Dalam kasidah
Hamziyah (karya an-Nabhani) disebutkan,
Seandainya aku diberi kekhususan dapat
melihat muka beliau. Hilanglah segala kepenatan dari setiap orang yang melihat
beliau.
Orang-orang
yang tidak mengerti lalu mengkritiknya. Aku lalu berkata, “Ini adalah ucapan
yang dikuatkan oleh hadits marfu’ yang shahih lagi muttashil (bersambung
sanadnya) dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Nabi saw. bersabda, “Akan datang
suatu zaman pada salah seorang dari kalian jikalau dia dapat melihatku maka itu
lebih disukainya daripada dia memiliki keluarga dan kekayaannya.” (H.R. Bukhari dalam kitab Manaqib bab
Alamat-alamat kenabian. Salinan Fathul Bari jilid 6 hal. 604)
Puas dengan Sedikit Harta di Jalan
Ketetanggaan
Aku
mendapati tulisan ayahku pada sebagian kertas-kertasnya,
لَقَرْصُ
شَعِيْرٍ تَافَهٍ غَيْر صَالِحٍ = بِغَيْرِ إِدَامٍ وَالَّذِي يَعْلَمُ النَّجْوَى
مَعَ
الْفَقِيْرِ فِى دَارِ الْحَبِيْبِ مُحَمَّدٍ = أَلَذُّ عَلَى قَلْبِي مِنَ
الْمَنّ وَالسَّلْوَى
عَلَى
أَنَّنِي فِيْهَا عَلَى كُلِّ حَالَةٍ = بِتَيْسِيْرِ مَوْلاَنَا الْكَرِيْمِ
كَمَا أَهْوَى
Sebutir gandum yang tak berarti (remeh)
nan tak layak, tanpa lauk, dan orang yang mengetahui rahasia,
diikuti kefakiran di negeri Sang
Kekasih, Muhammad, itu lebih nikmat bagi jiwaku daripada Manna dan Salwa,
sementara aku di dalamnya dalam setiap
keadaan selalu mendapatkan kemudahan dari Tuhan kami Yang Maha Murah Tangan
sebagaimana aku inginkan.
Gairah Imam al-Bushiri
Imam al-Bushiri
berkata tentang hadirat kenabian, pujian, dan antusiasmenya (gairahnya) pada
hadirat kenabian itu,
Sesungguhnya aku mempunyai antusiasme. Para pujangga telah menyaingiku di dalam menggambarkan
puji-pujian kepada engkau.
An-Nabhani
berkata menjelaskan bahwa posisinya tidaklah menunjukkan antusiasme. Dalam
Hamziyahnya yang terkenal yang tersebut di dalam himpunan 38411 dia menyatakan:
Antara an-Nabhani dan Ibnu Ubaidillah
Ayah
–rahimahullah- menceritakan pada kami bahwa an-Nabhani menggubah tentang dua
sandal mulia,
عَلى
رَأْسِ هذَا الْكَوْنِ نَعْلُ مُحَمَّدٍ = سَمَتْ فَجَمِيْعُ الْخَلْقِ تَحْتَ
ظِلاَلِهِ
لَدَى
الْعَرْشِ مُوْسَى نُوْدِيَ اخْلَعْ وَأَحْمَدُ = إِلَى الْعَرْشِ لَمْ يُؤْمَرْ
بِخَلْعِ نِعَالِهِ
Di muka bumi ini ada sandalnya Muhammad.
Sandal yang mengungguli. Seluruh makhluk berada di bawah naungan sandal itu.
Di sisi arasy, Musa diseru, “Lepaslah
(kedua sandalmu),” sedang Ahmad hingga sampai pada arasy tidak dititahkan untuk
melepas sandalnya.
Ketika ini
didengar oleh Sayyid Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf, mufti Hadramaut ini
tidak terkejut (heran) dengan itu. Ia merespon dengan gubahannya,
يَقُوْلُوْنَ:
إِنَّ الْمُصْطَفَى لَيْلَةَ السُّرَى = إِلَى الْعَرْشِ لَمْ يُؤْمَرْ بِخَلْعِ
نِعَالِهِ
وَهذَا
مُحَالٌ عِنْدَنَا فِى مَقَامِ مَنْ = تَوَاضُعُهُ لِلّهِ أَسْنَى خِلاَلِهِ
Mereka berkata, “Sesungguhnya
al-Mushthafa (Nabi Terpilih) pada mlam diperjalankan menuju Arasy tidak
diperintahkan melepas sandalnya.”
Dan ini adalah hal yang tidak mungkin
menurut kami bagi posisi orang yang tawadlu’nya kepada Allah merupakan
perilakunya yang tertinggi.
Katanya,
“Akan tetapi Assegaf saat tidur bermimpi melihat Nabi saw., dan beliau memberi
isyarat pada bab melakukan shalat dengan memakai sandal. Ketika bangun, dia
beristimbath darinya bahwa orang shalat itu tengah munajat kepada Tuhannya, dan
itu didiperkenankan dalam keadaan dia memakai sandalnya, maka tidak ada
halangan bahwa Nabi saw. pada saat bermunajat beliau memakai sandalnya, karena
kondisinya sama.”
Engkaulah Pintu Allah
مَا
أَرْسَلَ الرَّحْمنُ أَوْ يُرْسِلُ = مِنْ رَحْمَةٍ تَصْعدُ أَوْ تَنْزِلُ
فِى
مَلَكُوْتِ اللهِ أَوْ مُلْكِهِ = مِنْ كُلِّ مَا يخْتَصُّ أَوْ يشملُ
إِلاَّ
وَطهَ الْمُصْطَفَى عَبْدُهُ = نَبِيُّهُ مُخْتَارُهُ الْمُرْسَلُ
وَاسِطَةٌ
فِيْهَا وَأَصْلٌ لَهَا = يَعْلَمُ هذَا كُلُّ مَنْ يَعْقِلُ
فَلَذَّ
بِهِ فِى كُلِّ مَا تَرْتَجِى = فَإِنَّهُ الْمَأْمَنُ وَالْمَعْقِلُ
وَحَطّ
أَحْمَالَ الرَّجَا عِنْدَهُ = فَإِنَّهُ الْمَرْجِعُ وَالْمَوْئِلُ
وَنَادَاهُ
إِنَّ أَزْمَةً أَنْشَبَتْ = أَظْفَارُهَا وَاسْتَحْكَمَ الْمُعْضَلُ
يَا
أَكْرَمَ الْخَلْقِ عَلَى رَبِّهِ = وَخَيْرَ مَنْ فِيْهِمْ بِهِ يُسْأَلُ
قَدْ
مَسَّنِي الْكَرْبُ وَكَمْ مَرَّةٍ = فَرَّجْتَ كَرْبًا بَعْضُهُ يُذْهِلُ
فَبِالَّذِي
خَصَّكَ بَيْنَ الْوَرَى = بِرُتْبَةٍ عَنْهَا الْعُلاَ تَنْزِلُ
عَجِّلْ
بِإِذْهَابِ الَّذِي أَشْتَكِى = فَإِنْ تَوَقَّفْتَ فَمَنْ ذَا أَسْأَلُ؟
فَحِيْلَتِي
ضَاقَتْ وَصَبْرِي انْقَضَى = وَلَسْتُ أَدْرِى مَا الَّذِي أَفْعَلُ؟
وَلَنْ
تَرَى أَعْجَزَ مِنِّي فَمَا = لِشِدَّةٍ أَقْوَى وَلاَ أَحْمِلُ
فَأَنْتَ
بَابُ اللهِ أَيُّ امْرِىءٍ = أَتَاهُ مِنْ غَيْرِكَ لاَ يَدْخُلُ
عَلَيْكَ
صَلَّى اللهُ مَا صَافَحَتْ = زَهْرَ الرَّوَابِي نَسَمَةُ شَمْأَلُ
مُسْلِمَا
مَا فَاحَ عَطَرُ الْحِمَى = وَطَابَ مِنْهُ النَّدُّ وَالْمَنْدَلُ
وَالْآلِ
وَالْأَصْحَابِ مَا غَرَدَتْ = سَاجِعَةٌ أُمْلُوْدُهَا مُخْضَلُ
Dzat Yang Maha Pengasih tidak mengirim
atau akan mengirim suatu rahmat yang naik atau turun,
di singgasana atau kerajaan Allah, baik
nikmat yang khusus maupun nikmat yang umum, melainkan sosok Thaha nan terpilih,
hamba dan Nabi-Nya, Rasul pilihan-Nya, merupakan wasitah (perantara) dan
pangkal di dalam nikmat-nikmat itu. Setiap orang yang berfikir tentu mengetahui
hal ini.
Maka, carilah perlindungan dengan
perantaranya di setiap hal apa yang kamu harapkan, karena sesungguhnya dia
tempat keamanan dan tempat berlindung.
Turunkanlah beban-beban harapan padanya,
karena sesungguhnya dia tempat rujukan dan tempat perlindungan.
Dan serulah padanya bahwa krisis telah
mencakarkan kuku-kukunya dan telah kokoh otot-ototnya.
Wahai sebaik-baik makhluk bagi Tuhannya
dan sebaik-baik orang yang dimintai dengannya di kalangan makhluk-Nya.
Sungguh aku telah ditimpa kesusahan, dan
berapa kali engkau melapangkan kesusahan yang sebagiannya membuat kusut (kacau)
pikiran.
Demi Dzat yang telah memberi engkau
martabat yang spesial di antara makhluk dimana seluruh derajat turun dari
martabat itu.
Segerakanlah menghilangkan apa yang aku
keluhkan. Jika enggan, maka siapakah yang aku mintai?!
Daya upayaku telah buntu. Kesabaranku
habis. Dan aku tidak tahu lagi apa yang mesti akan aku lakukan?!
Engkau tidak akan melihat orang yang
lebih lemah dariku. Aku tidak kuat dan tidak mampu menahan beban kesulitan.
Maka engkaulah pintu Allah. Setiap orang
yang mendatangi pintu selainmu, dia tidak akan bisa masuk.
Kepada engkau Allah bershalawat selama
orang Syam’al menjabat orang Zahrar Rawabi,
seraya mengucapkan salam. Selama bau
minyak ‘al-hima’ semerbak harumnya dan kayu gaharu menjadi harum darinya.
Dan kepada keluarga dan para sahabat,
selama ada wanita penyajak bersiul yang kehalusan/kelunakannya amat menyenangkan.
Mencium Tangan Karena Penghormatan
Yang
mulia, Syeikh Muhammad Nur Saif dalam masalah mencium tangan berkata menggubah,
Dan duta Abdul Qais saat tiba, mereka sama
menciumi kedua tangan dan kedua kaki beliau.
Demikian pula dua orang Yahudi, tatkala
tiba, keduanya menciumi kedua tangan dan kedua kaki beliau, seraya menyatakan
masuk Islam.
Semoga Tuhan kami selalu melimpahkan shalat
dan salam padanya, dan pada keluarga, sahabat, dan orang-orang yang bernisbat
padanya.
Hal itu senantiasa menjadi praktek generasi
salaf. Segolongan besar generasi khalaf (belakangan) telah meriwayatkannya dari
mereka.
Tidak ada atsar yang menerangkan bahwa hal
itu adalah khususiyah (bersifat khusus). Maka orang yang menganggap-anggap itu
sebagai khususiyah sekarang ini mulutnya perlu ditutup batu.
Anak saudara bibiku telah menadzamkannya
bagi orang yang ingin mengetahui riwayat-riwayat yang ada dalam kitab-kitab
Sunan (kompilasi hadits induk).
Keutamaan Makam Mulia atas Alam Semesta
جَزَمَ
الْجَمِيْعُ بِأَنَّ خَيْرَ الْأَرْضِ مَا = قَدْ حَاطَ ذَاتَ الْمُصْطَفَى
وَحَوَاهَا
وَنَعَمْ
لَقَدْ صَدَقُوا بِسَاكِنِهَا عَلَتْ = كَالنَّفْسِ حِيْنَ زَكَتْ زَكَى
مَأْوَاهَا
“Seluruhnya menetapkan bahwa sebaik-baik
bumi adalah bumi yang memuat dan menggenggam zat Nabi Terpilih.
Iya, mereka benar. Disebabkan
penghuninyalah bumi itu menjadi unggul, sebagaimana jiwa jika bersih, maka
bersih pulalah tempat domisilinya.”
Qadli
Iyadh rahimahullah dalam Syarah Muslim menukil konsensus para ulama (ijma’)
bahwa tempat dikebumikannya Nabi merupakan tanah bumi yang paling afdol meski
dibanding Ka’bah.
Bergembira dengan Maulid Nabi
Dalam shahih
Bukhari diterangkan Abu Lahab diberikan keringanan siksa setiap hari Senin
disebabkan dia memerdekakan Tsuwaibah kala budak perempuannya itu memberikan
berita gembira atas kelahiran al-Musthafa saw. (Lihat Bukhari kitab nikah bab
ibu-ibu yang menyusuimu, dan haramnya jalinan susuan seperti haramnya jalinan
nasab).
Aku katakan,
“Dan mengenai hal ini, al-Hafidz Syamsuddin bin Nashir ad-Dimasyqi menggubah,
إِذَا
كَانَ هذَا كَافِرًا جَاءَ ذَمُّهُ
|
بِتَبَّتْ
يَدَاهُ فِى الْجَحِيْمِ مُخَلَّدَا
|
|
أَتَى
أَنَّهُ فِى يَوْمِ الْإِثْنَيْنِ دَائِمَا
|
يُخَفَّفُ
عَنْهُ لِلسُّرُوْرِ بِأَحْمَدَا
|
|
فَمَا
الظَّنُّ بِالْعَبْدِ الَّذِى كَانَ عُمْرُهُ
|
بِأَحْمَدَ
مَسْرُوْرًا وَمَاتَ مُوَحِّدَا
|
Jikalau ini adalah orang kafir yang
telah dicela dengan ‘celakalah kedua tangannya’. Dia kekal di neraka jahim.
Diterangkan bahwa pada setiap hari Senin
dia diperingan siksanya karena gembira terhadap (kelahiran) Ahmad.
Maka apakah persangkaanmu terhadap hamba
yang sepanjang umur selalu bergembira terhadap Ahmad dan meninggal dalam
keadaan bertauhid?!
Ratapan Duka Cita
Shafiyah
binti Abdul Mutthalib meratapi Rasulullah saw.,
أَلاَ
يا رَسُوْلَ اللهِ كُنْتَ رَجَاءُنا = وَكُنْتَ بِنَا بَرًّا وَلَمْ تَكُ جِافِيَا
وَكُنْتَ
رَحِيْمًا هَادِيًا وَمُعْلِمًا = لَيَبْكِ عَلَيْكَ الْيَوْمَ مَنْ كَانَ
بَاكِيَا
صَدَقْتَ
وَبَلَّغْتَ الرِّسَالَةَ صَادِقًا = وَمُتَّ صَلِيْبَ الْعُوْدِ أَبْلَجَ
صَافِيَا
فدًى
لِرَسُوْلِ اللهِ أُمِّيْ وَخَالَتِيْ = وَعَمِّي وَخَالِي وَنَفْسِي وَمَالِيَا
لَعَمْرُكَ
مَا أَبْكِي النَّبِيَّ لِفَقْدِهِ = وَلكِنْ لِمَا أَخْشَى مِنَ الْهَرْجِ
أَتَيَا
كَأَنَّ
عَلَى قَلْبِي لَذِكْرُ مُحَمَّدٍ = وَمَا خِفْتُ مِنْ بَعْدِ النَّبِيِّ
مَطَاوِيَا
فَلَوْ
أَنَّ رَبَّ النَّاسِ أَبْقَى نَبِيَّنَا = سَعِدْنَا وَلكِنْ أَمْرُهُ كَانَ
مَاضِيَا
عَلَيْكَ
مِنَ اللهِ السَّلاَمُ تَحِيَّةً = وَأُدْخِلْتَ جَنَّاتٍ مِنَ الْعَدْنِ رَاضِيَا
أُفَاطِمُ
صَلَّى اللهُ رَبُّ مُحَمَّدٍ = عَلَى جَدَثٍ أَمْسَى بِطَيْبَةَ ثَاوِيَا
Ya Rasulullah, engkau harapan kami.
Engkau banyak berbuat kebajikan pada kami. Engkau bukan orang yang kaku.
Engkau penyayang, penunjuk, dan
pendidik. Pada hari ini menangislah kepada engkau orang yang mau menangis.
Engkau berlaku benar. Engkau telah
menyampaikan risalah secara jujur. Engkau meninggal dalam keadaan harum nan
wajah putih berseri-seri.
Ibuku, bibiku, pamanku, diriku, dan
hartaku menjadi tebusan bagi Rasulullah.
Sungguh, aku tidak menangisi Baginda
Nabi karena wafatnya, namun karena kekhawatiranku akan datangnya
gonjang-ganjing.
Hatiku seakan-akan selalu mengingat
Muhammad. Apa yang aku khawatirkan sepeninggal Nabi adalah lipatan-lipatan
kebengkokan.
Seandainya Rabb manusia mengekalkan Nabi
kita, niscaya bahagialah kita, akan tetapi titah-Nya akan terus berjalan.
Salam penghormatan dari Allah semoga
selalu terlimpah kepada engkau. Engkau akan dimasukkan surga-surga Adn dalam
keadaan puasa (ridla).
Sudah saatnya aku sudahi. Allah, Rabb
Muhammad, semoga senantiasa bershalawat terhadap makam yang akan selalu tinggal
(bertempat) di Thaibah.
Ini gubahan
Shafiyah binti Abdul Mutthalib atau (gubahan) Arwa. (Istiab – Thabaqat).
Pemilik Arasy itu Terpuji dan Ini
Terpuji Pula
Hassan
bin Tsabit dalam antologinya menggubah,
أَغَرُّ عَلَيْهِ لِلنُّبُوَّةِ خَاتَمٌ
|
مِنَ اللهِ مَشْهُوْدٌ يَلُوْحُ وَيَشْهَدُ
|
|
وَضَمَّ الْإلهُ اسْمَ النَّبِى
إِلَى اسْمِهِ
|
إِذَا مَا قَالَ فِىالْخَمْسِ
الْمُؤَذِّنُ أَشْهَدُ
|
|
وَشَقَّ لَهُ مِنِ اسْمِهِ
لِيُجِلَّهُ
|
فَذُو الْعَرْشِ مَحْمُوْدُ
وَهذَا مُحَمَّدُ
|
|
نَبِيٌّ
أَتَانَا بَعْدَ يَأْسٍ وَفَتْرَةٍ
|
مِنَ الرُّسْلِ
وَالْأَوْثَانُ فِى الْأَرْضِ تُعْبَدُ
|
|
فَأَمْسَى
سِرَاجًا مُسْتَنِيْرًا وَهَادِيًا
|
يَلُوْحُ كَمَا
لاَحَ الصَّقِيْلُ الْمُهَنَّدُ
|
|
وَأَنْذَرَنَا نَارًا
، وَبَشَّرَ جَنَّةً
|
وَعَلَّمَنَا
الْإِسْلاَمَ ، فَاللهَ نَحْمَدُ
|
Putih berseri. Dia memiliki stempel
kenabian dari Allah yang disaksikan, yang berkilau dan menjadi saksi.
Tuhan menggabungkan nama Nabi kepada
nama-Nya, ketika muaddzin berkata di setiap shalat lima waktu, “Asyhadu (aku bersaksi”.
Dia membelah nama-Nya untuknya dalam
rangka mengagungkannya. Pemilik Arasy itu mahmud (terpuji) dan ini juga
Muhammad (terpuji) pula.
Seorang nabi yang datang pada kita pasca
keputus-asaan dan kevakuman dari para rasul, sedang berhala-berhala disembah di
bumi.
Dia lalu menjadi pelita yang menerangi
dan penunjuk yang berkilau seperti berkilaunya pedang yang terasah tajam.
Dia memperingatkan akan neraka pada kami
dan memberikan berita gembira berupa surga. Dia mengajari kami Islam. Maka
kepada Allah-lah kami memuji.
Nabi saw. Dialah Sandaran, Pelindung,
dan Pegangan Kami
Hassan bin
Tsabit ra. juga menggubah,
يَا
رُكْنَ مُعْتَمدٍ وَعِصْمَةُ لاَئِذٍ = وَمَلاذُ مُنْتَجِعٍ وَجَارُ مُجَاوِرِ
يَا
مَنْ تَخَيَّرَهُ الْإِلهُ لِحَقِّهِ = فَحَيَّاهُ بِالْخُلُقِ الزَّكِيِّ
الطَّاهِرِ
أَنْتَ
النَّبِيُّ وَخَيْرُ عِصْبَةِ آدَمَ = يَا مَنْ يَجُوْدُ كَفَيْضِ بَحْرٍ زَاخِرِ
مِيْكَالُ
مَعَكْ وَجِبْرَائِيْلُ كِلاَهُمَا = مَدَدٌ لِنَصْرِكَ مِنْ عَزِيْزٍ قَادِرِ
Wahai sandaran orang yang bersandar,
pegangan orang yang datang meminta bantuan, dan pelindung orang yang mencari
perlindungan.
Wahai orang yang dipilih oleh Allah
sebagai hak-Nya, lalu Dia memuliakannya dengan budi pekerti yang bersin nan
suci.
Engkau Nabi dan sebaik-baik anak
keturunan Adam. Wahai orang yang murah tangan laksana luapan samudera yang
dalam.
Mikail dan Jibril selalu menyertai
engkau. Keduanya adalah bantuan untuk menolong engkau yang datang dari Dzat
Yang Maha Mulia lagi Maha Berkuasa.
(Al-Ishabah dan Raudlul Unuf – Ghazwah
Badar).
Bertasbihnya Makanan di Telapak Tangan Nabi
saw.
Dalam maulid
al-Barzanji rahimahullah diterangkan bahwa makanan dan kerikil bertasbih di
telapak tangan beliau. Aku mengkritisi atas orang yang membaca itu. Aku
katakana kepadanya: Yang ideal mestinya dikatakan bahwa beliau mendengar
bertasbihnya makanan dan kerikil di bagian dalam telapak tangan beliau. Adapun
sekedar bertasbih, maka tidak memiliki nilai menurutku. Keagungan mukjizat dari
Abdullah bin Mas’ud ra. menyatakan, “Kami dahulu mendengar bertasbihnya
makanan, dan makanan itu mau dimakan.” (H.R. Bukhari dalam kitab Manaqib bab
Alamat-alamat kenabian. Teks Fathul Bari ).
Tawassul
Sungguh kami telah datang pada tempat
perlindunganmu yang mulia, wahai Nabi yang mengungguli setiap nabi.
Dan kami menghadap pada tempat perlindungan
dengan hati yang retak. Kami tarik punggung kendaraan menuju kepadanya.
Kami hentikan kendaraan di pintu kemuliaan.
Kami lemparkan beban-beban di dalam kebaikan yang sempurna.
Kemudian dia
berkata,
Wahai sandaran segenap makhluk, sebaik-baik
manusia, dan harapan bagi setiap orang dekat dan orang jauh.
Untukmu kami hadapkan wajahku, wahai sosok
yang putih wajahnya. Maka semoga dihadapkanlah wajah orang yang mencintai
kepadanya.
Tidak mungkin aku akan menjadi susah usai
aku datang di maqam yang luhur.
Aku telah datangi tempat perlindungan
dengan prasangka indah dan etika yang sesuai dengan jalan yang lurus.
Bagaimana aku tidak sampai pada harapan,
sedang engkau pintu bagi Allah pemilik pemberian yang sempurna?
Apa jawabku bila aku pulang, sedang mereka
sama berkata, “Apa yang kamu peroleh dari sisi Baginda Nabi?”
Apakah engkau rela kepulanganku bertangan hampa
laksana kedatanganku, wahai pemilik kebersihan?
Sungguh aku bertawassul di sisi pintu
engkau dengan ash-shiddiq (orang yang selalu benar) dan seorang sahabat yang
bertakwa nan bersih,
dan dengan teman berbaring engkau, yaitu
al-Faaruuq, yang engkau puas terhadap hukumnya yang diridlai,
dan dengan Utsman, empunya sifat malu,
penyaksi negeri, sosok yang meraih segala sifat yang elok,
dan dengan lebah jantan engkau, Imam Ali,
sang pembobol pintu dalam perang Khaibar.
Kasidah
ini karya Imam al-Arif billah Syeikh Umar al-Yafi al-Khalwati (wafat 1233 H.)
Dimanakah Mereka Adzan pada Masa Nabi
saw.
Apa
yang disampaikan oleh ulama-ulama pengikut madzhab Maliki menyatakan bahwa
adzan di atas menara. Disampaikan oleh Abdurrahman bin Qasim dalam al-Majmuah
dan di dalam al-Mirqat dari Ibnu Qasim dari Malik bahwa adzan di zaman beliau
dilakukan di atas menara. Dan di dalam al-Madkhal karya Abu Abdillah bin Hajj
disebutkan, “Sunnahnya di dalam adzan Jum’at jika imam telah naik ke atas
mimbar hendaknya muaddzin berada di atas menara. Demikian pula apa yang terjadi
di masa Rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar.”
Tabarruk dengan Tongkat Nabi saw.
Dan
di dalam Jam’ul Jawami’ dengan menisbatkan kepada Baihaqi dan Ibnu Asakir dari
Muhammad bin Sirin dari Anas bin Malik: bahwa sesungguhnya dia (Anas) dahulu
mempunyai tongkat kecil milik Rasulullah saw. Saat meninggal, tongkat kecil itu
dikebumikan bersamanya di antara dua sisinya dan gamisnya.” Lihat hal. 10 juz 7
dari kitab Kanzul Ummal.
Berbagai Hikmah dan Faedah Pembelahan
Dada Rasulullah saw.
1. Al-Allamah Ibnul Munayyir berkata,
“Dibelahnya dada Nabi saw. dan kesabaran beliau menghadapi peristiwa itu,
serupa dengan ujian Allah kepada Nabi Isma’il dan kesabarannya, bahkan
dibelahnya dada Rasulullah saw. berat lagi, karena hal itu terjadi dengan
sebenarnya, di kala beliau masih kecil, sebagai yatim, dan jauh dari
keluarganya, sedang yang terjadi pada Nabi Ismail hanyalah drama (pementasan)
belaka.
2. Abul Hasan as-Subky dalam menjawab
pertanyaan tentang segumpal darah yang dikeluarkan oleh malaikat, dari jantung
hati Nabi di saat dadanya dibelah, dan tentang ucapan malaikat bahwa apa yang
dikeluarkan itu, adalah segi kelemahan yang dapat ditembus oleh pengaruh setan,
berkata: bahwa segumpal darah yang ada dalam jantung hati tiap manusia dapat
dimanfaatkan oleh setan, maka dengan dibersihkannya hati Rasulullah saw.
daripadanya, tidak ada lagi jalan bagi setan untuk mempengaruhinya.
Demikianlah arti hadits itu. Dan apa yang
disingkirkan dari hati Nabi saw. memang merupakan bahagian yang pasti ada dalam
susunan tubuh manusia, yang kemudian dihilangkan daripadanya. Tatkala ia
ditanya lagi, apa sebab Allah menjadikan benda itu dalam pribadi Rasulullah
yang mulia, sedang Allah berkuasa menjadikannya tanpa benda tersebut? Ia
menjawab: bahwa itu merupakan unsur pokok dalam tubuh tiap manusia, maka dalam
rangka kesempurnaan dalam tubuh beliau, Tuhan tidak mengurangi sedikitpun apa
yang lazim dalam tubuh itu, kemudian Allah menghendaki dengan kodratnya, agar
bahagian itu dihilangkan, demi kehormatan kepadanya semata-mata.
Seorang ulama lain berkata: kalau sekiranya
Allah menjadikan susunan tubuh Nabi saw. dalam keadaan seperti yang ditanyakan
itu tentu tidak seorang pun akan mengetahui hakikat beliau yang sebenarnya,
Allah melalui Malaikat Jibril, hendak memperlihatkan kekuasaannya, untuk
membuktikan kesempurnaan batiniyah Nabi, seperti yang tampak oleh mereka
kesempurnaan lahiriyahnya.
3. Syeikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah
berkata: Hikmah dibelahnya dada Nabi saw. padahal Allah berkuasa memenuhi hati
beliau dengan kekuatan iman, tanpa membelah dadanya, ialah untuk meningkatkan
keyakinan, karena beliau menyaksikan pembelahan dada itu dengan mata kepalanya
dan tidak dirasakan sakit olehnya, menyebabkan hati beliau makin tenteram dan
tenang menghadapi apapun juga, dan sebab itu juga Allah berfirman,
مَا
زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى
Penglihatannya
tidak berpaling dari yang dilihatnya, dan tidak pula melampauinya. (Q.S. an-Najm:
17)
4.
Tentang hikmah berulang kalinya pembelahan dada beliau, maka Ibnu Hajar telah
mengutip kisah pembedahan dada Nabi saw.. yang pertama, kedua, dan yang ketiga
berkata: bahwa masing-masing peristiwa itu, mengandung hikmah yang besar, yang
pertama pembedahan dada itu terjadi di masa kecilnya, agar sempurna segala hal
ihwalnya, dan terlindung dari gangguan setan yang terkutuk, dan yang kedua
terjadi menjelang kebangkitannya sebagai rasul, untuk menambah kehormatan
baginya dalam rangka tugas sucinya, karena akan menerima apa yang akan
diturunkan kepadanya, membutuhkan keteguhan hati dan kondisi yang sangat bersih
dan suci, kemudian yang ketiga ketika akan pergi pada malam Isra’ dan Mi’raj
menuju langit, sebagai persiapan menghadap dan bermunajat dengan Tuhan Sang
Maha Pencipta.
Al-Hafidz asy-Syamiy berkata: Hikmah
dibelahnya dada Nabi saw. yang kedua dapat pula dikatakan, bahwa hal itu
terjadi pada usia menjelang kedewasaan, maka dibelahnya dada beliau pada waktu
itu, dan disucikan hatinya, agar tidak mengalami apa yang biasanya dialami
manusia yang sedang dalam masa peralihan itu.
Ibnu Hajar
berkata lagi: bahwa kemungkinan dicucinya hati Nabi saw. sampai berulang kali,
agar makin tambah meningkat kebersihannya, dan berlangsungnya hingga tiga kali
sebagai contoh yang ada pada sebahagian ajaran syari’atnya.
Sedang Ibnu Abi Jamrah berpendapat, bahwa
dicucinya hati Rasulullah saw. padahal ia suci bersih, tempat mengalirnya
segala kebaikan, di samping gumpalan darah yang dikeluarkan dari dadanya di
waktu kecilnya, semua itu adalah sebagai persiapan, bagi apa yang diterimannya,
dan dialami, pada malam Isra’ dan Mi’raj di alam yang tinggi, dan hikmah serupa
itu misalnya dapat kita jumpai pada baiknya seorang berwudlu lagi untuk
bersembahyang, bagi yang sudah mempunyai wudlu, karena cara yang demikian,
sebagai penghormatan dan persiapan untuk bermunajat dan tegak berdiri di
hadapan Allah, maka karena itu disunnatkan walaupun wudlu yang pertama sudah
cukup sempurna sedang yang lain sebagai penghormatan semata-mata. Kiranya
demikian pula dicuci-bersihkannya hati Rasulullah saw.
Dalam pada itu, Allah berfirman,
وَمَنْ
يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
Barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar
Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. (Q.S. al-Hajj: 32)
Dalam rangka itu pulalah, dibersihkannya
dan disucikan hati Rasulullah, sebagai suatu isyarat untuk ummatnya agar
melakukan segala apa yang sifatnya mengagungkan syi’ar Allah.
Al-Burhan
an-Nu’mani berkata: dimustahabkan mandi bagi siapa yang akan memasuki al-haram
yang mulia itu, apa pula bagi yang akan memasuki alam yang tinggi, menghadap
hadirat Ilahi Rabbi Yang Maha Suci, kalau memasuki al-haram yang ada di alam
bendawi itu baik sekali bila seorang membersihkan fisiknya, maka bagi yang akan
menghadap hadirat Yang Maha Agung di alam malakut, sewajarnya dengan kebersihan
dan kesucian batin dan hati nurani.
Beliau saw.
dipanggil menghadap pada malam Mi’raj untuk menerima kewajiban shalat, dan
untuk memohon ampunan bersama para malaikat di langit, sedang sembahyang itu,
adalah bersuci, maka beliau saw. telah disucikan lahiriyah dan batiniyah.
Dan kalau seandainya masih ada yang
berkata, bahwa bukankah Nabi saw. itu dijadikan oleh Allah dari cahaya, yang
berpindah tempat dari seorang nabi yang satu, kepada nabi yang lain, maka dalam
kebersihan cahaya itu, masih perlukah dibersihkan lagi secara fisik? Itupun
bukan sekali saja, tapi terjadi sampai tiga kali, padahal beliau suci dari
segala noda yang ada pada manusia biasa? Maka ketahuilah bahwa pembedahan dada
Nabi yang pertama, kedua, dan ketiga itu, dalam rangka ilmul yaqin, ainul
yaqin, dan haqqul yaqin.
5. As-Suhaily berkata: tempat dari emas, di
mana jantung hati Nabi saw. dicuci, seperti tersebut dalam beberapa riwayat
pada peristiwa itu, karena emas itu yang dalam bahasa Arab ‘dzahab’, sesuai
dengan apa yang tersirat, maka kalimat itu mengisyaratkan dan memberi petunjuk
akan kalimat ‘dzahab’ yang berarti menghilangkan, seolah-olah Allah menghendaki
hilangnya segala noda dan kotoran, dan mensucikan beliau sesuci-sucinya, dalam
pada itu emas adalah logam mulia yang paling bersih zat dan unsurnya,
dibandingkan dengan logam-logam dan benda-benda yang lain.
6. Hati beliau dicuci dengan air zamzam
karena ia adalah air yang paling utama. Demikian ditegaskan oleh al-Bulqini.
Ibnu Abi Jamrah berkata: dalam mencuci, bukan air dari surga yang dipakai,
karena air zamzam itu berasal dari sana, maka dikehendaki agar barakah Nabi
yang mulia itu, tetap langgeng berada di bumi ini, dan ada pendapat lain yang
mengatakan, bahwa air zamzam yang mulanya ditemukan pada zaman Nabi Ismail di
samping air zamzam itu sudah mendarah mendaging pada tubuh Nabi saw. maka ialah
sebagai pemilik zamzam dan negeri yang diberkati oleh Tuhan (Makkah), dan
wajarlah bila Nabi saw. sebagai keturunan langsung dari Ismail mewarisinya, dan
itulah pula sebagai isyarat bahwa kekuasaan akan pindah ke tangannya, maka
sesudah Fathu Makkah dibukanya dan dikuasainya kembali kota Makkah, beliau menyerahkan tugas siqayah
(menyediakan air), untuk jamaah haji, kepada pamannya, al-Abbas, dan sebagai
juru kunci Ka’bah kepada Utsman bin Abi Syaibah.
7. Hikmah dicucinya dada beliau dengan air
es dan salju maka di samping keduanya sebagai penawar lagi sangat bersih, tidak
tersentuh oleh kekotoran tanah, melambangkan kecerahan masa depan Nabi dan
ummatnya, serta syari’at yang dibawanya masa depan baginya akan lebih cerah,
kemenangan demi kemenangan yang akan diraihnya itu, akan menunjukkan batin dan
menenangkan hatinya, ditambah akan ampunah Allah kepada umatnya.
Ibnu Dihyah berkata: dada beliau dicuci
dengan air es, karena rasa keyakinan yang sangat menyejukkan hatinya, dan ini
sejalan dengan do’a beliau pada tiap takbiratul ihram dalam sembahyang: “Ya
Allah, cuci bersihkanlah segala dosaku, dengan air salju dan es.” Allah
menghendaki agar beliau dicuci dengan air yang berasal dari surga dalam mangkuk
(bokor) yang terbuat dari emas, penuh hikmah dan keimanan, agar hati itu
merasakan kelezatannya, lebih tekun mengajak manusia untuk masuk dalam surga
itu, agar memperoleh segala nikmatnya, demikian juga musuh-musuh yang selalu
mencela dan mencacinya, maka Allah menghendaki agar ia terhindar dari sifat
manusiawi, seperti sempit dada dalam menghadapi kecaman dan tantangan
lawan-lawannya, dan supaya hati itu tetap tabah sebagaimana firman Allah,
وَلَقَدْ
نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَ
Dan Kami sungguh mengetahui, bahwa dadamu
menjadi sempit, disebabkan apa yang mereka ucapkan. (Q.S. al-Hijr: 97)
Maka hati itu dicuci bukan hanya sekali.
Tatkala pada perang Uhud, terkena pukulan hingga luka di bahagian kepalanya,
dan retak giginya, beliau hanya berdoa, “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena
mereka tidak mengetahui.”
8. Dalam menafsirkan kalimat hikmah, ada
perbedaan pendapat. Sebahagian ulama mengatakan, bahwa hikmah artinya ilmu yang
mengandung petunjuk makrifatullah beserta lestarinya bashirah (mata hati),
terdidiknya jiwa, dan tampak jelasnya kebenaran agar bisa melakukannya, dan
menahan diri dari lawan kebenaran itu. Orang yang berhikmah adalah meraih itu
semua.
An-Nawawi berkata, “Demikian sekian banyak
pendapat yang jernih bagi kita.”
Hikmah kadangkala diucapkan sebagai suatu
istilah lain bagi al-Qur’an, dan memang al-Qur’an mencakup semua itu. Juga
(istilah lain) bagi kenabian begitu pula. Kadang juga dipakai istilah bagi ilmu
semata, dan bagi makrifat belaka. Dan lain sebagainya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Makna paling
tepat mengenai hikmah adalah bahwa ia adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya
atau pemahaman terhadap Kitab Allah ta’ala. Dalam penafsiran kedua, hikmah bisa
didapati tanpa iman, dan kadang tidak bisa didapati. Sedang dalam penafsiran
pertama, kedua saling melengkapi, karena iman bisa ditunjukkan oleh hikmah.
Pidato Umar bin Khatthab Tatkala
Mendengar Berita Wafatnya Nabi saw.
Konon
diceritakan bahwa Umar bin Khatthab ra. terdengar menangis setelah meninggalnya
Rasulullah saw. seraya berkata,
“Demi
ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Dulu engkau khutbah untuk segenap
manusia di atas batang pohon kurma. Ketika manusia makin banyak, engkau membuat
mimbar, agar engkau bisa memperdengarkan khutbah pada mereka. Lalu merataplah
batang pohon kurma itu karena berpisah dengan engkau sehingga engkau meletakkan
tangan engkau padanya, maka jadilah dia tenteram.Maka umat engkau lebih utama
untuk meratap pada engkau karena perpisahan mereka dengan engkau.
Demi
ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Keutamaan engkau di sisi-Nya telah
mencapai puncak dengan dijadikannya ketaatan pada engkau sebagai ketaatan
pada-Nya. Allah azza wa jalla berfirman,
مَنْ
يُطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ
Barangsiapa mentaati Rasul, sungguh ia
telah mentaati Allah. (Q.S. an-Nisa’: 80)
Demi
ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Keutamaan engkau di sisi-Nya telah
mencapai puncak ketika Dia memberikan kabar permaafan kepada engkau sebelum Dia
memberikan kabar engkau melakukan dosa. Allah berfirman,
عَفَا
اللهُ عَنْكَ لِمَ أَذِنْتَ لَهُمْ
Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu
memberi izin kepada mereka. (Q.S. at-Taubah: 43)
Demi
ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Keutamaan engkau di sisi-Nya telah
mencapai puncak tatkala Dia mengutusmu sebagai akhir nabi-nabi dan Dia
menyebutmu paling awal di antara mereka. Allah azza wa jalla berfirman,
وَإِذْ
أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوْحٍ وَإِبْرَاهِيْمَ
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil
perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh dan Ibrahim. (Q.S.
al-Ahzaab: 7)
Demi
ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Keutamaan engkau di sisi-Nya telah
mencapai puncak bahwa para penghuni neraka mendamba agar mereka sama taat dan
patuh kepaamu, sedang mereka tengah di siksa dalam lapisan-lapisan neraka. Kata
mereka,
يَا
لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُوْلاَ
“Alangkah
baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepaad Rasul.” (Q.S.
al-Ahzaab: 66)
Demi
ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Jikalau Musa bin Imran diberikan oleh
Allah batu yang darinya memancarlah sumber-sumber air, maka adakah yang lebih
menakjubkan daripada jari-jari engkau yang air bisa menyembur darinya?!
Demi
ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Jikalau Sulaiman bin Dawud diberikan
oleh Allah angin yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanannya
sebulan, dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanannya sebulan
pula, maka adakah yang lebih menakjubkan daripada buraq yang engkau berjalan di
atasnya naik ke langit tujuh, kemudian engkau shalat shubuh di Abtah (Makkah)
pada malam itu juga?!
Demi
ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Jikalau Isa bin Maryam dikaruniai oleh
Allah dapat menghidupkan orang mati, maka adakah yang lebih mengagumkan
daripada kambing yang diracun saat ia berbicara denganmu, sedang ia telah
dipanggang?! Paha kambing itu berujar kepadamu, “Jangan engkau makan aku,
karena sesungguhnya ada racunnya.”
Demi
ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Sungguh Nabi Nuh telah berdoa buruk
untuk kaumnya. Ia katakan,
رَبِّ
لاَ تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِيْنَ دَيَّارًا
Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan
seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. (Q.S. Nuh:
26)
Jikalau engkau berdoa buruk kepada kami
seperti doa Nuh itu, niscaya hancurlah kami semua. Sungguh punggung engkau
telah diinjak-injak, muka engkau berdarah, dan gigi engkau remuk, lalu engkau
enggan berdoa kecuali yang baik. Engkau katakana, “Ya Allah berilah ampun
kaumku karena sesungguhnya mereka tidak tahu.”
Demi
ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Pada masa dan usia engkau yang sedikit
dan pendek, engkau mendapatkan pengikut yang tidak didapati oleh Nuh pada masa
dan usianya yang panjang. Banyak orang beriman kepada engkau, dan tidaklah
beriman kepada Nuh melainkan sedikit.
Demi
ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Jikalau engkau tidak bersanding
kecuali dengan kalangan yang selevel dengan engkau niscaya engkau tidak akan
bersanding dengan kami. Seandainya engkau tidak menikah kecuali yang sepadan
dengan engkau niscaya engkau tidak menikah pada kami. Seandainya engkau tidak makan
bersama kecuali yang selevel dengan engkau niscaya engkau tidak akan mau makan bersama
dengan kami. Demi Allah, engkau mau duduk bersanding dengan kami, mau menikahi
pada kami, dan mau makan bersama dengan kami. Engkau pakai kain wol. Engkau
naik himar. Dan engkau membonceng (orang) di belakang himar itu. Engkau menaruh makanan engkau di atas bumi. Engkau
jilati jari-jari engkau karena ketawadluan engkau. Semoga Allah senantiasa
melimpahkan shalawat dan salam kepada engkau.”
Aku berkata,
“Pidato ini disebutkan oleh Imam Ghazali dan Ibnul Haj dalam al-Madkhal, dan
masing-masing dari mereka tidak menisbatkan pidato itu pada siapa pun.”