Mengharap Melihat Nabi Shollallohu alaihi wasallam

    Author: Unknown Genre: »
    Rating




    Dalam kasidah Hamziyah (karya an-Nabhani) disebutkan,

    Seandainya aku diberi kekhususan dapat melihat muka beliau. Hilanglah segala kepenatan dari setiap orang yang melihat beliau.

                Orang-orang yang tidak mengerti lalu mengkritiknya. Aku lalu berkata, “Ini adalah ucapan yang dikuatkan oleh hadits marfu’ yang shahih lagi muttashil (bersambung sanadnya) dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Nabi saw. bersabda, “Akan datang suatu zaman pada salah seorang dari kalian jikalau dia dapat melihatku maka itu lebih disukainya daripada dia memiliki keluarga dan kekayaannya.”  (H.R. Bukhari dalam kitab Manaqib bab Alamat-alamat kenabian. Salinan Fathul Bari jilid 6 hal. 604)

    Puas dengan Sedikit Harta di Jalan Ketetanggaan

                Aku mendapati tulisan ayahku pada sebagian kertas-kertasnya,
    لَقَرْصُ شَعِيْرٍ تَافَهٍ غَيْر صَالِحٍ = بِغَيْرِ إِدَامٍ وَالَّذِي يَعْلَمُ النَّجْوَى
    مَعَ الْفَقِيْرِ فِى دَارِ الْحَبِيْبِ مُحَمَّدٍ = أَلَذُّ عَلَى قَلْبِي مِنَ الْمَنّ وَالسَّلْوَى
    عَلَى أَنَّنِي فِيْهَا عَلَى كُلِّ حَالَةٍ = بِتَيْسِيْرِ مَوْلاَنَا الْكَرِيْمِ كَمَا أَهْوَى
    Sebutir gandum yang tak berarti (remeh) nan tak layak, tanpa lauk, dan orang yang mengetahui rahasia,
    diikuti kefakiran di negeri Sang Kekasih, Muhammad, itu lebih nikmat bagi jiwaku daripada Manna dan Salwa,   
    sementara aku di dalamnya dalam setiap keadaan selalu mendapatkan kemudahan dari Tuhan kami Yang Maha Murah Tangan sebagaimana aku inginkan.

    Gairah Imam al-Bushiri


    Imam al-Bushiri berkata tentang hadirat kenabian, pujian, dan antusiasmenya (gairahnya) pada hadirat kenabian itu,

    Sesungguhnya aku mempunyai antusiasme. Para pujangga telah menyaingiku di dalam menggambarkan puji-pujian kepada engkau.

    An-Nabhani berkata menjelaskan bahwa posisinya tidaklah menunjukkan antusiasme. Dalam Hamziyahnya yang terkenal yang tersebut di dalam himpunan 38411 dia menyatakan:

    Para pemuji engkau tidak bersaing antara sebagian dengan sebagian yang lain. Engkau samudera sedang para pemuji adalah timba.

    Antara an-Nabhani dan Ibnu Ubaidillah

                Ayah –rahimahullah- menceritakan pada kami bahwa an-Nabhani menggubah tentang dua sandal mulia,
    عَلى رَأْسِ هذَا الْكَوْنِ نَعْلُ مُحَمَّدٍ = سَمَتْ فَجَمِيْعُ الْخَلْقِ تَحْتَ ظِلاَلِهِ
    لَدَى الْعَرْشِ مُوْسَى نُوْدِيَ اخْلَعْ وَأَحْمَدُ = إِلَى الْعَرْشِ لَمْ يُؤْمَرْ بِخَلْعِ نِعَالِهِ
    Di muka bumi ini ada sandalnya Muhammad. Sandal yang mengungguli. Seluruh makhluk berada di bawah naungan sandal itu.
    Di sisi arasy, Musa diseru, “Lepaslah (kedua sandalmu),” sedang Ahmad hingga sampai pada arasy tidak dititahkan untuk melepas sandalnya.

    Ketika ini didengar oleh Sayyid Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf, mufti Hadramaut ini tidak terkejut (heran) dengan itu. Ia merespon dengan gubahannya,
    يَقُوْلُوْنَ: إِنَّ الْمُصْطَفَى لَيْلَةَ السُّرَى = إِلَى الْعَرْشِ لَمْ يُؤْمَرْ بِخَلْعِ نِعَالِهِ
    وَهذَا مُحَالٌ عِنْدَنَا فِى مَقَامِ مَنْ = تَوَاضُعُهُ لِلّهِ أَسْنَى خِلاَلِهِ
    Mereka berkata, “Sesungguhnya al-Mushthafa (Nabi Terpilih) pada mlam diperjalankan menuju Arasy tidak diperintahkan melepas sandalnya.”
    Dan ini adalah hal yang tidak mungkin menurut kami bagi posisi orang yang tawadlu’nya kepada Allah merupakan perilakunya yang tertinggi.

                Katanya, “Akan tetapi Assegaf saat tidur bermimpi melihat Nabi saw., dan beliau memberi isyarat pada bab melakukan shalat dengan memakai sandal. Ketika bangun, dia beristimbath darinya bahwa orang shalat itu tengah munajat kepada Tuhannya, dan itu didiperkenankan dalam keadaan dia memakai sandalnya, maka tidak ada halangan bahwa Nabi saw. pada saat bermunajat beliau memakai sandalnya, karena kondisinya sama.”

    Engkaulah Pintu Allah

    Ada kasidah karya Quthub besar, Sayyidina Muhammad bin Abul Hasan al-Bakri al-Mishri. Kasidah ini mujarab untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Ia dibaca pada akhir malam setelah shalat yang dilakukannya, seraya mengulang-ulang bait, “Segerakanlah menghilangkan apa yang aku keluhkan,” 73 kali.
    مَا أَرْسَلَ الرَّحْمنُ أَوْ يُرْسِلُ = مِنْ رَحْمَةٍ تَصْعدُ أَوْ تَنْزِلُ
    فِى مَلَكُوْتِ اللهِ أَوْ مُلْكِهِ = مِنْ كُلِّ مَا يخْتَصُّ أَوْ يشملُ
    إِلاَّ وَطهَ الْمُصْطَفَى عَبْدُهُ = نَبِيُّهُ مُخْتَارُهُ الْمُرْسَلُ
    وَاسِطَةٌ فِيْهَا وَأَصْلٌ لَهَا = يَعْلَمُ هذَا كُلُّ مَنْ يَعْقِلُ
    فَلَذَّ بِهِ فِى كُلِّ مَا تَرْتَجِى = فَإِنَّهُ الْمَأْمَنُ وَالْمَعْقِلُ
    وَحَطّ أَحْمَالَ الرَّجَا عِنْدَهُ = فَإِنَّهُ الْمَرْجِعُ وَالْمَوْئِلُ
    وَنَادَاهُ إِنَّ أَزْمَةً أَنْشَبَتْ = أَظْفَارُهَا وَاسْتَحْكَمَ الْمُعْضَلُ
    يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ عَلَى رَبِّهِ = وَخَيْرَ مَنْ فِيْهِمْ بِهِ يُسْأَلُ
    قَدْ مَسَّنِي الْكَرْبُ وَكَمْ مَرَّةٍ = فَرَّجْتَ كَرْبًا بَعْضُهُ يُذْهِلُ
    فَبِالَّذِي خَصَّكَ بَيْنَ الْوَرَى = بِرُتْبَةٍ عَنْهَا الْعُلاَ تَنْزِلُ
    عَجِّلْ بِإِذْهَابِ الَّذِي أَشْتَكِى = فَإِنْ تَوَقَّفْتَ فَمَنْ ذَا أَسْأَلُ؟
    فَحِيْلَتِي ضَاقَتْ وَصَبْرِي انْقَضَى = وَلَسْتُ أَدْرِى مَا الَّذِي أَفْعَلُ؟
    وَلَنْ تَرَى أَعْجَزَ مِنِّي فَمَا = لِشِدَّةٍ أَقْوَى وَلاَ أَحْمِلُ
    فَأَنْتَ بَابُ اللهِ أَيُّ امْرِىءٍ = أَتَاهُ مِنْ غَيْرِكَ لاَ يَدْخُلُ
    عَلَيْكَ صَلَّى اللهُ مَا صَافَحَتْ = زَهْرَ الرَّوَابِي نَسَمَةُ شَمْأَلُ
    مُسْلِمَا مَا فَاحَ عَطَرُ الْحِمَى = وَطَابَ مِنْهُ النَّدُّ وَالْمَنْدَلُ
    وَالْآلِ وَالْأَصْحَابِ مَا غَرَدَتْ = سَاجِعَةٌ أُمْلُوْدُهَا مُخْضَلُ
    Dzat Yang Maha Pengasih tidak mengirim atau akan mengirim suatu rahmat yang naik atau turun,
    di singgasana atau kerajaan Allah, baik nikmat yang khusus maupun nikmat yang umum, melainkan sosok Thaha nan terpilih, hamba dan Nabi-Nya, Rasul pilihan-Nya, merupakan wasitah (perantara) dan pangkal di dalam nikmat-nikmat itu. Setiap orang yang berfikir tentu mengetahui hal ini.
    Maka, carilah perlindungan dengan perantaranya di setiap hal apa yang kamu harapkan, karena sesungguhnya dia tempat keamanan dan tempat berlindung.
    Turunkanlah beban-beban harapan padanya, karena sesungguhnya dia tempat rujukan dan tempat perlindungan.
    Dan serulah padanya bahwa krisis telah mencakarkan kuku-kukunya dan telah kokoh otot-ototnya.
    Wahai sebaik-baik makhluk bagi Tuhannya dan sebaik-baik orang yang dimintai dengannya di kalangan makhluk-Nya.
    Sungguh aku telah ditimpa kesusahan, dan berapa kali engkau melapangkan kesusahan yang sebagiannya membuat kusut (kacau) pikiran.
    Demi Dzat yang telah memberi engkau martabat yang spesial di antara makhluk dimana seluruh derajat turun dari martabat itu.
    Segerakanlah menghilangkan apa yang aku keluhkan. Jika enggan, maka siapakah yang aku mintai?!
    Daya upayaku telah buntu. Kesabaranku habis. Dan aku tidak tahu lagi apa yang mesti akan aku lakukan?!
    Engkau tidak akan melihat orang yang lebih lemah dariku. Aku tidak kuat dan tidak mampu menahan beban kesulitan.
    Maka engkaulah pintu Allah. Setiap orang yang mendatangi pintu selainmu, dia tidak akan bisa masuk.
    Kepada engkau Allah bershalawat selama orang Syam’al menjabat orang Zahrar Rawabi,
    seraya mengucapkan salam. Selama bau minyak ‘al-hima’ semerbak harumnya dan kayu gaharu menjadi harum darinya.
    Dan kepada keluarga dan para sahabat, selama ada wanita penyajak bersiul yang kehalusan/kelunakannya amat menyenangkan.

    Mencium Tangan Karena Penghormatan

                Yang mulia, Syeikh Muhammad Nur Saif dalam masalah mencium tangan berkata menggubah,

    Dan duta Abdul Qais saat tiba, mereka sama menciumi kedua tangan dan kedua kaki beliau.
    Demikian pula dua orang Yahudi, tatkala tiba, keduanya menciumi kedua tangan dan kedua kaki beliau, seraya menyatakan masuk Islam.
    Semoga Tuhan kami selalu melimpahkan shalat dan salam padanya, dan pada keluarga, sahabat, dan orang-orang yang bernisbat padanya.
    Hal itu senantiasa menjadi praktek generasi salaf. Segolongan besar generasi khalaf (belakangan) telah meriwayatkannya dari mereka.
    Tidak ada atsar yang menerangkan bahwa hal itu adalah khususiyah (bersifat khusus). Maka orang yang menganggap-anggap itu sebagai khususiyah sekarang ini mulutnya perlu ditutup batu.
    Anak saudara bibiku telah menadzamkannya bagi orang yang ingin mengetahui riwayat-riwayat yang ada dalam kitab-kitab Sunan (kompilasi hadits induk).

    Keutamaan Makam Mulia atas Alam Semesta

    جَزَمَ الْجَمِيْعُ بِأَنَّ خَيْرَ الْأَرْضِ مَا = قَدْ حَاطَ ذَاتَ الْمُصْطَفَى وَحَوَاهَا
    وَنَعَمْ لَقَدْ صَدَقُوا بِسَاكِنِهَا عَلَتْ = كَالنَّفْسِ حِيْنَ زَكَتْ زَكَى مَأْوَاهَا
    “Seluruhnya menetapkan bahwa sebaik-baik bumi adalah bumi yang memuat dan menggenggam zat Nabi Terpilih.
    Iya, mereka benar. Disebabkan penghuninyalah bumi itu menjadi unggul, sebagaimana jiwa jika bersih, maka bersih pulalah tempat domisilinya.”

                Qadli Iyadh rahimahullah dalam Syarah Muslim menukil konsensus para ulama (ijma’) bahwa tempat dikebumikannya Nabi merupakan tanah bumi yang paling afdol meski dibanding Ka’bah.

    Bergembira dengan Maulid Nabi

    Dalam shahih Bukhari diterangkan Abu Lahab diberikan keringanan siksa setiap hari Senin disebabkan dia memerdekakan Tsuwaibah kala budak perempuannya itu memberikan berita gembira atas kelahiran al-Musthafa saw. (Lihat Bukhari kitab nikah bab ibu-ibu yang menyusuimu, dan haramnya jalinan susuan seperti haramnya jalinan nasab).
    Aku katakan, “Dan mengenai hal ini, al-Hafidz Syamsuddin bin Nashir ad-Dimasyqi menggubah,
    إِذَا كَانَ هذَا كَافِرًا جَاءَ ذَمُّهُ                                                                                                                               

    بِتَبَّتْ يَدَاهُ فِى الْجَحِيْمِ مُخَلَّدَا                                                                                 
    أَتَى أَنَّهُ فِى يَوْمِ الْإِثْنَيْنِ دَائِمَا                                                                                            

    يُخَفَّفُ عَنْهُ لِلسُّرُوْرِ بِأَحْمَدَا                                                                                                       
    فَمَا الظَّنُّ بِالْعَبْدِ الَّذِى كَانَ عُمْرُهُ                                       

    بِأَحْمَدَ مَسْرُوْرًا وَمَاتَ مُوَحِّدَا                                                                                              
    Jikalau ini adalah orang kafir yang telah dicela dengan ‘celakalah kedua tangannya’. Dia kekal di neraka jahim.
    Diterangkan bahwa pada setiap hari Senin dia diperingan siksanya karena gembira terhadap (kelahiran) Ahmad.
    Maka apakah persangkaanmu terhadap hamba yang sepanjang umur selalu bergembira terhadap Ahmad dan meninggal dalam keadaan bertauhid?!

    Ratapan Duka Cita

                Shafiyah binti Abdul Mutthalib meratapi Rasulullah saw.,
    أَلاَ يا رَسُوْلَ اللهِ كُنْتَ رَجَاءُنا = وَكُنْتَ بِنَا بَرًّا وَلَمْ تَكُ جِافِيَا
    وَكُنْتَ رَحِيْمًا هَادِيًا وَمُعْلِمًا = لَيَبْكِ عَلَيْكَ الْيَوْمَ مَنْ كَانَ بَاكِيَا
    صَدَقْتَ وَبَلَّغْتَ الرِّسَالَةَ صَادِقًا = وَمُتَّ صَلِيْبَ الْعُوْدِ أَبْلَجَ صَافِيَا
    فدًى لِرَسُوْلِ اللهِ أُمِّيْ وَخَالَتِيْ = وَعَمِّي وَخَالِي وَنَفْسِي وَمَالِيَا
    لَعَمْرُكَ مَا أَبْكِي النَّبِيَّ لِفَقْدِهِ = وَلكِنْ لِمَا أَخْشَى مِنَ الْهَرْجِ أَتَيَا
    كَأَنَّ عَلَى قَلْبِي لَذِكْرُ مُحَمَّدٍ = وَمَا خِفْتُ مِنْ بَعْدِ النَّبِيِّ مَطَاوِيَا
    فَلَوْ أَنَّ رَبَّ النَّاسِ أَبْقَى نَبِيَّنَا = سَعِدْنَا وَلكِنْ أَمْرُهُ كَانَ مَاضِيَا
    عَلَيْكَ مِنَ اللهِ السَّلاَمُ تَحِيَّةً = وَأُدْخِلْتَ جَنَّاتٍ مِنَ الْعَدْنِ رَاضِيَا
    أُفَاطِمُ صَلَّى اللهُ رَبُّ مُحَمَّدٍ = عَلَى جَدَثٍ أَمْسَى بِطَيْبَةَ ثَاوِيَا
    Ya Rasulullah, engkau harapan kami. Engkau banyak berbuat kebajikan pada kami. Engkau bukan orang yang kaku.
    Engkau penyayang, penunjuk, dan pendidik. Pada hari ini menangislah kepada engkau orang yang mau menangis.
    Engkau berlaku benar. Engkau telah menyampaikan risalah secara jujur. Engkau meninggal dalam keadaan harum nan wajah putih berseri-seri.
    Ibuku, bibiku, pamanku, diriku, dan hartaku menjadi tebusan bagi Rasulullah.
    Sungguh, aku tidak menangisi Baginda Nabi karena wafatnya, namun karena kekhawatiranku akan datangnya gonjang-ganjing.
    Hatiku seakan-akan selalu mengingat Muhammad. Apa yang aku khawatirkan sepeninggal Nabi adalah lipatan-lipatan kebengkokan.
    Seandainya Rabb manusia mengekalkan Nabi kita, niscaya bahagialah kita, akan tetapi titah-Nya akan terus berjalan.
    Salam penghormatan dari Allah semoga selalu terlimpah kepada engkau. Engkau akan dimasukkan surga-surga Adn dalam keadaan puasa (ridla).
    Sudah saatnya aku sudahi. Allah, Rabb Muhammad, semoga senantiasa bershalawat terhadap makam yang akan selalu tinggal (bertempat) di Thaibah.

    Ini gubahan Shafiyah binti Abdul Mutthalib atau (gubahan) Arwa. (Istiab – Thabaqat).

    Pemilik Arasy itu Terpuji dan Ini Terpuji Pula

                Hassan bin Tsabit dalam antologinya menggubah,
    أَغَرُّ عَلَيْهِ لِلنُّبُوَّةِ خَاتَمٌ

    مِنَ اللهِ مَشْهُوْدٌ يَلُوْحُ وَيَشْهَدُ
    وَضَمَّ الْإلهُ اسْمَ النَّبِى إِلَى اسْمِهِ                                       

    إِذَا مَا قَالَ فِىالْخَمْسِ الْمُؤَذِّنُ أَشْهَدُ                                            
    وَشَقَّ لَهُ مِنِ اسْمِهِ لِيُجِلَّهُ                                                                                                                             

    فَذُو الْعَرْشِ مَحْمُوْدُ وَهذَا مُحَمَّدُ                                            
    نَبِيٌّ أَتَانَا بَعْدَ يَأْسٍ وَفَتْرَةٍ                                                                                                                                                 

    مِنَ الرُّسْلِ وَالْأَوْثَانُ فِى الْأَرْضِ تُعْبَدُ
    فَأَمْسَى سِرَاجًا مُسْتَنِيْرًا وَهَادِيًا                                                                                         

    يَلُوْحُ كَمَا لاَحَ الصَّقِيْلُ الْمُهَنَّدُ                                                                
    وَأَنْذَرَنَا نَارًا ، وَبَشَّرَ جَنَّةً                                                                                                                                                 

    وَعَلَّمَنَا الْإِسْلاَمَ ، فَاللهَ نَحْمَدُ                                                                                                     
    Putih berseri. Dia memiliki stempel kenabian dari Allah yang disaksikan, yang berkilau dan menjadi saksi.
    Tuhan menggabungkan nama Nabi kepada nama-Nya, ketika muaddzin berkata di setiap shalat lima waktu, “Asyhadu (aku bersaksi”.
    Dia membelah nama-Nya untuknya dalam rangka mengagungkannya. Pemilik Arasy itu mahmud (terpuji) dan ini juga Muhammad (terpuji) pula.
    Seorang nabi yang datang pada kita pasca keputus-asaan dan kevakuman dari para rasul, sedang berhala-berhala disembah di bumi.
    Dia lalu menjadi pelita yang menerangi dan penunjuk yang berkilau seperti berkilaunya pedang yang terasah tajam.
    Dia memperingatkan akan neraka pada kami dan memberikan berita gembira berupa surga. Dia mengajari kami Islam. Maka kepada Allah-lah kami memuji.

    Nabi saw. Dialah Sandaran, Pelindung, dan Pegangan Kami

    Hassan bin Tsabit ra. juga menggubah,
    يَا رُكْنَ مُعْتَمدٍ وَعِصْمَةُ لاَئِذٍ = وَمَلاذُ مُنْتَجِعٍ وَجَارُ مُجَاوِرِ
    يَا مَنْ تَخَيَّرَهُ الْإِلهُ لِحَقِّهِ = فَحَيَّاهُ بِالْخُلُقِ الزَّكِيِّ الطَّاهِرِ
    أَنْتَ النَّبِيُّ وَخَيْرُ عِصْبَةِ آدَمَ = يَا مَنْ يَجُوْدُ كَفَيْضِ بَحْرٍ زَاخِرِ
    مِيْكَالُ مَعَكْ وَجِبْرَائِيْلُ كِلاَهُمَا = مَدَدٌ لِنَصْرِكَ مِنْ عَزِيْزٍ قَادِرِ
    Wahai sandaran orang yang bersandar, pegangan orang yang datang meminta bantuan, dan pelindung orang yang mencari perlindungan.
    Wahai orang yang dipilih oleh Allah sebagai hak-Nya, lalu Dia memuliakannya dengan budi pekerti yang bersin nan suci.
    Engkau Nabi dan sebaik-baik anak keturunan Adam. Wahai orang yang murah tangan laksana luapan samudera yang dalam.
    Mikail dan Jibril selalu menyertai engkau. Keduanya adalah bantuan untuk menolong engkau yang datang dari Dzat Yang Maha Mulia lagi Maha Berkuasa.
    (Al-Ishabah dan Raudlul Unuf – Ghazwah Badar).

    Bertasbihnya Makanan di Telapak Tangan Nabi saw.

    Dalam maulid al-Barzanji rahimahullah diterangkan bahwa makanan dan kerikil bertasbih di telapak tangan beliau. Aku mengkritisi atas orang yang membaca itu. Aku katakana kepadanya: Yang ideal mestinya dikatakan bahwa beliau mendengar bertasbihnya makanan dan kerikil di bagian dalam telapak tangan beliau. Adapun sekedar bertasbih, maka tidak memiliki nilai menurutku. Keagungan mukjizat dari Abdullah bin Mas’ud ra. menyatakan, “Kami dahulu mendengar bertasbihnya makanan, dan makanan itu mau dimakan.” (H.R. Bukhari dalam kitab Manaqib bab Alamat-alamat kenabian. Teks Fathul Bari).

    Tawassul

    Sungguh kami telah datang pada tempat perlindunganmu yang mulia, wahai Nabi yang mengungguli setiap nabi.
    Dan kami menghadap pada tempat perlindungan dengan hati yang retak. Kami tarik punggung kendaraan menuju kepadanya.
    Kami hentikan kendaraan di pintu kemuliaan. Kami lemparkan beban-beban di dalam kebaikan yang sempurna.

    Kemudian dia berkata,

    Wahai sandaran segenap makhluk, sebaik-baik manusia, dan harapan bagi setiap orang dekat dan orang jauh.
    Untukmu kami hadapkan wajahku, wahai sosok yang putih wajahnya. Maka semoga dihadapkanlah wajah orang yang mencintai kepadanya.
    Tidak mungkin aku akan menjadi susah usai aku datang di maqam yang luhur.
    Aku telah datangi tempat perlindungan dengan prasangka indah dan etika yang sesuai dengan jalan yang lurus.
    Bagaimana aku tidak sampai pada harapan, sedang engkau pintu bagi Allah pemilik pemberian yang sempurna?
    Apa jawabku bila aku pulang, sedang mereka sama berkata, “Apa yang kamu peroleh dari sisi Baginda Nabi?”
    Apakah engkau rela kepulanganku bertangan hampa laksana kedatanganku, wahai pemilik kebersihan?
    Sungguh aku bertawassul di sisi pintu engkau dengan ash-shiddiq (orang yang selalu benar) dan seorang sahabat yang bertakwa nan bersih,
    dan dengan teman berbaring engkau, yaitu al-Faaruuq, yang engkau puas terhadap hukumnya yang diridlai,
    dan dengan Utsman, empunya sifat malu, penyaksi negeri, sosok yang meraih segala sifat yang elok,
    dan dengan lebah jantan engkau, Imam Ali, sang pembobol pintu dalam perang Khaibar.
                Kasidah ini karya Imam al-Arif billah Syeikh Umar al-Yafi al-Khalwati (wafat 1233 H.)

    Dimanakah Mereka Adzan pada Masa Nabi saw.

                Para pakar riwayat berbeda pendapat, apakah mereka adzan di depan Nabi saw. ataukah di atas menara?
                Apa yang disampaikan oleh ulama-ulama pengikut madzhab Maliki menyatakan bahwa adzan di atas menara. Disampaikan oleh Abdurrahman bin Qasim dalam al-Majmuah dan di dalam al-Mirqat dari Ibnu Qasim dari Malik bahwa adzan di zaman beliau dilakukan di atas menara. Dan di dalam al-Madkhal karya Abu Abdillah bin Hajj disebutkan, “Sunnahnya di dalam adzan Jum’at jika imam telah naik ke atas mimbar hendaknya muaddzin berada di atas menara. Demikian pula apa yang terjadi di masa Rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar.”

    Tabarruk dengan Tongkat Nabi saw.

                Dan di dalam Jam’ul Jawami’ dengan menisbatkan kepada Baihaqi dan Ibnu Asakir dari Muhammad bin Sirin dari Anas bin Malik: bahwa sesungguhnya dia (Anas) dahulu mempunyai tongkat kecil milik Rasulullah saw. Saat meninggal, tongkat kecil itu dikebumikan bersamanya di antara dua sisinya dan gamisnya.” Lihat hal. 10 juz 7 dari kitab Kanzul Ummal.

    Berbagai Hikmah dan Faedah Pembelahan Dada Rasulullah saw.




    1. Al-Allamah Ibnul Munayyir berkata, “Dibelahnya dada Nabi saw. dan kesabaran beliau menghadapi peristiwa itu, serupa dengan ujian Allah kepada Nabi Isma’il dan kesabarannya, bahkan dibelahnya dada Rasulullah saw. berat lagi, karena hal itu terjadi dengan sebenarnya, di kala beliau masih kecil, sebagai yatim, dan jauh dari keluarganya, sedang yang terjadi pada Nabi Ismail hanyalah drama (pementasan) belaka.

    2. Abul Hasan as-Subky dalam menjawab pertanyaan tentang segumpal darah yang dikeluarkan oleh malaikat, dari jantung hati Nabi di saat dadanya dibelah, dan tentang ucapan malaikat bahwa apa yang dikeluarkan itu, adalah segi kelemahan yang dapat ditembus oleh pengaruh setan, berkata: bahwa segumpal darah yang ada dalam jantung hati tiap manusia dapat dimanfaatkan oleh setan, maka dengan dibersihkannya hati Rasulullah saw. daripadanya, tidak ada lagi jalan bagi setan untuk mempengaruhinya.

    Demikianlah arti hadits itu. Dan apa yang disingkirkan dari hati Nabi saw. memang merupakan bahagian yang pasti ada dalam susunan tubuh manusia, yang kemudian dihilangkan daripadanya. Tatkala ia ditanya lagi, apa sebab Allah menjadikan benda itu dalam pribadi Rasulullah yang mulia, sedang Allah berkuasa menjadikannya tanpa benda tersebut? Ia menjawab: bahwa itu merupakan unsur pokok dalam tubuh tiap manusia, maka dalam rangka kesempurnaan dalam tubuh beliau, Tuhan tidak mengurangi sedikitpun apa yang lazim dalam tubuh itu, kemudian Allah menghendaki dengan kodratnya, agar bahagian itu dihilangkan, demi kehormatan kepadanya semata-mata.

    Seorang ulama lain berkata: kalau sekiranya Allah menjadikan susunan tubuh Nabi saw. dalam keadaan seperti yang ditanyakan itu tentu tidak seorang pun akan mengetahui hakikat beliau yang sebenarnya, Allah melalui Malaikat Jibril, hendak memperlihatkan kekuasaannya, untuk membuktikan kesempurnaan batiniyah Nabi, seperti yang tampak oleh mereka kesempurnaan lahiriyahnya.

    3. Syeikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah berkata: Hikmah dibelahnya dada Nabi saw. padahal Allah berkuasa memenuhi hati beliau dengan kekuatan iman, tanpa membelah dadanya, ialah untuk meningkatkan keyakinan, karena beliau menyaksikan pembelahan dada itu dengan mata kepalanya dan tidak dirasakan sakit olehnya, menyebabkan hati beliau makin tenteram dan tenang menghadapi apapun juga, dan sebab itu juga Allah berfirman,
    مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى
    Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya, dan tidak pula melampauinya. (Q.S. an-Najm: 17)

    4. Tentang hikmah berulang kalinya pembelahan dada beliau, maka Ibnu Hajar telah mengutip kisah pembedahan dada Nabi saw.. yang pertama, kedua, dan yang ketiga berkata: bahwa masing-masing peristiwa itu, mengandung hikmah yang besar, yang pertama pembedahan dada itu terjadi di masa kecilnya, agar sempurna segala hal ihwalnya, dan terlindung dari gangguan setan yang terkutuk, dan yang kedua terjadi menjelang kebangkitannya sebagai rasul, untuk menambah kehormatan baginya dalam rangka tugas sucinya, karena akan menerima apa yang akan diturunkan kepadanya, membutuhkan keteguhan hati dan kondisi yang sangat bersih dan suci, kemudian yang ketiga ketika akan pergi pada malam Isra’ dan Mi’raj menuju langit, sebagai persiapan menghadap dan bermunajat dengan Tuhan Sang Maha Pencipta.

    Al-Hafidz asy-Syamiy berkata: Hikmah dibelahnya dada Nabi saw. yang kedua dapat pula dikatakan, bahwa hal itu terjadi pada usia menjelang kedewasaan, maka dibelahnya dada beliau pada waktu itu, dan disucikan hatinya, agar tidak mengalami apa yang biasanya dialami manusia yang sedang dalam masa peralihan itu.

    Ibnu Hajar berkata lagi: bahwa kemungkinan dicucinya hati Nabi saw. sampai berulang kali, agar makin tambah meningkat kebersihannya, dan berlangsungnya hingga tiga kali sebagai contoh yang ada pada sebahagian ajaran syari’atnya.

    Sedang Ibnu Abi Jamrah berpendapat, bahwa dicucinya hati Rasulullah saw. padahal ia suci bersih, tempat mengalirnya segala kebaikan, di samping gumpalan darah yang dikeluarkan dari dadanya di waktu kecilnya, semua itu adalah sebagai persiapan, bagi apa yang diterimannya, dan dialami, pada malam Isra’ dan Mi’raj di alam yang tinggi, dan hikmah serupa itu misalnya dapat kita jumpai pada baiknya seorang berwudlu lagi untuk bersembahyang, bagi yang sudah mempunyai wudlu, karena cara yang demikian, sebagai penghormatan dan persiapan untuk bermunajat dan tegak berdiri di hadapan Allah, maka karena itu disunnatkan walaupun wudlu yang pertama sudah cukup sempurna sedang yang lain sebagai penghormatan semata-mata. Kiranya demikian pula dicuci-bersihkannya hati Rasulullah saw.

    Dalam pada itu, Allah berfirman,
    وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
    Barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. (Q.S. al-Hajj: 32)
    Dalam rangka itu pulalah, dibersihkannya dan disucikan hati Rasulullah, sebagai suatu isyarat untuk ummatnya agar melakukan segala apa yang sifatnya mengagungkan syi’ar Allah.

    Al-Burhan an-Nu’mani berkata: dimustahabkan mandi bagi siapa yang akan memasuki al-haram yang mulia itu, apa pula bagi yang akan memasuki alam yang tinggi, menghadap hadirat Ilahi Rabbi Yang Maha Suci, kalau memasuki al-haram yang ada di alam bendawi itu baik sekali bila seorang membersihkan fisiknya, maka bagi yang akan menghadap hadirat Yang Maha Agung di alam malakut, sewajarnya dengan kebersihan dan kesucian batin dan hati nurani.

    Beliau saw. dipanggil menghadap pada malam Mi’raj untuk menerima kewajiban shalat, dan untuk memohon ampunan bersama para malaikat di langit, sedang sembahyang itu, adalah bersuci, maka beliau saw. telah disucikan lahiriyah dan batiniyah.

    Dan kalau seandainya masih ada yang berkata, bahwa bukankah Nabi saw. itu dijadikan oleh Allah dari cahaya, yang berpindah tempat dari seorang nabi yang satu, kepada nabi yang lain, maka dalam kebersihan cahaya itu, masih perlukah dibersihkan lagi secara fisik? Itupun bukan sekali saja, tapi terjadi sampai tiga kali, padahal beliau suci dari segala noda yang ada pada manusia biasa? Maka ketahuilah bahwa pembedahan dada Nabi yang pertama, kedua, dan ketiga itu, dalam rangka ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.

    5. As-Suhaily berkata: tempat dari emas, di mana jantung hati Nabi saw. dicuci, seperti tersebut dalam beberapa riwayat pada peristiwa itu, karena emas itu yang dalam bahasa Arab ‘dzahab’, sesuai dengan apa yang tersirat, maka kalimat itu mengisyaratkan dan memberi petunjuk akan kalimat ‘dzahab’ yang berarti menghilangkan, seolah-olah Allah menghendaki hilangnya segala noda dan kotoran, dan mensucikan beliau sesuci-sucinya, dalam pada itu emas adalah logam mulia yang paling bersih zat dan unsurnya, dibandingkan dengan logam-logam dan benda-benda yang lain.

    6. Hati beliau dicuci dengan air zamzam karena ia adalah air yang paling utama. Demikian ditegaskan oleh al-Bulqini. Ibnu Abi Jamrah berkata: dalam mencuci, bukan air dari surga yang dipakai, karena air zamzam itu berasal dari sana, maka dikehendaki agar barakah Nabi yang mulia itu, tetap langgeng berada di bumi ini, dan ada pendapat lain yang mengatakan, bahwa air zamzam yang mulanya ditemukan pada zaman Nabi Ismail di samping air zamzam itu sudah mendarah mendaging pada tubuh Nabi saw. maka ialah sebagai pemilik zamzam dan negeri yang diberkati oleh Tuhan (Makkah), dan wajarlah bila Nabi saw. sebagai keturunan langsung dari Ismail mewarisinya, dan itulah pula sebagai isyarat bahwa kekuasaan akan pindah ke tangannya, maka sesudah Fathu Makkah dibukanya dan dikuasainya kembali kota Makkah, beliau menyerahkan tugas siqayah (menyediakan air), untuk jamaah haji, kepada pamannya, al-Abbas, dan sebagai juru kunci Ka’bah kepada Utsman bin Abi Syaibah.

    7. Hikmah dicucinya dada beliau dengan air es dan salju maka di samping keduanya sebagai penawar lagi sangat bersih, tidak tersentuh oleh kekotoran tanah, melambangkan kecerahan masa depan Nabi dan ummatnya, serta syari’at yang dibawanya masa depan baginya akan lebih cerah, kemenangan demi kemenangan yang akan diraihnya itu, akan menunjukkan batin dan menenangkan hatinya, ditambah akan ampunah Allah kepada umatnya.

    Ibnu Dihyah berkata: dada beliau dicuci dengan air es, karena rasa keyakinan yang sangat menyejukkan hatinya, dan ini sejalan dengan do’a beliau pada tiap takbiratul ihram dalam sembahyang: “Ya Allah, cuci bersihkanlah segala dosaku, dengan air salju dan es.” Allah menghendaki agar beliau dicuci dengan air yang berasal dari surga dalam mangkuk (bokor) yang terbuat dari emas, penuh hikmah dan keimanan, agar hati itu merasakan kelezatannya, lebih tekun mengajak manusia untuk masuk dalam surga itu, agar memperoleh segala nikmatnya, demikian juga musuh-musuh yang selalu mencela dan mencacinya, maka Allah menghendaki agar ia terhindar dari sifat manusiawi, seperti sempit dada dalam menghadapi kecaman dan tantangan lawan-lawannya, dan supaya hati itu tetap tabah sebagaimana firman Allah,
    وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَ
    Dan Kami sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit, disebabkan apa yang mereka ucapkan. (Q.S. al-Hijr: 97)

    Maka hati itu dicuci bukan hanya sekali. Tatkala pada perang Uhud, terkena pukulan hingga luka di bahagian kepalanya, dan retak giginya, beliau hanya berdoa, “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui.”

    8. Dalam menafsirkan kalimat hikmah, ada perbedaan pendapat. Sebahagian ulama mengatakan, bahwa hikmah artinya ilmu yang mengandung petunjuk makrifatullah beserta lestarinya bashirah (mata hati), terdidiknya jiwa, dan tampak jelasnya kebenaran agar bisa melakukannya, dan menahan diri dari lawan kebenaran itu. Orang yang berhikmah adalah meraih itu semua.

    An-Nawawi berkata, “Demikian sekian banyak pendapat yang jernih bagi kita.”

    Hikmah kadangkala diucapkan sebagai suatu istilah lain bagi al-Qur’an, dan memang al-Qur’an mencakup semua itu. Juga (istilah lain) bagi kenabian begitu pula. Kadang juga dipakai istilah bagi ilmu semata, dan bagi makrifat belaka. Dan lain sebagainya.

    Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Makna paling tepat mengenai hikmah adalah bahwa ia adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya atau pemahaman terhadap Kitab Allah ta’ala. Dalam penafsiran kedua, hikmah bisa didapati tanpa iman, dan kadang tidak bisa didapati. Sedang dalam penafsiran pertama, kedua saling melengkapi, karena iman bisa ditunjukkan oleh hikmah.

    Pidato Umar bin Khatthab Tatkala Mendengar Berita Wafatnya Nabi saw.

    Konon diceritakan bahwa Umar bin Khatthab ra. terdengar menangis setelah meninggalnya Rasulullah saw. seraya berkata,
                “Demi ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Dulu engkau khutbah untuk segenap manusia di atas batang pohon kurma. Ketika manusia makin banyak, engkau membuat mimbar, agar engkau bisa memperdengarkan khutbah pada mereka. Lalu merataplah batang pohon kurma itu karena berpisah dengan engkau sehingga engkau meletakkan tangan engkau padanya, maka jadilah dia tenteram.Maka umat engkau lebih utama untuk meratap pada engkau karena perpisahan mereka dengan engkau.
                Demi ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Keutamaan engkau di sisi-Nya telah mencapai puncak dengan dijadikannya ketaatan pada engkau sebagai ketaatan pada-Nya. Allah azza wa jalla berfirman,
    مَنْ يُطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ
    Barangsiapa mentaati Rasul, sungguh ia telah mentaati Allah. (Q.S. an-Nisa’: 80)
                Demi ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Keutamaan engkau di sisi-Nya telah mencapai puncak ketika Dia memberikan kabar permaafan kepada engkau sebelum Dia memberikan kabar engkau melakukan dosa. Allah berfirman,
    عَفَا اللهُ عَنْكَ لِمَ أَذِنْتَ لَهُمْ
    Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka. (Q.S. at-Taubah: 43)
                Demi ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Keutamaan engkau di sisi-Nya telah mencapai puncak tatkala Dia mengutusmu sebagai akhir nabi-nabi dan Dia menyebutmu paling awal di antara mereka. Allah azza wa jalla berfirman,
    وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوْحٍ وَإِبْرَاهِيْمَ
    Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh dan Ibrahim. (Q.S. al-Ahzaab: 7)
                Demi ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Keutamaan engkau di sisi-Nya telah mencapai puncak bahwa para penghuni neraka mendamba agar mereka sama taat dan patuh kepaamu, sedang mereka tengah di siksa dalam lapisan-lapisan neraka. Kata mereka,
    يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُوْلاَ
    “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepaad Rasul.” (Q.S. al-Ahzaab: 66)
                Demi ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Jikalau Musa bin Imran diberikan oleh Allah batu yang darinya memancarlah sumber-sumber air, maka adakah yang lebih menakjubkan daripada jari-jari engkau yang air bisa menyembur darinya?!
                Demi ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Jikalau Sulaiman bin Dawud diberikan oleh Allah angin yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanannya sebulan, dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanannya sebulan pula, maka adakah yang lebih menakjubkan daripada buraq yang engkau berjalan di atasnya naik ke langit tujuh, kemudian engkau shalat shubuh di Abtah (Makkah) pada malam itu juga?!
                Demi ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Jikalau Isa bin Maryam dikaruniai oleh Allah dapat menghidupkan orang mati, maka adakah yang lebih mengagumkan daripada kambing yang diracun saat ia berbicara denganmu, sedang ia telah dipanggang?! Paha kambing itu berujar kepadamu, “Jangan engkau makan aku, karena sesungguhnya ada racunnya.”
                Demi ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Sungguh Nabi Nuh telah berdoa buruk untuk kaumnya. Ia katakan,
    رَبِّ لاَ تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِيْنَ دَيَّارًا
    Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. (Q.S. Nuh: 26)
    Jikalau engkau berdoa buruk kepada kami seperti doa Nuh itu, niscaya hancurlah kami semua. Sungguh punggung engkau telah diinjak-injak, muka engkau berdarah, dan gigi engkau remuk, lalu engkau enggan berdoa kecuali yang baik. Engkau katakana, “Ya Allah berilah ampun kaumku karena sesungguhnya mereka tidak tahu.”
                Demi ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Pada masa dan usia engkau yang sedikit dan pendek, engkau mendapatkan pengikut yang tidak didapati oleh Nuh pada masa dan usianya yang panjang. Banyak orang beriman kepada engkau, dan tidaklah beriman kepada Nuh melainkan sedikit.
                Demi ayah dan ibuku, engkau wahai Rasulullah. Jikalau engkau tidak bersanding kecuali dengan kalangan yang selevel dengan engkau niscaya engkau tidak akan bersanding dengan kami. Seandainya engkau tidak menikah kecuali yang sepadan dengan engkau niscaya engkau tidak menikah pada kami. Seandainya engkau tidak makan bersama kecuali yang selevel dengan engkau niscaya engkau tidak akan mau makan bersama dengan kami. Demi Allah, engkau mau duduk bersanding dengan kami, mau menikahi pada kami, dan mau makan bersama dengan kami. Engkau pakai kain wol. Engkau naik himar. Dan engkau membonceng (orang) di belakang himar itu. Engkau   menaruh makanan engkau di atas bumi. Engkau jilati jari-jari engkau karena ketawadluan engkau. Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam kepada engkau.”
    Aku berkata, “Pidato ini disebutkan oleh Imam Ghazali dan Ibnul Haj dalam al-Madkhal, dan masing-masing dari mereka tidak menisbatkan pidato itu pada siapa pun.”


    Leave a Reply

    Shoutul Haromain FM


    Streaming Islam Android App on Google Playstore

    follow me

    VISITOR

    free counters