perlakuan Allah terhadap diri kita. Dalam kesempatan ini pembahasan akan terfokus pada masalah Ubudiyyah, sebab dari sedikit orang yang menuhankan Allah (sepertiga dari penduduk dunia), hanya sedikit orang yang benar-benar berusaha maksimal untuk melakukan sesuatu guna meraih ridhaNya (Ibadah), sementara dari orang yang telah melakukan Ibadah masih banyak pula yang belum mampu melahirkan Ubudiyyah dalam dirinya.
Ubudiyyah, seperti dalam pengertian di atas sangat terkait erat dengan keimanan kepada Qodho’ dan Qodar Allah, artinya kita wajib menerima dengan rela hati kepastian dan perlakuan Allah dalam diri ini. Jadi sebagai seorang Mukallaf (orang yang terbebani), kita harus menyadari bahwa bentuk pembebanan (Takliif) tidak hanya berupa membasuh anggota tubuh dengan air saat berwudhu atau mandi, tetapi ada bentuk lain yang mungkin lebih berat. Abul Faraj Ibnul Jauzi dalam Shoedul Khothir menuturkan:
“Apakah seseorang menyangka bahwa Takliif, hanya berupa wudhu, mandi atau berdiri di Mihrob dan melakukan shalat?, sungguh ini semua adalah bentuk Takliif yang paling ringan. Sangat jauh lebih berat dari ini adalah bentuk Takliif yang berupa saat akal harus merespon sesuatu di luar batas kemampuannya. Kenapa anak kecil yang tidak berdosa harus menderita sakit parah dsb. Takliif dalam masalah ini adalah apakah akal menolak atau menerima (Tasliim)”.
Contoh lain dari ini adalah kenapa seseorang harus kehilangan orang-orang yang dicintainya, kenapa dia harus bertemu dan bergaul dekat dengan orang yang tidak disukainya dan lain sebagainya. Sungguh hal-hal tersebut merupakan bentuk Takliif yang sangat berat yang jika ini mampu kita jalani dengan baik maka pahala besar menanti kita. Inilah isi dari Ubudiyyah. Bencana Tsunami di Aceh, meluapnya lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo dan bencana-bencana lain yang menelan puluhan ribu bahkan ratusan ribu jiwa menguji kekuatan Ubudiyyah kita. Sulit dan berat sekali rasanya menerima semua ini, kenapa Aceh yang mayoritas penduduknya umat islam harus mengalami bencana yang sebesar itu. Bencana ini dan keharusan menerimanya mengingatkan kita akan tragedi Mesopotamia (Baghdad) masa lampau. Saat itu umat Islam menjadi korban kekejaman dan keganasan tentara kaum sipit Tartar, ribuan umat islam terbantai, tidak hanya kaum lelaki, tetapi wanita, anak-anak dan orang tua juga menjadi korban. Lebih dari itu mushaf Alqur’an dikalungkan di leher-leher anjing dan semua bukubuku Islam di buang di sungai Dajlah (Tigris sekarang) hingga tumpukan buku-buku di sungai itu bisa dilalui oleh kuda. Air sungai itupun menjadi berwarna tinta.
Seorang ulama Mesir, Syekh Afifuddin yang mendengar berita ini merasa sangat sedih, Beliau lalu mengadu dan mengajukan protes: “Ya Allah, kenapa semua ini terjadi, bukankan di sana banyak anak-anak dan orang-orang tidak berdosa?”. Akhirnya pada suatu malam, dalam mimpi, Syekh Afif kedatangan seseorang yang menyodorkan kepadanya selembar kertas bertuliskan:
Tinggalkan perlawanan (I’tirodh), karena semua pergerakan alam ini bukan menjadi wewenang dan urusanmu.
Dan jangan kamu bertanya kepada Allah tentang perlakuanNya, sebab barang siapa yang masuk ke dasar lautan maka dia akan mati tenggelam
Hal yang mungkin bisa membantu dan menuntun hati untuk mudah menerima perlakuan Allah adalah dengan membangun kepercayaan penuh kepadaNya, dan tentu saja kepercayaan ini baru bisa terlaksana jika sudah terjadi hubungan erat dengan Allah. Selain itu harus pula menyadari
dan meyakini bahwa apa yang dilakukan oleh Allah adalah yang terbaik bagi diri ini, meski sebenarnya Allah tidak wajib berbuat yang terbaik untuk hambaNya. Ingatlah firman Allah dalam sebuah Hadits Qudsi:
“Sesungguhnya ada dari para hambaKu, seorang yang tidak baik baginya kecuali kekayaan, andai ia Aku jadikan miskin maka keadaannya akan hancur. Dan sesungguhnya sebagian dari para hambaKu, seorang yang tidak baik baginya kecuali kemiskinan, andai ia aku berikan kekayaan maka keadaannya akan berantakan”. (HR Baghowi)