kekasih) yang ia adalah posisi Ibrahim yang
diisyaratkan dengan ungkapan,
حَنِيْفًا
وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
Seorang yang hanif, dan bukanlah dia
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
(Q.S. al-Baqarah: 135)
Yang ia (tauhid) juga adalah penyebab penyerahan total Ibrahim kala
dilemparkan di dalam api. Jibril datang kepadanya seraya berkata kepadanya,
“Apakah kamu perlu bantuan?” Jawabnya, “Adapun kepadamu, tidak perlu.” Dia
telah mencapai puncak penuyerahan yang tidak mungkin dicapai seorang pun
sebelum dan sesudahnya kecuali Nabi kita Muhammad saw. Sungguh beliau telah
mencapai hal itu dan naik pada puncak-puncak yang tidak diketahui kecuali oleh
Tuhan dan Penciptanya, Sang Pemberi nikmat kepadanya, yang tidak diberikan
kepada selainnya.
Dari
sana , Nabi
Ibrahim as. saat umat manusia datang kepadanya pada tempat pemberhentian
terbesar untuk mendapatkan syafaat agung dalam ketentuan pemisah, seraya mereka
berkata, “Sesungguhnya Allah memilihmu dengan posisi khullah (kekasih).”
Katanya, “Aku menjadi khalil (kekasih) hanyalah dari belakang nan belakang.”
Dia memberitahu mereka bahwa walaupun menjadi kekasih, namun derajatnya berada
di belakang lainnya, yang tercakup dalam pribadi Nabi kita saw. Pembanding ayat
terdahulu adalah ayat,
أُولئِكَ
الَّذِيْنَ هَدَى اللهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ
Mereka itulah orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. (Q.S. al-An’aam: 90)
Maksudnya adalah perintah untuk mengikuti dalam hal tauhid dan
posisi-posisi yang layak bagi beliau yang mengacu kepada ushul (hukum
dasar/prinsip), bukan kepada furu’ (hukum cabang), karena di antara mereka ada
yang bukan rasul secara asal seperti Yusuf menurut satu pendapat, sedang lainnya,
cabang-cabang syariat mereka bermacam-macam, maka tidak mungkin
menginterpretasikan perkara pada mengikuti mereka atas hal itu.
Syeikhul
Islam as-Siraj al-Bulqini dalam syarah Bukhari berkata, “Hadits-hdits yang kami
kaji tidak menerangkan bagaimana cara ibadah beliau sebelum bi’tsah, namun Ibnu
Ishaq dan lainnya meriwayatkan bahwa beliau keluar ke gua Hira setiap tahun
selama sebulan dalam rangka beribadah di dalamnya. Dan dulu termasuk cara
ibadah orang-orang Quraisy di masa jahiliyah adalah seseorang memberi makanan
pada orang miskin yang datang ke rumahnya, sehingga ketika si miskin pulang
dari rumahnya, ia tidak memasuki rumah kembali sehingga thawaf di Ka’bah.
Sebagian ulama
memahami taabbud (ibadah) bermakna tafakkur (perenungan). Katanya, “Menurutku
taabbud ini mencakup macam-macam, yaitu menjauhi orang banyak seperti dilakukan
Ibrahim dengan menjauhi kaumnya; fokus kepada Allah ta’ala karena menunggu
tibanya kelapangan merupakan ibadah, sebagaimana diriwayatkan secara marfu’
oleh Ali bin Abi Thalib karramallah wajhahu; dan termasuk hal itu juga adalah
tafakkur. Dari sana ,
sebagian ulama berkata, “Ibadah beliau dahulu di gua Hira adalah tafakkur.”
(Lihat Fatawa Ibnu Hajar al-Haitsami)
Shalawat-shalawat Ma’tsur Agar Bisa
Mimpi Berjumpa Nabi saw.
Syeikh Ghazali dalam Ihya’
menceritakan dari sebagian kalangan arif dari al-Arif al-Mursi radliyallah anhu
bahwasanya barangsia merutinkan shalawat ini, yaitu: Ya Allah, karuniakanlah
shalawat kepada penghulu kami Muhammad hamba, nabi, dan rasul Engkau, an-nabi
al-ummi, dan kepada keluarganya dan para sahabatnya, dan karuniakan pula salam
kesejahteraan,” sehari semalam 500 kali, maka dia tidak akan meninggal sehingga
ia bertemu dengan Nabi saw. dalam keadaan terjaga.”
Diceritakan dari
Imam Yafii dalam kitabnya, ‘Bustanul Fuqara’ bahwasanya Nabi saw. bersabda,
“Barangsiapa bershalawat kepadaku pada hari Jum’at 1000 kali dengan shalawat
ini, yaitu:
اللّهُمَّ
صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ
“Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad
an-nabi al-ummi,” maka dia akan melihat Tuhannya pada malamnya, atau melihat
Nabinya, atau melihat tempatnya di surga. Jika tidak (belum) melihat, maka
hendaklah dia melakukan hal itu dalam dua Jum’at, atau tiga atau lima (Jum’at). Dalam
riwayat lain ada tambahan: “wa ala alihi wa shahbihi wasallim.”
Dan di dalam
kitab al-Ghunyah karya al-Quthb al-Rabbani Sayyidi Abdul Qadir al-Jilani ada
sebuah hadits dari A’raj dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda,
“Barangsiapa shalat dua rakaat pada malam Jum’at, setiap rakaat membaca surat
al-Fatihah dan Ayat Kursi sekali, serta 15 kali surat al-Ikhlas, dan di akhir
shalat membaca shalawat seribu kali,
“Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad an-nabi al-ummi,” maka dia akan
melihatku dalam tidur, dan tidak sempurna Jum’at berikutnya kecuali ia telah
melihatku, dan barangsiapa melihatku, maka baginya surga, dan diampuni baginya
dosa masa lalu dan masa akan datang.” Demikian.
Maqam Ubudiyah adalah Maqam Nabi saw.
yang Termulia
سُبْحَانَ
الَّذِى أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِى بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. al-Isra’: 1)
Firman-Nya: ‘bi abdihi’ (hamba-Nya),
Dia tidak berfirman: ‘bi nabiyyihi’ (nabi-Nya), tidak pula: ‘bi rasulihi’
(rasul-Nya), terdapat petunjuk bahwa sifat ubudiyah adalah sifat yang lebih
khusus dan lebih mulia, karena sesungguhnya jika benar seorang hamba bernisbat
kepada Tuhannya seraya tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya dalam
penghambaannya itu, maka dia benar-benar bahagia dan beruntung, karena itu
Allah ta’ala menyebut hal itu dalam maqam-maqam mulia seperti di sini.
Dalam maqam wahyu, Allah berfirman,
فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى
Lalu
dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. (Q.S. an-Najm: 10)
Dan dalam maqam dakwah, Allah ta’ala
berfirman,
وَأَنَّهُ
لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوْهُ
Dan
bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan
ibadah).
(Q.S. al-Jinn: 19)
Atas dasar ini, Qadli Iyad
rahimahullah menggubah,
وَمِمَّا
زَادَنِيْ شَرَفًا وَتِيْهًا = وَكِدْتُ بِأَخْمَصي أَطَأُ الثُّرَيَّا
دُخُوْلِيْ
تَحْتَ قَوْلِكَ يَا عِبَادِيْ = وَأَنْ صَيَّرْتَ أَحْمَدَ لِيْ نَبِيًّا
Dan
di antara hal yang menjadikanku benar-benar mulia dan hampir saja telapak
kakiku menginjak bintang Soraya adalah masukku dalam ucapan Engkau, “Wahai
hamba-hamba-Ku” dan ketika Engkau menjadikan Ahmad sebagai Nabi bagiku.
Dan di sana ada sisi lain, yaitu kekhawatiran beliau
atas ketersesatan umat terhadap pribadi beliau sebagaimana ketersesatan umat
Nabi Isa terhadapnya, ketika mereka mengatakan: Putera Allah.
Dan firman-Nya ‘bi abdihi’, yakni
dengan ruh dan jasadnya, menurut pendapat yang shahih. Kemudian dia (Qadli
Iyad) berkata saat sampai pada firman
Allah ta’ala,
إِنَّهُ
هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Sesungguhnya
Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. al-Isra’: 1)
“Pendapat yang masyhur
bahwasanya dlamir (kata ganti) kembali kepada Allah ta’ala, yakni Dia adalah
Dzat Yang Maha Mendengar pada setiap ucapan lagi Maha Melihat berbagai tingkah
laku dan perbuatan. Dan ada yang mengatakan, dlamir itu kembali kepada Nabi
saw. Hikmah dari menghadirkan dua sifat ini adalah sanjungan terhadap
Rasulullah saw, kala dia menyaksikan apa yang disaksikannya, dia mendengar apa
yang didengarnya, dan tidak berpaling penglihatannya, serta tidak tercengang
pendengarannya. Ia serupa dengan firman-Nya,
مَا
زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling
dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (Q.S. an-Najm: 17)
Sebagai
isyarah akan ketinggian maqamnya, maka beliau benar-benar telah bersifat
sebagai as-sami’ (yang mendengar) dan al-bashir (yang melihat).
Al-Fatih al-Khatim (Syarah Shalawat
Fatih)
“Ya
Allah, haturkanlah shalawat, salam kesejahteraan, dan keberkahan kepada Baginda
kami Muhammad, sang pembuka apa yang tertutup,” maksudnya bahwa beliau membuka
syariat-syariat yang dahulunya tidak bisa dibuka, karena risalah beliau ada
setelah masa fatrah (zaman jahiliyah). Dengan beliau, Allah membuka segala
macam kebajikan dan pintu-pintu kebahagiaan duniawi dan ukhrawi kepada
hamba-hamba-Nya. Setiap rezeki adalah berasal dari genggaman tangan beliau.
Dalam hadits disebutkan, “Aku diberikan kunci-kunci perbendaharaan langit dan
bumi,” yakni yang Allah berfirman di dalamnya,
لَهُ
مَقَالِيْدُ السَّموَاتِ وَالْأَرْضِ
Kepunyaan-Nyalah
kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. (Q.S. az-Zumar: 63)
Yakni, Allah azza wa j`lla telah
memberikan kunci-kunci perbendaharaan langit dan bumi itu kepada kekasih-Nya.
Dalam hadits juga disebutkan, “Allah Yang memberi, sedang aku yang membagi.”
“Sang pamungkas (penutup) apa saja
yang dahulu” dari kenabian dan kerasulan, karena sesungguhnya tidak ada nabi
setelahnya dan tidak pula ada rasul yang memperbruai syariatnya. Nabi Isa as.
ketika turun dari langit, maka akan menetapi di atas syariat Nabi kita dan
termasuk bagian dari umat Nabi kita itu, sebagaimana Nabi Khidlir dan Nabi
Ilyas, keduanya beribadah kepada Allah dengan syariat Nabi kita dan termasuk
bagian dari umat Nabi kita.
“Pembela haq (kebenaran) dengan
haq”, yakni penolong agama yang tegas berasal dari sisi Allah, yang Allah
ta’ala berfirman di dalamnya,
وَمَنْ
يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ
Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya. (Q.S. Ali Imran: 85)
Maksudnya, dalam menolong agama
Allah swt., beliau senantiasa berpegang teguh pada kebenaran, mengelilinginya,
mengokohkan agama yang haq dengan hujjah-hujjah yang haq pula, dan dengan
perang yang haq yang titahnya dari Allah. Atau yang dimaksud haq kedua adalah
Allah ta’ala, karena ia satu asma dari asma-asma-Nya. Maka maknanya adalah
pengokoh dan peneguh agama atas bantuan Rabb-nya Yang Maha Tinggi,
وَمَا
النَّصْرُ إِلاَّ مِنْ عِنْدِ اللهِ
Dan
tidak ada pertolongan melainkan dari sisi Allah. (Q.S. Ali Imran: 126)
“Dan penunjuk kepada jalan Engkau yang
lurus. Mudah-mudahan Allah melimpahkan shalawat yang meruah kepada kepadanya,
kepada ahli keluarganya, dan kepada para sahabatnya, sebenar dan senyata kadar
dan ukurannya yang agung.”
Hai
Rasul, Sampaikanlah
يَاأَيُّهَا
الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ
فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ
“Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Q.S. al-Maidah:
67)
Ketahuilah, sesungguhnya wahyu yang
diberikan kepada Rasulullah saw. terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, bagian
yang dititahkan untuk disampaikan. Dia adalah al-Qur’an dan hukum-hukum yang
berkaitan dengan makhluk secara umum. Dan beliau benar-benar telah menyampaikannya,
tidak menambah satu huruf pun dan tidak pula menyembunyikan satu huruf pun.
Jika beliau boleh menyembunyikan, niscaya beliau akan menyembunyikan ayat-ayat
teguran dari Allah, seperti ayat: “Abasa wa tawalla” (dia bermuka masam dan
berpaling); ayat “Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan,” (Q.S.
al-Anfaal: 67); surat “Tabbat yada Abi Lahab” (binasalah kedua tangan Abu
Lahab); lafadz ‘qul’ (katakanlah) dari ayat: “qul ya ayyuhal kaafiruun”
(katakanlah wahai orang-orang kafir), (Q.S. al-Kafirun: 1); “qul huwallahu
ahad” (katakanlah bahwa Allah itu Esa), (Q.S. al-Ikhlas: 1); “qu audzu bi
rabbil falaq” (katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh”),
(Q.S. al-Falaq: 1); dan “qul audzu bi rabbin naas” (katakanlah: “Aku berlindung
kepada Tuhan [yang memelihara dan menguasai] manusia”), (Q.S. an-Naas: 1). Dan
Allah menyaksikan beliau telah menyampaikan secara sempurna saat turun ayat
menjelang wafat beliau,
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ
Pada
hari ini Aku telah sempurnakan bagimu agamamu. (Q.S. al-Maidah: 3)
Konon diriwayatkan bahwa beliau
berkata kepada Izrail kala hendak mencabut ruh beliau, “Cabutlah, karena
sungguh aku telah menyampaikannya.”
Dan wahyu yang beliau diperintahkan
untuk menyembunyikannya dan beliau tidak menyampaikannya satu huruf pun adalah
segala asrar yang tidak cocok/patut bagi umat. Dan apa yang beliau diberikan
pilihan di dalam menyampaikannya dan menyembunyikannya, maka sebagian beliau
sembunyikan dan ada sebagian lain yang beliau sampaikan, yaitu sebagian asrar
yang tidak pantas bagi umat. Atas dasar ini, konon ada riwayat dari Abu
Hurairah ra. bahwa ia berkata, “Kekasihku telah memberikan kepadaku dua kantong
ilmu. Seandainya aku sebarkan salah satunya kepadamu niscaya dipotonglah
tenggorokan ini dariku.”
Bermimpi
Nabi saw.
Diriwayatkan dari Anas ra.
bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ
رَآنِيْ فَقَدْ رَآنِيْ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِيْ
“Barangsiapa
bermimpi melihatku maka dia benar-benar bermimpi melihatku, karena setan tidak
dapat menyerupa aku.” (H.R. Ahmad, Bukhari, dan Tirmidzi)
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa melihatku
maka dia benar-benar melihat kebenaran (kenyataan), karena setan tidak akan
mampu menyerupa aku.” (H.R. Ahmad, Bukhari, dan Muslim dari Abu Qatadah ra.).
Rasulullah saw. juga bersabda, “Barangsiapa melihatku sungguh dia melihat
kebenaran, karena setan tidak bisa membentuk dirinya menyerupaiku.” (H.R.
Bukhari dan Muslim dari Abu Said al-Khudri ra.). Dengan demikian, Baginda Nabi
saw. merupakan penampakan kebenaran, dan apa saja yang didengar darinya,
sesungguhnya ia adalah dari kebenaran.
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa
melihatku maka sesungguhnya aku ialah aku, karena sesungguhnya setan tidak bisa
menyerupa aku.” (H.R. Tirmidzi dari Abu Hurairah ra.). Beliau bersabda,
“Barangsiapa mimpi melihatku dalam tidur, maka dia benar-benar melihatku, karena
tidak sepantasnya bagi setan menyerupa diriku.” (H.R. Tirmidzi dari Abu
Hurairah ra.) Beliau juga bersabda, “Barangsiapa melihatku dalam tidur maka dia
sungguh-sungguh melihatku karena tidak patut bagi setan menyerupa dalam
rupaku.” (H.R. Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah dari Jabir ra.)
Beliau bersabda pula, “Barangsiapa
melihatku dalam tidur niscaya dia akan melihatku dalam terjaga, dan setan tidak
bisa menyerupa aku.” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah
ra.)
Hadits-hadits ini semuanya adalah
berderajat lebih tinggi daripada shahih. Adapun hadits-hadits yang disepakati
oleh Bukhari dan Muslim, ulama-ulama kita berkata, “Ia disamakan dengan hadits
mutawatir.” Bagaimana, sedang Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Abu Dawud
juga meriwayatkan bersama keduanya? Hadits-hadits tersebut dengan demikian naik
di atas derajat shahih dan bisa disamakan dengan hadits mutawatir.
Kami meriwayatkan dalam Shahih
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra. Aku mendengar Rasulullah saw.
bersabda, “Barangsiapa melihatku dalam mimpi maka dia benar-benar melihatku,
karena setan tidak bisa berimajinasi terhadapku. Mimpi orang mukmin adalah
bagian dari 46 bagian nubuwah.”
Redaksi mengenai ketidakbisaan setan
menyerupa beliau datang dari sisi. Kata beliau, “Sesungguhnya setan tidak
menyerupa aku.” Beliau juga bersabda, “Dia tidak bisa membentuk dirinya dengan
diriku.” Beliau bersabda juga, “Dia tidak bisa berimajinasi mengenai aku.”
Berbagai bahasa tamsil telah beliau tuturkan. Maka, ketidakmampuan setan
menyerupa beliau keberadaannya tidak diragukan dan disangsikan lagi apakah di
saat terjaga maupun di saat tidur. Ibnul Baqilani berkata, “Hadits-hadits itu
bermakna bahwa mimpi melihat beliau adalah valid, bukan sekedar bunga tidur,
bukan pula dari penyerupaan setan.” Ulama lainnya berkata, “Maksudnya adalah
barangsiapa melihat beliau maka dia benar-benar akan menjumpai beliau secara
nyata. Maka kendala yang merintangi hal itu. Logika tidak menganggapnya
mustahil, sehingga mendesaknya untuk mengalihkan jauh dari makna dzahirnya.”
Mereka berkata, “Kadangkala beliau
dilihat dalam keadaan berbeda dengan sifatnya, atau di dua tempat secara
bersamaan, atau di beberapa tempat yang berbeda-beda, dan hal itu adalah
pembauran di dalam sifat-sifat beliau pada alam khayal pemimpi, sehingga zat
beliau tampak terlihat dalam mimpi. Di dalam perjumpaan tidak disyaratkan hal
itu, berbeda dengan proses melihat, tidak pula disyaratkan jarak yang dekat,
tidak juga adanya yang dimimpikan itu dikebumikan dalam tanah, tidak pula harus
tampak di muka bumi.
Yang dipersyaratkan adalah orang
yang dimimpikan itu ada. Dan tidak ada dalil yang menegaskan kefanaan tubuh
Nabi saw. Yang ada dalam hadits-hadits shahih, bahkan, gambaran yang
menunjukkan kekekalan (hidup) beliau beserta para nabi yang lain. Diterangkan
juga, “Mereka (para nabi shalat di dalam kubur-kubur mereka.” Dan mengalir bagi
mereka amal-amal kebajikan laksana masa hidup mereka.
Diceritakan pula bahwa Said bin
Musayyib pada ‘Ayyamul Harrah (hari-hari panas), ketika Masjid Nabawi dijauhi
(sepi), dia tidak mengetahui waktu shalat kecuali dengan adzan yang didengarkan
dari dalam kamar suci pembaringan Nabi. Dan hal itu tidaklah mustahil bagi para
nabi, secara khusus, dan bagi hamba-hamba pilihan yang dikehendaki Allah.
Demikian ungkapan para ulama. Semoga Allah meridlai mereka semua.
Mereka berkata, “Sessungguhnya mimpi
melihat Nabi saw. adalah bisa terjadi pada kebanyakan penduduk bumi pada satu
malam, karena alam semesta adalah cermin, sedang beliau laksana matahari, yang
jika bersinar terang di atas cermin, maka tampaklah gambar matahari itu di
setiap cermin, menurut kadar besar kecilnya, jernih dan keruhnya, tipis dan
tebalnya, seperti kristal atau barang tambang atau teko, dan menurut bentuknya,
apakah bulat, segi tiga, persegi empat, dan berbagai bentuk dan warna lainnya.
Jadi setiap orang yang bermimpi melihat Nabi saw., dia melihat beliau menurut
kadar sifat dirinya dan cermin hatinya. Jika ia melihat beliau dengan sifat
kesempurnaan, maka kesempurnaan itu ada di dalam orang yang melihat, atau
dengan sifat kekurangan, maka kekurangan itu ada di dalam orang yang melihat.
Adapun sabda beliau, “Barangsiapa
melihatku dalam tidur, niscaya dia akan melihattku dalam terjaga.” Para ulama berkata, “Hal itu terjadi di dunia secara
pasti, walaupun pada saat menjelang mati, bagi orang yang diberikan taufiq
untuk itu.”
Adapun orang yang menta’wili melihat
dalam keadaan terjaga itu terjadi di akhirat, telah dibantah oleh para ulama.
Kata mereka, “Di akhirat orang beriman akan melihat beliau baik ia pernah
bermimpi melihat beliau atau tidak pernah bermimpi melihat beliau, sebagaimana
diterangkan dalam hadits-hadits shahih yang banyak sekali.
Bahkan, orang-orang kafir dan kaum
munafiq akan melihat beliau di akhirat, lalu mereka akan melihat kadar yang
agung dan kemuliaan beliau yang besar. Dan mungkin terjadi di dunia bagi
orang-orang yang sempurna dari kalangan kaum mu’minin, orang-orang yang
memiliki bashirah pilihan, yang mereka, hati mereka, dan makrifat mereka
disifati oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,
كَمِشْكَاةٍ
فِيْهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِى زُجاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ
دُرِّيٌّ يُوْقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُوْنَةٍ لاَ شَرْقِيَّةٍ وَلاَ
غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيْئُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُوْرٌ
عَلَى نُوْرٍ
“Seperti
sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di
dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara,
yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon
zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya), yang minyaknya (saja) hamper-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis).” (Q.S. an-Nuur: 35)
Firman ini adalah tamsil bagi hati
orang mukmin yang dicerahkan oleh Allah dengan berbagai ilmu dan makrifat lebih
daripada cahaya keimanan, juga adalah tamsil bagi hati orang arif dan berbagai
makrifat yang ada di dalam hatinya.
Hati seperti ini yang spesialis
untuk melihat Nabi saw. secara terjaga dan (melihat) hal-hal ghaib lainnya.
Penjagaan
Allah Ta’ala kepada Nabi saw. dari Persekongklan Jahat Yahudi
Yahudi melakukan rekayasa untuk
membunuh Nabi saw. lebih dari sekali. Hal itu diceritakan terjadi dua kali.
Rekayasa pertama membunuh Nabi saw. terjadi pada hari beliau pergi ke Yahudi
Bani Nadlir. Beliau menuntut mereka memenuhi janji bersama beliau yang mereka
putuskan sepihak. Beliau juga menuntut diat dua Amir yang dibunuh oleh Amr bin
Umayyah adl-Dlamri. Nabi pergi kepada mereka sendiri. Mereka senantiasa
menguntitnya sehingga menyambutnya dengan sambutan yang di dalamnya terdapat
makar busuk kental dengan bau persekongkolan. Setelah pertemuan, Nabi duduk
bersandar pada tembok salah seorang dari mereka. Dan dari belakang Nabi,
berdesir suara persekongkolan jahat. Mereka berkata kepada sebagian yang lain,
“Kalian tidak akan mendapati Muhammad lebih dekat sekarang ini. Dia sendirian.
Maka, siapakah orang yang bisa naik rumah lalu melemparkan batu besar, sehingga
kita bisa rehat darinya.”
Disepakatilah memilih Amr bin
Jahhasy bin Ka’ab. Dia orang kuat badannya dan lincah geraknya. Mereka
menginformasikan b`hwa urusan akan dianggap sebagai qadla dan qadar, dan darah
beliau akan tumpah. Dan sesungguhnya Muhammad setelah itu tidak akan terjadi
diat dan penuntutan darah pembalasan. Lebih daripada itu, kekuatan kaum
muslimin akan pecah. Dengan itu, mereka akan bisa menghabisi Islam dengan
menghabisi Nabi-nya.
Amr tampak melakukan kejahatannya.
Dia naik kea tap rumah yang temboknya disandari oleh Rasulullah saw. Dia pegang
batu besar sekali dan menjatuhkannya. Akan tetapi, secepat kilat, Dzat Yang
Maha Tinggi lagi Maha Besar telah memberi tahu Nabi-Nya dengan perkara yang
akan terjadi. Belia seketika meninggalkan tempat yang batu besar itu jatuh di
situ.
Pada saat yang sama, sekelompok kaum
muslimin telah sampai ke tempat Nabi. Mereka tahu beliau pergi sendirian ke
Bani Nadlir. Mereka bergegas menyusul beliau. Mereka tidak melihat beliau
sehingga beliau menceritakan kabar semuanya kepada mereka.
Kaum muslimin bangkit. Hampir saja
terjdi perang gemuruh antara kaum muslimin dan Yahudi, namun Yahudi mengakui
tindak pelanggaran mereka. Kaum muslimin meminta mereka semua keluar jauh dari kota Madinah sebagai
sanksi bagi mereka. Mereka seketika meninggalkan Madinah dan sekitarnya.
Kitab suci al-Qur’an merekam
kejahatan Yahudi ini. Allah berfirman,
“Hai
orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya)
kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu
(untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan
bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu
harus bertawakkal.” (Q.S. al-Maidah: 11)
Rekayasa kali kedua. Setelah Yahudi
melihat kekalahan mereka dalam perang Khaibar, sekelompok Yahudi secara
diam-diam berkumpul dan sepakat untuk meracun makanan Nabi saw. Dengan itu,
mereka hendak menghabisi Rasulullah, sehingga kembalilah posisi mereka, mereka
menuntut balas atas sikap-sikap Nabi pada mereka, mereka merealisasikan ide
yang telah mereka tunggu ratusan tahun, dan jadilah alam dunia menjadi murni
miliki mereka setelah itu, dan tidak ada di depan mereka selain kalangan
Nasrani yang berada muka bumi. Islam adalah satu-satunya musuh yang memiliki prinsip
dan undang-undang yang mengatur kemanusiaan dan bisa memadukan antara dunia dan
akhirat serta segenap umat manusia antara satu dengan lainnya.
Atas dasar tujuan ini, sekelompok
orang Yahudi berkumpul secara rahasia. Pilihan mereka jatuh pada Zainab binti
Harits. Dia adalah teman Shafiyah, isteri Rasulullah saw. Mereka memintanya
pergi ke rumah Rasulullah dan menanyakan beliau makanan apa yang paling beliau
sukai agar dia bisa mempersembahkan sebagai kado berkaitan pada momen
pernikahan beliau dengan temannya, yaitu Shafiyah.
Zainab binti Harits melaksanakan apa
yang didiktekan padanya. Dia tahu dari Rasulullah saw., bahwa beliau akan
menerima hadiahnya, berupa kambing bakar, dan bagian yang paling disukai beliau
adalah lengan.
Zainab pergi kepada Rasul dengan
membawa kambing yang lengannya diracun. Dia mempersembahkannya kepada
Rasulullah saw. yang saat itu beliau bersama dengan Bisyr bin Bara’ bin Ma’rur,
akan tetapi, Rasulullah saw. tidak tampak mencicipi lengan itu sehingga beliau
memuntahkan apa yang dimakannya, seraya bersabda, “Demi Allah, aku menyangka ia
adalah racun.” Beliau berhenti makan, sedang Bisyir tidak menghentikan makannya
kecuali setelah Nabi memerintahkannya berhenti, akan tetapi racun itu banyak
dan kuat, maka menyebarlah racun itu pada darahnya. Karena itu, Bisyir mati.
Nabi saw. memerintahkan Zainab binti
Harits didatangkan. Zainab mengakui persekongkolannya terhadap Rasulullah. Dia
akui perbuatannya sebagai pembalasan. Banyak anggota keluarganya mati dalam
peperangan melawan kaum muslimin. Allah menghinakan kaumnya dan melenyapkan
keagungan kaumnya itu melalui tangan sang Nabi. Posisi Yahudi di dunia tidak
akan bisa kembali lagi. Beliau lalu meninggalkan Zainab sedang Allah menjaga
Rasul-Nya, namun, pengaruh racun tetap mengendap pada usus-usus Rasulullah saw.
Atas dasar ini, para perawi yang tsiqah menceritakan bahwa Rasulullah saw. pada
sakitnya yang terakhir mengeluhkan pencernaannya, bersama keluhan beliau berupa
pening di kepala, sehingga Marwan bin Usman bin Abu Said bin Muallah berkata,
“Sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda pada saat sakit menjelang wafat
ketika saudara perempuan Bisyir binti Bara’ bin Ma’rur datang menjenguknya,
“Wahai saudara perempuan Bisyir, sesungguhnya saat ini aku mendapati
terpotongnya urat nadiku gara-gara makanan yang aku makan bersama dengan
saudaramu di Khaibar.” Kitab-kitab hadits yang shahih dan sirah nabawiyah telah
menuturkan dua kisah ini.
Pemaparan
Amal kepada Nabi saw.
Al-Imam al-Hafidz asy-Syeikh Ibnul
Qayyim dalam kasidahnya yang dikenal dengan kasidah Nuniyah menggubah,
هذَا
وَأَمَّا عَرْضُ أَعْمَالِ الْعِبَا = دِ عَلَيْهِ فَهُوَ الْحَقُّ ذُو إِمْكَانِ
وَأَتَى
بِهِ أَثَرٌ فَإِنْ صَحَّ الْحَدِيْـ = ـثُ بِهِ فَحَقٌّ ، لَيْسَ ذَا نُكْرَانِ
لكِنْ
هذَا لَيْسَ مُخْتَصًّا بِهِ = أَيْضًا بِآثَارٍ روين حِسَانِ
فَعَلَى
أَبِي الْإِنْسَانِ يُعْرَضُ سَعْيُهُ = وَعَلَى أَقَارِبِهِ مَعَ الْإِخْوَانِ
إِنْ
كَانَ سَعْيًا سَيِّئًا حَزِنُوْا وَقَا = لُوْا: رَبِّ رَاجِعْهُ إِلَى
الْإِحْسَانِ
وَلِذَا
اسْتَعَاذَ مِنَ الصَّحَابَةِ مَنْ رَوَى = هذَا الْحَدِيْثَ عَقِيْبَهُ بِلِسَانِ
يَا
رَبِّ إِنِّيْ عَائِذٌ مِنْ خِزْيَةٍ = أَخْزَى بِهَا عِنْدَ الْقَرِيْبِ
الدَّانِي
ذَاكَ
الشَّهِيْدُ الْمُرْتَضَى ابْنُ رَوَاحَةَ الْـ = ـمَحْفُوْف بِالرِّضْوَانِ
وَالْغُفْرَانِ
لكِنْ
هذَا ذُو اخْتِصَاصٍ وَالَّذِي = لِلْمُصْطَفَى مَا يَعْمَلُ الثَّقَلاَنِ
Pemaparan
amal-amal para hamba kepada beliau adalah hal yang haq nan memungkinkan.
Akan
tetapi, hal ini tidak dikhususkan bagi beliau belaka, berdasarkan atsar-atsar
berderajat hasan yang kami riwayatkan.
Amal
manusia akan dipaparkan kepada orangtuanya, juga kepada kerabat dan handai
tolannya.
Jika
amal usaha itu buruk, mereka bersedih seraya berkata, “Rabbi, kembalikan dia
berbuat kebajikan.”
Karena
ini, sahabat yang meriwayatkan hadits ini berkata memohon perlindungan usai
menyebutkan hadits itu,
“Ya
Rabbi, sesungguhnya aku berlindung dari kehinaan yang menimpaku di hadapan Dzat
Yang Maha Dekat lagi Maha Pembalas.”
Dialah
sosok syuhada lagi diridlai, yaitu Ibnu Rawahah, yang senantiasa diliputi
keridlaan dan pengampunan.
Akan
tetapi ini memiliki kekhususan. Apa yang dipaparkan kepada al-Musthafa (Nabi
terpilih) adalah amal segenap manusia dan jin.
(Kasidah
Nuniyah karya Ibnul Qayyim hal. 134)
Pemeliharaan
Umar bin Khatthab atas Talang Abbas karena Talang itu Dipasang oleh Nabi saw.
Imam Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad
bin Muhammad bin Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, berkata, “Dan tidak
diperbolehkan mengeluarkan talang-talang ke jalan besar, juga tidak
diperkenankan mengeluarkannya ke jalan tembus, kecuali dengan izin pemiliknya.
Abu Hanifah, Malik, dan Syafii
berkata, “Diperbolehkan mengeluarkannya ke jalan besar, karena Umar ra. pernah
melewati rumah Abbas ketika ia memasang talang ke arah jalan. Umar lalu
melepasnya. Abbas lalu berkata, “Engkau melepasnya, sedang Rasulullah saw.
telah memasangnya dengan tangan beliau sendiri?” Jawabnya, “Demi Allah, engkau
tidak boleh memasangnya kembali kecuali (engkau naik) di atas punggungku.” Umar
lalu membungkuk sehingga Abbas bisa naik di atas punggungnya, lalu memasang
talang tersebut.
Sahabat
Mengagungkan Pelana dan Unta Rasulullah saw.
Nabi saw. mempunyai pelayan bernama
Asla’. Ia bertugas menata pelana Nabi saw., mengikatnya pada unta dan
menurunkan darinya.
Suatu malam dia janabat dan belum
mandi karena malam itu amat dingin sekali. Ketika pagi, Nabi saw.
memerintahkannya memasang pelana pada unta, karena beliau hendak pergi pada
hari itu untuk suatu urusan, akan tetapi dia tidak rela melakukan tugas seperti
biasanya karena dia junub. Dia –semoga Allah meridlainya- enggan menyentuh
pelana beliau dalam keadaan junub. Karena itu, dia mencari orang lain untuk
melakukannya.
Dia menceritakan tentang dirinya
berkaitan dengan itu. Katanya, “Aku biasa menata pelana unta Nabi saw., lalu
pada suatu malam yang dingin sekali aku ditimpa janabat, sementara Rasulullah
saw. hendak bepergian. Aku tidak memasang pelana di atas unta beliau dalam
keadaan junub. Aku lalu memanaskan air, lalu mandi, kemudian aku menjumpai
Rasulullah saw. dan para sahabat beliau. Sabda beliau, “Wahai Asla’, mengapa
aku melihat penataan pelanamu berubah?” Kataku, “Ya Rasulullah, aku tidak
menatanya. Seseorang dari Anshar yang menatanya. “Kenapa?!,” tanya beliau.
Kataku, “Aku junub, maka aku perintahkan dia memasangnya (menatanya).”
Kasidah
‘Banat Suad’
Seorang
syeikh yang juga sastrawan, Abu Ja’far al-Bashir al-Alibari al-Andalusi berkata
tatkala menuturkan seputar Ka’ab, “Kasidah ini memiliki kemuliaan yang mendalam
dan hikmah-hikmah yang tidak bisa dihapuskan.
Kasidah itu digubah oleh Ka’ab di
masjid beliau di hadapan beliau sekaligus di hadapan para sahabat beliau. Dia
bertawassul dengan kasidah itu sehingga ia mendapatkan permaafaan terhadap sanksi
yang dijatuhkan padanya. Nabi saw. menutupi aibnya, melepas pedang atasnya,
mengampuni orang yang dikehendakinya, dan menyampaikan kehendaknya pada diri
dan keluarganya, dan itu terjadi setelah dihalalkannya darahnya. Jadilah
kasidah itu kalimat yang kebaikan-kebaikan menghapuskan dosa-dosa dan aib-aib itu.
Seandainya tidak ada kasidah itu niscaya terlaranglah syair madah dan syair
cinta, juga terputuslah harapan bagi para pujangga untuk mengambil hadiah dari
apa yang mereka tempuh dan kemampuan (atau eksistensi) yang mereka miliki.
Sebagian guru-guru besarku di Iskandariyah menceritakan kepadaku bahwa sebagian
ulama tidak membuka majelisnya kecuali dengan kasidah Ka’ab. Hal itu lalu
ditanyakan kepadanya, lalu dijawab, “Aku melihat Rasulullah saw. dalam tidur.
Aku berkata, “Ya Rasulullah, kasidahnya Ka’ab, apakah aku mendendangkannya di
hadapan engkau?” Jawab beliau, “ Iya. Aku menyukainya dan menyukai orang-orang
yang menyukainya.” Katanya, “Maka, aku berjanji pada Allah agar aku tidak lepas
membacanya setiap hari.”
Al-Hafidz al-Kattani berkata,
“Semenjak waktu itu hingga sekarang ini, para pujangga senantiasa menyusun
sesuai dengan cara kasidah Ka’ab. Mereka mengikuti ucapan-ucapan kasidah itu.
Dalam rangka bertabarruk terhadap sosok yang kasidah itu didendangkan di
hadapannya dan madah kasidah itu dinisbatkan kepadanya. Dan ketika Qadli
Muhyiddin Abdu adz-Dzahir membuat kasidah madah (sanjungan) kepada Nabi saw.
menurut wazan kasidah Banat Suad, ia berkata menggubah,
لَقَدْ
قَالَ كَعْبٌ فِى النَّبِيِّ قَصِيْدَةً = وَقُلْنَا عَسَى فِى مَدْحِهِ
نَتَشَارَكُ
بِأَنْ
شَمَلَتْنَا بِالْجَوَائِزِ رَحْمَةٌ = كَرَحْمَةِ كَعْبٍ فَهُوَ كَعْبٌ مُبَارَكُ
Ka’ab
telah mengucapkan satu kasidah mengenai Nabi. Dan kami mengucapkannya juga,
agar kami dapat ambil bagian dalam menyanjungnya.
Semoga
rahmat dan balasan melingkupi kami laksana rahmat yang diterima Ka’ab. Dialah
Ka’ab yang diberkahi.
Pembuat
Mimbar Nabi
Pakar hadits Syam, Syeikh Abdul Baqi
al-Hanbali al-Atsari dalam sambutan kitab Riyadlul Jannah karya syeikhnya,
pakar hadits Syam, Najmuddin al-Ghazzai asy-Syafii, mendendangkan gubahannya,
Pembuat
mimbar Nabi yang Nabi berkhutbah di atasnya.
Tuhan
kita, Dzat Yang Pemberi lagi Maha Tinggi semoga selalu melimpahkan rahmat dan
salam kesejahteraan selamanya.
Dikatakan:
Namanya
adalah Maimun atau Baqul atau Baqum atau Tamim ad-Dari.
Ibrahim
atau Qabishah. Dan pendapat pertama adalah pendapat terkuat.
Syeikh Abdul Baqi berkata, “Dan aku
menambahkan di belakangnya, maka aku katakana dengan jelas,
Mina.
Shubah. Kaisar mereka adalah Baqum. Ucapan mereka: Mina, itulah yang terkuat.”
Al-Hafidz Muhammad bin Nashiruddin
ad-Dimasyqi mempunyai karya berjudul: “Arful Ambar fi Washfil Mimbar,” (bau
harum minyak ambar tentang sifat mimbar).
Diperkenankannya
Memohon Syafaat dari Nabi saw.
Anas
bin Malik berkata, “Aku memohon Nabi saw. memberikan syafaat kepadaku pada hari
kiamat, lalu beliau bersabda, “Aku lakukan.” Kataku, “Ya Rasulullah, di mana
aku mencarimu?” Sabda beliau, “Pertama kali carilah aku di atas shirat.”
Kataku, “Jika aku tidak menjumpaimu di atas shirat?” Sabda beliau, “Carilah aku
di dekat Mizan.” Kataku, “Jika aku tidak menjumpaimu di dekat Mizan?” Sabda
beliau, “Carilah aku di dekat Haud (telaga), karena sesungguhnya aku tidak
meleset di tiga tempat ini.”
Jika dikatakan, “Bagaimana memadukan
antara hadits ini dan hadits Aisyah: “Apakah engkau mengingat keluar engkau
pada hari kiamat?” Sabda beliau, “Adapun di tiga tempat, tak seorang akan ingat
pada orang lainnya.”?!
Aku katakan, “Jawaban beliau pada
Aisyah itu agar supaya ia tidak mengandalkan posisinya sebagai isteri
Rasulullah saw., sementara jawaban beliau pada Anas agar ia tidak berputus
asa.” Demikian.
Al-Qari berkata, “Anas merupakan
pelayan Rasulullah saw., maka hal itu (melayani Rasulullah saw.) adalah posisi
yang bisa diandalkan juga, sementara putus asa tidak patut juga bagi Aisyah
ra.. Maka yang lebih tepat agaknya dikatakan, “Hadits yang pertama
diinterpretasikan atas orang-orang yang tidak hadir. Maka, tak seorang pun
mengingat keluarganya yang lain yang tidak hadir. Sedang hadits kedua diinterpretasikan
pada orang-orang yang hadir dari kalangan umat beliau.” Demikian.
Sawad
bin Qarib Memohon Syafaat dari Nabi saw.
Sawad bin Qarib ad-Dausi datang
kepada Nabi saw. Dia menyenandungkan kasidah yang di dalamnya terdapat
permohonan syafaat dari beliau. Berikut ini kasidahnya,
أَتَانِيْ
نَجِيٌّ بَعْدَ هَدْءٍ وَرَقْدَةٍ = وَلَمْ يَكُ فِيْمَا قَدْ بَلَوْتُ بِكَاذِبِ
ثَلاَثَ
لَيَالٍ: قَوْلُهُ كُلَّ لَيْلَةٍ = أَتَاكَ نَجِيٌّ مِنْ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبِ
فَرَفَعْتُ
أَذْيَالَ الْإِزَارِ وَشَمَّرَتْ = بِيَ الْفَرَسُ الْوَجْنَاءُ حَوْلَ
السَّبَاسِبِ
فَأَشْهَدُ
أَنَّ اللهَ لاَ رَبَّ غَيْرُهُ = وَأَنَّكَ مَأْمُوْنٌ عَلَى كُلِّ غَائِبِ
وَأَنَّكَ
أَدْنَى الْمُرْسَلِيْنَ وَسِيْلَةً = إِلَى اللهِ يَا ابْنَ الْأَكْرَمِيْنَ
الْأَطَايِبِ
فَمُرْنَا
بِمَا يَأْتِيْكَ مِنْ وَحْيِ رَبِّنَا = وَإِنْ كَانَ فِيْمَا جِئْتَ شَيْبُ
الذَّوَائِبِ
وَكُنْ
لِيْ شَفِيْعًا يَوْمَ لاَ ذُو شَفَاعَةٍ = بِمُغْنٍ فَتِيْلاً عَنْ سَوَادِ بْنِ
قَارِبِ
Telah
datang kepadaku penyelamat/suara penggiring unta setelah diam lama dan tidur
panjang. Dan aku perhatikan, dia bukanlah pendusta.
Tiga
malam, ucapannya setiap malam, “Telah datang kepadamu penyelamat/suara
penggiring unta dari (keturunan) Luay bin Ghalib.
Aku
lalu ujung kain penutup badan. Kudaku yang besar nan kuat berjalan cepat
membawaku mengarungi sahara.
Maka,
aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan melainkan Allah, dan
sesungguhnya engkau adalah orang yang dipercaya di setiap perkara ghaib.
Sesungguhnya
engkau Rasul terdekat yang menyampaikan kepada Allah, wahai putera orang-orang
mulia lagi baik-baik.
Maka,
perintahkan pada kami apa saja yang diwahyukan Tuhan kepada engkau, walaupun
apa yang engkau emban itu mendapatkan tantangan (rintangan) dari pemuka kaum.
Jadilah
engkau pemberi syafaat kepadaku pada hari dimana pemberi syafaat tidak memberi
manfaat yang kuat terhadap Sawad bin Qarib. (Lihat al-Istiab karya Ibnu Abdil
Barr huruf Ain).
Diperkenankannya
Tawassul dengan Selain Nabi saw.
Di antara tanda nubuwah beliau
adalah karamah beliau yang ditampakkan oleh Allah ta’ala terhadap sang paman,
yaitu Abbas, kala Umar memohon hujan kepada-Nya seraya bertawassul kepada paman
beliau. Umar keluar dalam rangka memohon hujan dengan perantara sang paman pada
saat manusia mengalami paceklik.
Katanya, “Ya Allah, sesungguhnya
kami bertaqarrub kepada engkau dengan paman Nabi engkau, seluruh
nenek-moyangnya, dan kader-kader terbesarnya, maka peliharalah Nabi-Mu di dalam
pamannya, sungguh kami telah mencari air kepada-Mu dengan perantaraannya seraya
memohon ampun.” Abbas lalu berkata sedang matanya basah, “Ya Allah, Engkau
penggemba. Engkau tidak akan menyia-nyiakan barang hilang. Sungguh anak kecil
telah menjadi lemah. Orangtua telah menjadi buruk keadaannya. Dan pengaduan
telah disampaikan. Engkau mengetahui yang rahasia dan tersembunyi. Ya Allah,
tolonglah mereka dengan pertolongan-Mu sebelum mereka menjadi berputus-asa yang
menjadi sebab mereka hancur. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat-Mu
melainkan kaum kafirin.” Lalu, awan muncul dan langit menurunkan hujan dengan
lebatnya. Manusia lalu gemuruh mengusap sisi-sisi tubuh Abbas, seraya berkata,
“Kesentosaan bagi engkau, wahai pemberi minum al-haramain (dua tanah suci).”
Hassan bin Tsabit lalu menggubah,
سَأَلَ
الْإِمَامُ وَقَدْ تَتَابَعَ جَدْبُنَا = فَسقى الغمام بِغُرَّةِ الْعَبَّاسِ
عَمُّ
النَّبِيِّ وَصِنْوُ وَالِدِهِ الَّذِي = وَرِثَ النَّبِيَّ بِذَاكَ دُوْنَ
النَّاسِ
أَحْيَا
الْإِلهُ بِهِ الْبِلاَدَ فَأَصْبَحَتْ = مُخْضَرَّةَ الْأَجْنَابِ بَعْدَ
الْيَاسِ
Imam
telah berdoa, dan sungguh paceklik kami telah berlangsung lama. Langit lalu
menurunkan hujan deras disebabkan sosok Abbas,
paman
Nabi dan saudara kandung ayah beliau yang mewarisi Nabi dengan itu, yang tidak
diwarisi banyak orang.
Dengannya,
Allah menghidupkan negeri, lalu jadilah negeri itu hijau nan subur setelah
keputus-asaan.
Al-Fadhl bin Abbas bin Abu Lahab
berkata membanggakan hal itu,
بِعَمِّيْ
سَقَى اللهُ الْحِجَازَ وَأَهْلَهُ = عَشِيَّةَ يَسْتَسْقِي بِشَيْبَتِهِ عُمَرُ
تَوَجَّهَ
بِالْعَبَّاسِ فِى الْجَدْبِ رَاغِبًا = فَمَا كَرَّ حَتَّى جَادَ بِالدِّيْمَةِ
الْمَطَرُ
Dengan
pamanku, Allah mengairi Hijaz dan penduduknya. Senja hari, Umar memohon hujan
dengan perantara uban pamanku.
Dia
bertawajjuh penuh semangat dengan Abbas saat paceklik. Lalu tidak berapa lama
mengucurlah hujan dengan derasnya.
Sesungguhnya
Allah Berulang Kali Memberikan Kebaikan Kepadamu
Ibnu Abbas meriwayatkan. Umar
ditanya, “Ceritakan pada kami tentang ‘jaisyul usrah’ (pasukan di masa sulit).
Umar ra. berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah saw. di musim yang panasnya
luar biasa. Kami lalu turun di satu tempat. Di situ kami ditimpa haus sampai
kami khawatir leher-leher kami terputus. Seseorang lalu pergi mencari air, maka
dia tidak kembali sehingga kami menyangka lehernya telah terputus, dan sehingga
seseorang menyembelih untanya lalu memeras kotoran unta itu, lalu meminumnya,
kemudian menjadikan sisanya di atas dadanya.
Abu Bakar ra. berkata, “Ya
Rasulullah, sesungguhnya Allah berulang kali telah memberikan kebaikan kepada
engkau di dalam doa, maka doakanlah kami kepada Allah.” Rasul bersabda, “Apakah
kamu menyukai itu?” “Iya,” jawabnya. Rasulullah saw. lalu mengangkat tangan,
maka beliau tidak mengembalikan tangan itu sehingga awan menggumpal, lalu
menaungi dan menurunkan hujan, sehingga mereka minum dengan puas dan memenuhi
kantong-kantong yang mereka bawa. Kami lalu pergi melihat, maka kami tidak
melihat awan itu. Awan itu telah melewati tentara. (A’lamun Nubuwah karya
al-Mawardi).
Kami
tidak Punya Pelarian Kecuali kepada Engkau, Ya Rasulullah
Termasuk di antara tanda kenabian
beliau adalah apa yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Katanya, “Seorang
dusun datang kepada Nabi saw., lalu berucap, “Wahai Rasulullah, sungguh kami
telah datang kepada engkau, sedang kami tidak memiliki lagi unta yang bisa
bersuara dan (tidak memiliki lagi) bayi yang bisa terlelap tidur.” Dia kemudian
bersenandung,
أَتَيْنَاكَ
وَالْعَذْرَاءُ يُدْمِى لَبَانُهَا = وَقَدْ شُغِلَتْ أُمُّ الصَّبِيِّ عَنِ
الطِّفْلِ
وَأَلْقَى
بِكَفَّيْهِ الصَّبِيُّ اسْتِكَانَةً = مِنَ الْجُوْعِ ضَعْفًا مَا يَمُرُّ وَلاَ
يُحْلِى
وَلاَ
شَيْءَ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ عِنْدَنَا = سِوَى الْحَنْظَلِ الْعَامِي وَالْعَلْهَزِ
الْفَسْلِ
وَلَيْسَ
لَنَا إِلاَّ إِلَيْكَ فِرَارُنَا = وَأَيْنَ فِرَارُ النَّاسِ إِلاَّ إِلَى
الرُّسْلِ
Kami
datang kepadamu, sedang dada para gadis mengeluarkan tetesan darah. Ibu telah
dibuat sibuk oleh bayinya.
Bayi
meletakkan kedua tangannya lemas dan lemah, karena lapar, dia tidak bisa
berjalan dan tidak memikat hati.
Dan
tidak ada sesuatu makanan yang lazim dimakan manusia di sisi kami, selain
handzal (jenis labu yang pahit rasanya) dan alhas (rupa makanan yang jelek).
Dan
kami tidak punya pelarian kecuali kepada engkau. Dan kemanakah manusia berlari
kalau tidak kepada para Rasul.
Rasulullah saw. lalu bangkit
berdiri, menarik selendangnya, sehingga menaiki mimbar. Beliau memuji Allah
ta’ala, lalu berdoa, “Ya Allah, turunkan hujan yang deras lagi merata, yang
tidak lamban, yang bisa menumbuhkan tanaman, memenuhi tetek ternak, dan
menghidupkan bumi setelah bumi itu mati.” Lalu, belum lagi sempurna doa hingga
langit berpaling menurunkan air-air jernihnya.
وَأَبْيَضُ
يُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِِهِ = ثِمَالُ الْيَتَامَى عِصْمَةٌ
لِلْأَرَامِِلِ
يَعُوْذُ
بِهِ الْهَلاَّكُ مِنْ بَنِى هَاشِمِ = فَهُمْ عِنْدَهُ فِى نِعْمَةٍ وَفَوَاضِلِ
كَذَّبْتُمْ
وَبَيْت اللهِ نَبْزِى مُحَمَّدًا = وَلَمَا نُقَاتِلُ دُوْنَهُ وَنُنَاضِلِ
وَنُسْلِمُهُ
حَتَّى نُصَرَّعَ حَوْلَهُ = وَنَذْهَلُ عَنْ أَبْنَائِنَا وَالْحَلاَئِلِ
Sosok
putih bersih. Dengan mukanya, diminta turunnya hujan. Sang penolong anak-anak yaim.
Sang pelindung para janda.
Bani
(keluarga) Hasyim terlindung dari kehancuran disebabkan dirinya. Mereka di
sisinya berada dalam kenikmatan dan keutamaan.
Kalian
pembohong. Demi Baitullah, kami akan membela Muhammad. Kami akan
mempertahankannya dan berperang demi membelanya.
Kami
akan menyerahkannya manakala kami terbunuh roboh di sebelahnya dan kami
melupakan anak-anak dan isteri-isteri kami.
Seorang dari Kinanah bangkit berdiri
dan bersenandung,
لَكَ
الْحَمْدُ وَالْحَمْدُ مِمَّنْ شَكَرَ = سُقِيْنَا بِوَجْهِ النَّبِيِّ الْمَطَرَ
دَعَا
اللهَ خَالِقَهُ دَعْوَةً = وَأَشْخَصَ مَعْهَا إِلَيْهِ الْبَصَرَ
فَلَمْ
يَكُ إِلاَّ كَلَّفَ الرِّدَاءَ = وَأَسْرَعَ حَتَّى رَأَيْنَا الدُّرَرَ
رِقَاقَ
الْعَوَالِى جَمَّ الْبُعَاقِ = أَغَاثَ بِهِ اللهُ عَلْيَا مُضَرَ
وَكَانَ
كَمَا قَالَهُ عَمُّهُ = أَبُو طَالِبٍ: أَبْيَضُ ذُو غُرَر
بِهِ
اللهُ يَسْقِى صَوْبَ الْغَمَامِ = وَهذَا الْعَيَانُ كَذَاكَ الْخَبَر
Bagi-Mu
segala puja dan puji dari orang yang bersyukur. Dengan sosok Nabi, kami dikasih
hujan. Dia berdoa memohon kepada penciptanya dengan satu doa seraya memfokuskan
pandangan mata kepada-Nya.
Dia
tidak membalik selendang dan bergegas sehingga kami melihat hujan lebat.
Airnya
menggenangi dataran tinggi. Dengannya, Allah memberi pertolongan kepada
orang-orang mulia (kabilah) Mudlar.
Dan
terjadilah seperti apa yang diucapkan oleh sang paman, yaitu Abu Thalib: Sosok
putih bersih nan cemerlang.
Dengannya,
Allah menurunkan hujan melimpah. Dan kenyataan saat ini seperti berita tersebut.
Rasulullah saw. lalu bersabda, “Jika
dia jadi penyair niscaya jadi penyair yang bagus. Sungguh, kamu telah berbuat
bagus.” (Lihat A’lamun Nubuwah karya al-Mawardi hal. 109)
Makna
Hadits, “Allah akan Mengembalikan Ruhku.”
مَا
مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِيْ حَتَّى
أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ
“Tidak
seorang pun menyampaikan salam atasku niscaya Allah akan mengembalikan ruhku,
sehingga aku bisa menjawab salam kepadanya.” (H.R. Abu Dawud dari Abu Hurairah
ra.)
An-Nawawi berkata, “Sanadnya
shahih.” Ibnu Hajar berkata, “Para perawinya
tsiqah.” Makna dari “Allah akan mengembalikan ruhku,” yakni, “Dia akan
mengembalikan kemampuanku berbicara,” karena sebenarnya beliau hidup selamanya,
dan ruh beliau tidak berpisah darinya, berdasarkan hadits shahih bahwasanya
para nabi hidup dalam kubur-kubur mereka. Sabdanya beliau, “Sehingga aku bisa
menjawab salam kepadanya,” secara jelas menunjukkan keberlangsungan hidup
beliau, karena ketidakmungkinan alam semesta ini sepi dari orang yang
menyampaikan salam kepadanya. Dan siapa yang membatasi ‘penjawaban’ itu hanya
pada waktu ziarah, maka dia haruslah memberikan keterangan.
Yang dimaksud dengan ruh, menurut
pandangan Ibnul Mulqin dan lainnya, yaitu kemampuan bicara secara kiasan. Hubungan
kiasan ini adalah bahwa pada ruh lazimnya adalah adanya kemampuan berbicara
baik dengan perbuatan maupun kekuatan. Dan beliau di alam barzakh disibukkan
oleh berbagai kondisi alam malakut, tenggelam di dalam menyaksikannya, tidak
mengindahkan kemampuan bicara dengan itu. Karenanya, Ibnu Hajar berkata, “Yang
terbaik adalah ruh itu ditakwili dengan datangnya pemikiran, sebagaimana mereka
mengatakannya mengenai hadits, “Diliputi awan atas hatiku.”
Rasulullah
saw. di atas Haud Menunggu Umat Beliau yang Mendatanginya (Semoga Allah Ta’ala
menjadikan kita orang-orang yang diterima)
Dua pakar hadits (Bukhari dan
Muslim) meriwayatkan dari Uqbah bin Amir ra., “Pada suatu hari Rasulullah saw.
keluar dan menshalati syuhada’ Uhud seperti shalat beliau atas mayit, kemudian
beliau pulang menuju mimbar, lalu bersabda,
إِنِّي
فَرَطٌ لَكُمْ وَأَنَا شَهِيْدٌ عَلَيْكُمْ ، وَإِنِّي وَاللهِ لَأَنْظُرُ إِلَى
حَوْضِيْ الْآنَ ، وَإِنِّيْ قَدْ أُعْطِيْتُ خَزَائِنَ الْأَرْضِ ، أَوْ
مَفَاتِحَ الْأَرْضِ ، وَإِنِّيْ وَاللهِ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ تُشْرِكُوْا
بَعْدِيْ وَلكِنْ أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ تَتَنَافَسُوْا فِيْهَا
“Sesungguhnya
aku pendahulu kalian. Aku juga penyaksi kalian. Demi Allah, sungguh aku akan
sekarang ini melihat haud (telaga)ku. Sungguh aku diberikan khazanah-khazanah
bumi, atau kunci-kunci bumi. Dan demi Allah, aku sungguh tidak mengkhawatirkan
kalian berlaku syirik sepeninggalku, namun yang aku khawatirkan adalah jikalau
kalian bersaing (berebutan) terkait (khazanah-khazanah bumi) itu.”
Satu riwayat Muslim dari Uqbah
menyatakan, “Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya aku penunggu kalian di atas
haud.”
Diriwayatkan dari Muslim dari
Jundub. Ia mendengar Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya aku penunggu kalian di
atas haud.” Abu Nuaim meriwayatkan dengan sanad dari Hudzaifah bin Usaid
al-Ghifari ra. Katanya, “Tatkala pulang dari Haji Wada’, Nabi saw. bersabda,
“Wahai manusia, sesungguhnya aku penunggu kalian di atas haud. Dan kalian akan
mendatangi haud yang lebarnya adalah jarak antara Bushra dan Shan’a. Di
dalamnya ada wadah-wadah sejumlah bilangan bintang.”
Ath-Thabarani meriwayatkan dalam
al-Kabir dari Ibnu Abbas ra. bahwa Nabi saw. bersabda, “Aku memegangi ikat
pinggang kalian (agar jauh) dari neraka. Aku katakana, “Takutlah kalian akan
Jahannam. Takutlah kalian akan (melanggar) batasan-batasan Allah. Jika aku
meninggal, maka aku adalah pendahulu kalian. Tempat perjanjian kalian adalah
haud. Barangsiapa bisa mendatangi, maka beruntung.” (Al-hadits)
Imam Nawawi berkata, “Pakar bahasa
mengatakan, “Al-farath dan al-farith adalah orang yang datang lebih dahulu di
antara orang-orang yang dating, agar ia bisa menyiapkan bagi mereka kolam,
timba, dan urusan-urusan mengambil air lainnya. Katanya, “Dan makna sabda
beliau, “Dan aku adalah pendahulu kalian di atas haud,” adalah, beliau menunggu
umatnya yang akan mendatangi haud lagi menyusul beliau. Hal itu agar beliau
dapat menyambut mereka dan memberi minum mereka. Semoga Allah memberi kita
minum dari tangan beliau yang mulia dengan minuman yang kita tidak akan dahaga
selamanya, berkah derajat dan kehormatan pribadi beliau yang mulia di sisi
Rabb-nya. Demikianlah hadits-hadits mengenai haud telah mencapai batas tawatur
(mutawatir), maka wajib diimani secara pasti (tegas) tanpa keraguan.
Dalam Sunan Abu Dawud disebutkan
bahwasanya Ubaidullah bin Ziyad berkata kepada Abu Barzah al-Aslami ra., “Aku
datang kepadamu dalam rangka bertanya tentang haud. Apakah kamu mendengar
Rasulullah saw. menuturkan sesuatu mengenainya?” Abu Barzah ra. berkata, “Iya.
Tidak hanya sekali. Tidak hanya dua kali, tidak pula tiga, empat, dan lima kali.” Katanya,
“Maka, barangsiapa mendustakannya, semoga Allah tidak memberikan minum
darinya.” (Al-hadits). Di dalam hal ini terdapat dalil bahwasanya beliau sering
kali menceritakan kepada para sahabat tentang haud dan sifat-sifatnya. Atas
dasar ini, hadits-hadits tentang haud datang dari sekian banyak sahabat dalam
kesempatan yang berbeda-beda. Dari sini, ulama-ulama tauhid menyebut haud
bagian dari aqidah keimanan.
Al-Allamah al-Laqqani rahimahullah
ta’ala menggubah,
Keimanan
kita kepada haud (telaga) sebaik-baik Rasul adalah suatu kewajiban, sebagaimana
riwayat-riwayat yang sampai pada kita.
Yang
dapat minum darinya adalah kaum yang melestarikan (memenuhi) janji mereka, dan
katakanlah, orang-orang yang kufur lagi melampaui batas akan diusir.
Maknanya, orang-orang yang dapat
minum dari telaga al-Mushthafa – tanpa ada rintangan yang menghalangi mereka –
adalah mereka yang memenuhi janji mereka kepada Allah swt. dan Rasul-Nya saw.
Adapun orang yang sewenang-wenang, melampaui batas, murtad, dan balik
kekonyong-konyong (pada kekufuran), merekalah yang dicegah dari minum dari
telaga beliau.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu
Hurairah ra. dari Nabi saw., bahwasanya beliau bersabda, “Saat aku berdiri (di
atas haud pada hari kiamat), tiba-tiba ada sekelompok orang. Kala aku melihat
mereka, keluarlah seseorang (yakni malaikat yang menyerupa bentuk orang) yang
memisah antara aku dan mereka. Orang itu berkata (kepada mereka), “Kemarilah!”
Aku katakan, “Kemanakah?” (yakni kemana engkau memanggil mereka?!). Jawabnya,
“Ke neraka.” “Apa perkara mereka?!,” tanyaku. Kata malaikat, “Sesungguhnya
mereka itu orang yang sekonyong-konyong murtad sepeninggal engkau.” Kemudian
datang sekelompok lain. Kala aku melihat mereka, keluarlah seseorang yang
memisah antara aku dan mereka. Orang itu berkata (yakni kepada kelompok yang
datang itu), “Kemarilah!” Aku katakan, “Kemanakah?” Jawabnya, “Ke neraka.” “Apa
perkara mereka?!,” tanyaku. Katanya, “Maka, aku tidak melihat yang selamat dari
mereka (yakni dari kelomopk itu) kecuali seperti hamlun na’am (ternak
hilang/yang tak berpemiliki).” Al-Hafidz al-Mundziri dan lainnya berkata,
“Hamlun na’am adalah ternak yang hilang. Maknanya adalah, yang selamat amat
sedikit laksana ternak hilang/terlantar/tak berpemilik dibanding dengan
keseluruhan jumlah ternah.” Demikian.
Ibnu Abi Mulaikah berdoa, “Ya Allah,
kami berlindung kepada Engkau dari murtad atau terfitnah dalam agama kami.”
Amiin. (Lihat al-Iman bi Awalimil Akhirah karya Syeikh Abdullah Sirajuddin).
42. Memperbanyak shalawat kepada beliau menduduki kedudukan guru
murabbi.