Termasuk di antara ujian Allah atas manusia adalah kehidupan dalam berkeluarga (al hayah azzanajiah). Dalam kehidupan berkeluarga inilah Allah menguji manusia dengan yang baik dan yang buruk sebagaimana firman Allah dalam alQuran yang artinya, “Kami akan tetap menguji kalian dengan yang baik dan yang buruk dan kepadaNya kamu semua dikembalikan.”
Misalnya, tahu-tahu kita mendapat jodoh dengan wajah yang kurang bagus (cantik/tampan) walaupun kita sudah berusaha memilih-milih. Itu merupakan kenyataan yang tidak bias ditolan dan harus diterima. Semuanya harus dikembalikan pada Allah Ta’ala dengan mengingat kehidupan dunia yang sangat singkat. Maka dari itu, cara mengembalikan ujian jangan memakai ukuran perasaan. Kembalikan semua urusan pada kehidupan akhirat.
Ketika kita masuk kubur, seberat apapun ujian yang ada di dunia akan hilang dan lupa sama sekali. Dan itu adalah ukuran seorang mukmin. Apalagi jika mengingat apa yang telah di ajarkan oleh Rasulullah Saw. Bahw orang yang masuk surga, baik laki-laki maupun perempuan semuannya berseri-seri.
Berseri-seri di sini, berarti semuanya ganteng dan cantik. Rasulullah juga mengatakan bagi laki-laki akan berumur rata-rata 30 tahun dan bagi perempuan rata-rata berumur 17 tahun. Jika kita di dunia ini hanya memakai standar rupa, maka bias jadi ketika muda wajahnya cantik/tampan. Tetapi, ternyata sebentar lagi sudah menjadi keriput, sejalan dengan bertambahnya usia.
Jika Allah sudah men-tadbir (menentukan) satu ketentuan, baik/buruknya ketentuan tersebut bukan menurut ukuran manusia, tetapi menurut ukuran Allah. Apa yang telah ditentukan Allah merupakan sesuatu yang terbaik bagi manusia. Jadi, urusan biyadihil khoir itu menjadi urusan Allah. Kalau manusia yang mengukur, mungkin bias baik bisa juga buruk, termasuk dalam masalah perkawinan/berumah tangga.
Dalam berumah tangga harus dibangun dengan dua asas, yaitu al mawaddah al khoolishoh dan al mahabbah ash shoodiqoh.
1. Al Mawaddah Al Khoolishoh
Berkaitan dengan hal ini dikatakan bahwa kecintaan ini bukan karena A dan B-nya, tetapi karena sudah menjadi tanggung jawab bersama. Bagi suami mengatakan bahwa apapun adanya, dia adalah istri saya. Begitu pula bagi sang istri yang mengatakan bahwa apapun adanya, dia adalah suami saya. Masing-masing pihak harus mau menerima segala kekurangan dan kelebihan pasangannya masing-masing.
2. Al Mahabbah Ash Shoodiqoh
Untuk mahabbah ash shoodiqoh, ukuran kecintaan itu juga bukan karena apa-apa, tetapi semata-mata karena Allah Ta’ala. Di sampang itu, kecintaan (al Mahabbah) bisa juga terjadi karena wajah dan postur tubuh. Oleh sebab itu, harus ditambah dengan al mawaddatul khoolishoh yang murni. Al Mahabbah Ashoodiqoh itu nanti bisa kekal apabila berdasarkan agamanya.
Berkaitan dengan kelanggengan sebuah rumah tangga danpasangan suami istri bisa merasakan indahnya berumah tangga. Al Quran memberikan dua hal yang sangat penting, yaitu al qiwamah dan tho’atuz zaujah.
A. Al Qiwaamah
Yang dimaksud dengan al qiwaamah adalah sebuah pertanggungjawaban suami atas istrinya, baik bersifat dhohir (al qiwaamah adh dhoohiroh), maupun bersifat batin (al qiwaamah al baatinah),
a. Al Qiwaamah adh dhoohiroh
Al Qiwaamah adh dhoohiroh adalah pemenuhan tanggung jawab terhadap kebutuhan rezeki yang dicari. Dalam hal ini suami tidak akan mempunyai perasaan malas dan mungkin akan mencari pekerjaan apa saja yang halal sekalipun orang lain mengatakan bahwa hal itu termasuk pekerjaan tidak layak/sesuai bagi dirinya. Di sini yang terpenting adalah terpenuhinya kebutuhan sehari-hari bagi keluarganya. Seorang sarjana pun tidak harus bekerja sesuai dengan bidang studinya. Nyatanya, Allah dalam memberi rezeki juga bukan lantaran sarjananya. Bagi seorang istri, tidak perlu malu jika di mata orang lain pekerjaan suaminya dianggap pekerjaan rendahan. Yang terpenting adalah bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Terkadang, memang karena adanya syahwadud dunya bisa mempengaruhi kehidupan ini. Karena itu, Islam juga mengatur adanya kekufuran dalam mencari pasangan hidup. Masalah kekufuran ini dikenal dalam Madzhab Syafii, sedangkan dalam Madzhab Imam Malik, tidak dikenal adanya kekufuran sebab kalau ada berarti kurang percaya pada Allah. Seorang Sayyid pun harus menikah dengan perempuan tukang sapu, mengapa tidak bisa? Tetapi, menurut Madzhab Syafii tidak begitu. Agama Islam itu adalah dienul fitrah yang juga mengatur kecenderungan manusia dan memberikan kelonggaran sesusai dengan kecenderungannya.
b. Al Qiwaamah al baathinah
Yang namanya kecintaan itu jangan sampai pudar, jangan hanya bermanis-manis dirumah saja, ternyata selingkuh di luar rumah. Hal ini berarti dia tidak mempunyai Al Qiwaamah al baathinah. Sampai-sampai Rasulullah berpesan jagalah pandangan, jangan sampai dilepaskan pada orang lain, dan bahwa farji itu adalah satu.
Memang, tidaklah mungkin bagi seorang laki-laki untuk menutup matanya karena memang aktifitasnya lebih banyak di luar rumah. Yang terpenting dia bisa menahan pandangannya. Yang tidak diperbolehkan adalah memandang terus-menerus. Batasan syara’ adalah “Bagimu yang pertama, jangan sampai diteruskan.”
Dalam hal ini seorang istri jangan sampai mempunyai sifat cemburu yang berlebihan jika mendapati suaminya melihat pada perempuan lain. Cemburu yang berlebihan bisa mengakibatkan selalu curiga pada suami yang pada gilirannya bisa merepotkan diri sendiri. Bagi laki-laki yang mempunyai hak Al Qiwaamah al baathinah jangan sampai tergoda. Dia hendaknya bisa menahan diri dari syahwat. Ingat, Rasulullah sudah memberi pengertian bahwa farji itu satu, dari daerah mana pun asal perempuan itu, apakah dia cantik atau pun jelek. Hal ini dimaksudka untuk mengantisipasi apakah al Qiwaamahal bathinahnya shodiqoh (jujur) atau tidak. Kalau sudah shodiqoh, Insya Allah tidak akan lari kemana-mana. Tidak bertanggungjawabnya laki-laki secara bathin akan mempengaruhi pertanggungjawabnya secara dhohir. Suami yang sudah tertarik pada orang lain (yang bukan istrinya), maka otomatis tanggung jawab secara dhohir akan berkurang. Lain halnya jika ada sesuatu yang dimungkinkan seorang suami harusmenikah lagi (berpoligami), yang terpenting sudah menjadi istrinya.
Jika terjadi penyelewengan al Qiwaamah al bathinah terhadap orang lain yang bukan istrinya, hal itu bisa membahayakan suami karena sudah mentasyarufkan sesuatu pada orang yang bukan istrinya, dan mengurangi/meninggalkan hak suami seperti biasanya. Semuanya itu akan mengakibatkan terjadinya “kiamat” dalam rumah tangga. Perilaku suami bisa jadi akan berubah, yang biasanya lemah lembut terhadap suami berubah menjadi kasar
B.Thoo’ah az Zaujah
Adapun asas yang harus dibangun oleh isri adalah ketaatan pada suami. Dalam menjalankan ketaatan tersebut, istri harus sabar. Rahasianya adalah kalau sudah taat terus, sekeras-kerasnya suami maka luluh jika melihat istrinya yang taat kepadanya. Ketaatan pada suami itu bisa berwujud tidak pernah menentang, mengomeli, dan menuntut apa-apa pada suami. Bila diberi diterima, tidak diberi juga tidak akan menuntut sehingga kata suami, istriku taat seklai. Malah suatu saat, sang sumai akan menawarkan diri untuk memenuhi permintaan istri.
Seorang isti yang taat pada suaminya mempunyai predikat yang agung, yaitu istri yang qoonitah dan haafidhoh.
Qoonitah
Istri yang bersifat qoonitah tidak akan mampu melunturkan kecintaan suami pada istri walaupun istri mempunyai kekurangan/sifat yang kurang baik. Allah menyifati istri yang sholihah dengan sebutan qoonitah. Qoonitah bisa berarti: thoo’iah (taat), saakitah (diam), daa’iyah (berdoa)
1. Thoo’ah (taat)
Masalah ketaatan istri menjadi standart penting. Hal ini bisa dimaklumi untuk mengimbangi suami yang sudah bersusah payah mencari rizekidan tidak termasukyang dikatakan kufur nikmat akan adanya suami yang bertanggung jawab.
2. Saakitah (diam)
Adapun saakitah itu penting. Suami yang sudah bersusah payah dalam bekerja bisa saja menjadi sebab muncul kemarahan. Jika suatau saat suami terlambat pulang kerja, padahal sudah jelas qiwaamahnya, jangan sampai istri langsung bertanya, “Mengapa pulang terlambat?” Hal ini bisa menyebabkan suami menjadi marah. Dalam ini sebaiknya istri diam. Kalau perlu jangan bertanya apa-apa. Kemana pun suami mencari rezeki, yang penting dia sholeh dan jelas. Maka kalau perempuan itu saakitah, Insya Allah akan selamat, terutama bila kepada suaminya.
3. Daa’yah (berdoa)
Dalam hidup ini antara suami dan istri hendaklah saling berbagi. Ketika suami sibuk bekerja di luar, jangan lupa istri di rumah selalu berdoa agar suaminya mendapat rezeki yang barokah. Jadi, harus ada dukungan yang besar dari istri untuk suami.
Haafidhoh (Menjaga)
1. Menjaga Diri
Istri yang bisa menjaga diri termasuk perbuatan yang terpuji sehingga tidak akan terjadi serong dan perselingkuhan. Suami yang telah berbuat baik harus dibalas pula dengan kebaikan. Suami yang sibuk di luar juga tidak boleh berbuat serong atau selingkuh. Dia harus tetap menjaga qiwaamahnya.
2. Menjaga harta suami
Istri ikut membantu menjaga harta suami, jangan sampai malah menggunakan uang di luar kepentingan dan boros dalam membelanjakannya. Jadi, istri bisa mengimbangi suami yang sudah bersusah payah mencari rezeki. Secara umum, Rasulullah Saw. Telah memberikan gambaran umum bahwa suami istri harus mencukupi kebutuhannya terlebih dahulu, setelah itu baru berinfaq. Di sini menurut ukuran umum, bukan maqom. Jadi, jangan sampai memberi peluang untuk menghabiskan uang.