Sudah
menjadi keputusan Alloh bahwa Dia menanamkan benih – benih rasa cinta
di hati manusia sebagaimana tersebut dalam firmanNya:
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan apa -
apa yang diingini, yaitu wanita – wanita, anak – anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang – binatang ternak
dan sawah ladang...”QS Ali Imron: 14.
Ketika
seorang pria mencintai wanita maka usaha yang harus dilakukan adalah
menormalkan cinta tersebut dan jangan sampai kebablasan. Ingat pesan
Rosululloh SAW, “Cintailah kekasihmu sedang – sedang saja, sebab sangat
mungkin dalam waktu dekat ia bisa menjadi musuhmu....”HR Turmudzi.
Sebab jika tidak begitu maka dampak negatif dari cinta itu akan segera
terasa. Dampak negatif yang dimaksud adalah:
- Sibuk dengan makhluk yang dicintai sehingga jauh dari menyebut dan menyintai Alloh. Cinta kepada wanita dan cinta kepada Alloh tak akan pernah terkumpul dalam satu wadah hati. Jika salah satu hadir maka yang lain pun pergi.
- Hati merasa tersiksa. Sungguh orang yang mencitai sesuatu selain Alloh maka ia pasti disiksa dengan sesuatu tersebut. Pepatah berkata, “Tiada di bumi ini yang paling celaka melebihi seorang pecinta meski ada rasa manis di sana. Kamu saksikan ia menangis setiap saat karena kerinduan atau kekhawatiran. Jika jauh dengan yang dicinta maka ia sakit tertusuk kerinduan dan bila bersama yang dicinta maka ia menderita khawatir berpisah. Matanya panas saat berjumpa dan matanya panas saat berpisah” jadi cinta dan kerinduan meski terasa manis tetapi sebenarnya adalah siksaan hati yang paling pedih.
- Seorang pecinta hatinya tertawan oleh yang dicintai tak ubahnya seperti seekor burung di tangan anak kecil. Menjadi alat kesenangan dan permainan sebelum akhirnya dilempar ke telaga penderitaan
- Pecinta menjadi lupa kebaikan dunia dan akhiratnya. Jadi tiada sesuatu sebab yang hebat menghilangkan kebaikan dunia dan akhirat melebihi cinta.
- Bencana dunia dan akhirat lebih cepat datang menyerang para pecinta daripada api datang melalap kayu bakar. Sungguh jika hati dekat dan sibuk dengan rindu maka hati itu jauh dari Alloh. Jadi hati yang paling jauh dari Alloh adalah hati para pecinta. Jika hati telah jauh dari Alloh maka bencana pasti datang dari segala arah. Setan akan menguasainya dan membawanya kepada segala macam bencana.
- Jika cinta begitu kuat menancap dalam hati maka saat itulah fungsi akal menurun dan menjadikan pecinta tak ubahnya seperti orang gila atau bahkan lebih gila daripada orang gila. Kasus seperti ini tidak terhitung jumlah dan salah satunya adalah yang menimpa pecinta Qoes al Majnun yang sudah sangat terkenal kisahnya.
- Cinta bisa menjadi daya kerja indera rusak atau paling tidak melemah baik secara maknawi (non fisik) atau Shuwari (fisik). Secara maknawi bisa disaksikan indera pecinta sudah tak mampu lagi bekerja dengan baik sehingga melihat, merasakan dan mendengar segala dari dan tentang yang dicinta seluruhnya baik dan indah. Rosululloh SAW bersabda, “Kecintaanmu pada sesuatu itu membuat buta dan menjadikan tuli” HR Abu Dawud. Secara Shuwari cinta menjadikan pecinta sakit atau lemah tubuhnya. Sorang pemuda yang kelihatan kurus kering dibawa ke hadapan Ibnu Abbas ra yang sedang berada di Arofah. “Kenapa dengan pemuda ini?” tanya Ibnu Abbas ra. Mendengar bahwa pemuda itu sedang dilanda cinta berat maka sepanjang hari Beliau berdo’a memohon perlindungan Alloh dari cinta berat kepada wanita.
Besarnya
resiko dan bahaya yang mungkin menerjang para pecinta ini mendorong
Rosululloh SAW sangat mengasihi para pecinta sehingga Beliau SAW
membantu para pecinta untuk mendapatkan cintanya agar kecintaan itu
tidak semakin menyiksanya. Melihat Mughits terus berjalan menguntit
Bariroh (setelah bercerai) dengan air mata berlinangan maka Nabi SAW
bersabda kepada Bariroh, “ Bagaimana jika kamu kembali kepadanya
(Mughits) ” Bariroh bertanya, “Wahai Rosululloh, apakah ini perintah?”
Nabi SAW menjawab, “Tidak, aku cuma memohon (untuk Mughits)” Bariroh
lalu mengakui dengan jujur, “Saya sudah tidak butuh lagi kepadanya”
mendengar ini Nabi SAW lalu bersabda kepada Abbas ra pamannya, “Hai
Abbas, apakah engkau tidak takjub dengan cinta Mughits
kepada Bariroh dan kebencian Bariroh kepada Mughits?” Jelas sekali di
sini bahwa Nabi SAW tidak ingkar terhadap cinta Mughits kepada Bariroh
sebab hal itu di luar batas kemampuan manusia untuk menolaknya.
Ali
Karromallohu Wajhah juga demikian, melihat ada seorang anak muda begitu
mencintai sahaya milik Mihlab bin Robah maka Beliau datang kepada
Mihlab dan memohon supaya Mihlab memberikan sahaya wanitanya kepada
pemuda itu yang diketahui bernama Nuhas bin Uyainah. Muawiyah bin Abi
Sufyan ra juga demikian, pernah Beliau membeli seorang sahaya wanita
jelita (Jariyah) dan diboyong ke rumahnya. Di suatu malam
saat banyak orang telah terlena dalam tidur, Muawiyah mendengar
rintihan kerinduan dari Jariyah tersebut. Beliau lalu bertanya dan
mendapat jawaban bahwa Jariyah itu sangat mencintai majikannya.
Akhirnya Muawiyah mengembalikan Jariyah itu kepada majikannya. Sulaiman
bin Malik memiliki sahaya pria (Ghulaam) dan wanita (Jaariyah) yang
keduanya saling jatuh cinta. Suatu hari Ghulaam menulis: “Dalam tidur
aku melihat dirimu seakan memberiku minuman dingin menyegarkan, telapak
tanganmu bertemu dengan telapak tanganku dan sepertinya kita menginap
dalam satu ranjang. Akhirnya seharian aku memaksakan diri tidur agar
bisa bermimpi bertemu denganmu tetapi aku tidak bisa lagi memejamkan
mataku” tulisan ini dijawab oleh Jariyah dengan tulisan pula: “Mimpimu
sungguh baik dan kamu pasti akan mendapatkan semua yang anda impikan
meski ada orang yang iri hati. Sungguh aku sangat berharap anda memeluk
dan tidur bersamaku di atas montok payudaraku...” hal ini akhirnya
sampai di telinga Sulaiman hingga ia kemudian menikahkan sepasang anak
muda itu meski Sulaiman sendiri merasa sangat cemburu.
Jatuh
cinta tidaklah berdosa karena itulah ketika ditanya tentang orang yang
jatuh cinta Umar bin Khotthob ra menjawab, “Itu adalah sesuatu yang
tidak bisa dikuasai” seorang penyair Hijaz, Jami bin Murkhiyah
bertanya, “Apakah seorang pecinta berat itu berdosa?” Said bin Musayyib
menjawab, “Yang dicela adalah apa yang bisa anda lakukan” maksudnya
yang tercela adalah dampak negatif yang ditimbulkan dari cinta berat
tersebut. Betapapun besar dan kuat dorongan cinta, akan tetapi bukan
berarti tidak bisa ditahan. Memang hal ini sangat sulit dilakukan,
karena itulah penghargaan tinggi bagi yang mampu menahan diri kala
cinta sedang menindih. Nabi SAW bersabda yang artinya, “Empat hal yang
bila berada dalam diri seseorang maka Alloh mengharamkan orang tersebut
atas neraka dan Dia pasti menjaganya dari setan; orang yang menahan
diri ketika menyukai, ketika merasa takut, ketika menginginkan sesuatu,
dan ketika marah” (HR Hakim at Tirmidzi dalam Nawaadirul Ushuul) Ibnu
Abbas ra juga berkata, “ Barang siapa yang terkena cinta berat lalu
menyimpan dan menahan diri dari dosa dan ia mau bersabar maka Alloh
pasti memberinya ampunan dan memasukkannya ke dalam surga”. Sungguh
jatuh cinta bisa mengenai siapa saja termasuk orang – orang yang
berilmu dan ahli ibadah, akan tetapi ilmu dan kedekatan mereka dengan
Alloh menjadikan mereka bisa menahan dan
mengontrol diri dengan baik sehingga tidak hanyut oleh demam perasaan
cinta yang menderanya. Di antara nama ulama tersebut adalah Abdulloh
bin Abdulloh bin Utbah, Umar bin Abdul Aziz kholifah adil yang tercatat
pernah jatuh cinta begitu hebat kepada Jariyah (sahaya wanita) milik
Fathimah isterinya. Disebutkan bahwa ketika belum menjadi Kholifah,
Umar begitu cinta kepada Jariyah tersebut hingga Beliau meminta kepada
Fathimah isterinya, “Berikanlah (Hibbahkanlah) Jariyah itu kepadaku!”
Berulangkali Umar meminta tetapi Fathimah tetap tidak memberikannya.
Barulah ketika Umar diangkat menjadi Kholifah maka Fathimah berkata
kepada suaminya, “Dulu memang saya tidak mau, tetapi sekarang saya rela
memberikan Jariyah itu kepada engkau” Mendengar ini Umar sangat gembira
dan berkata, “Kalau begitu cepat hias dia dan segera antarkan kepadaku”
setelah berada di dalam kamar berdua dengan Jariyah itu Umar dengan
senang hati berkata, “Bukalah pakaianmu!” setelah Jariyah mulai membuka
baju, Umar menahan, “Sebentar, ceritakanlah siapa majikanmu dulu dan
bagaimana kamu bisa menjadi milik Fathimah (isteriku)!” Jariyah itu
menjelaskan, “Hajjaj memberikan denda harta kepada salah satu
bawahannya (Amil) di Kufah dan kebetulan saya adalah sahaya Amil
tersebut. Hajjaj akhirnya membawaku dan memberikan diriku kepada Abdul
Malik dan oleh Abdul Malik aku dihibahkan kepada Fathimah” Umar
bertanya, “Lantas bagaimana keadaan Amil itu sekarang?” Jariyah itu
menjawab, “Ia sudah meninggal” “Apakah ia mempunyai anak dan bagaimana
keadaan anaknya?” Jariyah menjawab, “Ia, dia meninggalkan anak dan keadaan mereka kini menyedihkan” mendengar ini Umar segera berkata, “Kenakanlah pakaianmu lagi dan kembalilah ke tempatmu!”
Umar
lalu mengirim surat kepada gubernurnya di Iraq agar mendatangkan anak
Amil yang diceritakan oleh Jariyah. Setelah anak Amil itu datang, Umar
berkata, “Laporkan semua harta benda yang dibayarkan oleh ayahmu
sebagai denda yang dikenakan oleh Hajjaj!” anak itu segera melaporkan
seluruh harta yang dibayarkan oleh ayahnya kepada Hajjaj dan oleh Umar
semuanya diganti. Selanjutnya Umar juga menyerahkan Jariyah tersebut
kepada anak itu sambil berpesan, “Hati – hatilah dengan Jariyah ini,
sebab mungkin sekali ayahmu dulu pernah menggaulinya!” anak itu berkata, “Jariyah ini untuk anda saja tuan!” Umar menjawab, “Aku tidak lagi memerlukannya” “Kalau
begitu silahkan dibeli saja!” kata anak tersebut. Umar menjawab, “Kalau
aku membelinya berarti diriku ini bukan termasuk orang yang menahan
diri dari keinginan” dan ketika hendak dibawa pergi oleh si anak,
Jariyah berkata kepada Umar, “Lantas di mana cinta anda kepada saya
wahai Amirul Mu’minin?” Umar menjawab, “Cinta itu tetap seperti dulu
dan bahkan mungkin sekarang bertambah” dan memang kenyataan seperti
itu. Sampai akhir hayat, Umar tetap memendam rasa kepada Jariyah
tersebut.
Di
antara ulama yang juga mampu menahan rasa cintanya adalah Abu Bakar
Muhammad bin Dawud az Zhohiri yang terkenal dalam berbagai lapangan
ilmu seperti fiqih, hadits, tafsir dan sastra. Menjelang meninggal
dunia, Nafthowih datang dan bertanya, “Bagaimana keadaan anda?”
“Seperti yang kamu lihat” jawab Dawud. “Kenapa anda menahan keinginan
anda (memendam rasa) padahal anda bisa melampiaskannya?” tanya
Nafthowih. Dawud menjawab, “Melihat itu ada dua; Mubah dan Haram.
Adapun melihat Mubah maka sungguh hal itulah yang menjadikan aku sakit
seperti sekarang. Adapun melihat Haram maka aku bisa menahan karena
mengingat ucapan Ibnu Abbas....”yang initinya ampunan dan surga bagi
seorang yang jatuh cinta dan mampu menahan diri).