Fakta Sebenarnya
Fakta sebenarnya
mengenai apa yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah tentang hak ayah bunda
al-Musthafa (sosok nabi terpilih) saw. dan keterangan rujuknya Mulla Ali
al-Qari terhadap pendapatnya tentang ayah bunda Nabi saw. Syeikh Musthafa
al-Hamami telah menulis mengenai hal itu dalam (majalah) an-Nahdlah
al-Ishlahiyah yang ringkasannya adalah: Tampak ada satu risalah yang
dinisbatkan kepada Syeikh Mulla Ali al-Qari dengan judul “Dalil-dalil keyakinan
Imam Abu Hanifah mengenai ayah bunda Rasul saw.” Dia (al-Qari) bicara di
dalamnya tentang kedua orangtua Rasulullah saw. suatu pembicaraan yang
seharusnya dia tidak membicarakannya, karena pembicaraan ini menyakiti hadirat
penghulu alam, baginda kita, Rasulullah saw. Dan adalah suatu kemungkaran yang
besar jika dia sampai menyakiti hadirat Rasul saw.
Ibnu Abid Dunya
dan Ibnu Asakir meriwayatkan bahwasanya Durrah binti Abu Lahab lewat berjumpa
seseorang, lalu orang itu berkata, “Ini puteri musuh Allah, Abu Lahab.” Durrah
lalu menuju ke arahnya dan berkata, “Allah menyebut ayahku karena nasab dan
kemuliaannya, sedang Dia tidak menyebut ayahmu karena kebodohannya.” Kemudian
Durrah menuturkan hal itu kepada Nabi saw. Beliau lalu berkhutbah dan bersabda,
“Tidaklah boleh orang muslim disakiti disebabkan orang kafir.” Hadits ini
bermakna, janganlah kamu menyebut orang-orang kafir dengan sebutan yang membuat
orang mukmin benci dan merasa sakit dari sebutan itu. Orang mukmin tidak jarang
harus bersikap memuliakan pada tingkat dia tidak menampakkan kepada
kerabat-kerabat mukmin lainnya yang kafir suatu penampakan yang membuatnya
sakit dan marah. Jika hal ini berlaku pada setiap orang mukmin pada keluarganya
yang kafir, maka terlebih lagi haruslah diperhatikan pada Rasulullah saw. Adab
Islam (mengajarkan) hendaknya (seseorang) tidak menyebut keluarga beliau yang
telah meninggal secara kafir, dengan suatu sebutan yang tidak pantas dengan
kekerabatan beliau. Bagaimana dengan ayah bunda beliau yang mulia lagi agung?
Ibnu Marduyah meriwayatkan
dari Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan Ammar bin Yasir –semoga Allah meridlai mereka
semua- bahwasanya mereka berkata, “Durrah binti Abu Lahab tiba sebagai seorang
yang hijrah. Wanita-wanita lalu berujar kepadanya, “Kamu Durrah binti Abu Lahab
yang Allah berfirman tentangnya, “Celakalah kedua tangan Abu Lahab.” Durrah
lalu menuturkan hal itu kepada Nabi saw. Beliau ceramah dan bersabda,
أَيُّهَا
النَّاسُ مَا لِي أُوْذِىَ فِى أَهْلِيْ ، فَوَ اللهِ إِنَّ شَفَاعَتِي لَتُنَالُ
بِقَرَابَتِي حَتَّى إِنَّ حَكَمًا وَحَاءَ وَصَدَا وَسَلْبَهَا تَنَالُهَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ بِقَرَابَتِيْ
Wahai manusia. Ada apa aku disakiti di dalam keluargaku.
Demi Allah, sesungguhnya syafaatku akan mengena pada kerabatku, hingga Hakam,
Ha’, Shada, dan Salbaha (nama-nama kabilah) akan dapat meraih syafaatku pada
hari kiamat disebabkan kekerabatanku.
Hadits ini merupakan
nash yang sesuai dengan topik ini. Sesungguhnya Nabi saw. memperhatikan
terhadap masalah menyebut paman beliau, Abu Lahab, dengan sebutan (yang
menyakitkan), sehingga beliau bangkit berkhutbah di antara manusia, melarang
mereka dari hal seperti itu, dengan sabda beliau: “Wahai manusia. Ada apa aku disakiti di
dalam keluargaku.”
Jika kemarahan
beliau ini dikarenakan Abu Lahab, sedang ia telah mati dalam keadaan kafir
secara pasti, maka bagaimana kemurkaan beliau dikarenakan ayah bundanya yang
mulia lagi agung, sedang keduanya meninggal atas fitrah? Sebagaimana
pembicaraan mengenai hal itu akan diulas nanti. Insya’allah.
Sesungguhnya
kemurkaan beliau pastilah besar atas orang yang mengisyaratkan, dengan isyarat
apapun, yang merendahkan hadirat ayah bunda beliau yang keduanya telah
dimuliakan oleh Allah dengan kemuliaan yang tidak tertandingi, yaitu melahirkan
penghulu alam dan intisari makhluk. Tidak diragukan lagi, pelaku hal itu hanya
akan mengantarkan dirinya terlaknat dan dijauhkan dari rahmat Allah. Karena
Tuhan kita telah berfirman dalam Kitab-Nya,
إِنَّ الَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ
لَعَنَهُمُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا
مُهِيْنًا
Sesungguhnya orang-orang
yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di
akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S. al-Ahzab: 57).
Dan
mari kita berpindah dari ini kepada pembicaraan mengenai masalah ini. Kami katakan:
Termasuk suatu kedustaan yang keji terhadap Imam terbesar Abu Hanifah an-Nu’man
jika dinisbatkan kepadanya bahwa dia meyakini sesungguhnya ayah bunda
Rasulullah saw. tidak selamat pada hari kiamat. Bahkan, keduanya bersama dengan
orang-orang kafir di neraka Jahannam kekal abadi di dalamnya. Iya, itu
merupakan kebohongan yang besar atas imam yang agung ini. Jikalau begitu, termasuk
berita bohong adalah memberi judul risalah tersebut dengan judul: “Dalil-dalil
keyakinan Imam Abu Hanifah mengenai ayah bunda Rasul saw.” Sementara
keyakinannya adalah bahwa keduanya kafir.
Jika
pembaca berkata: Sesungguhnya Mulla Ali al-Qari menukil pada awal risalah ini:
bahwa hal ini diucapkan oleh Imam Abu Hanifah dalam kitabnya, al-Fiqh al-Akbar,
dengan redaksi: “Dan kedua orangtua Rasulullah saw. mati di atas kekufuran.”
Jika ini ucapannya dalam kitabnya yang dinisbatkan kepadanya, maka bagaimana
engkau menyebutnya sebagai kebohongan yang besar?” Aku katakana: Sesungguhnya
yang diucapkan oleh sang tokoh dalam al-Fiqh al-Akbar tidaklah seperti apa yang
disebut itu. Akan tetapi, yang diucapkannya adalah redaksi, “Dan kedua orangtua
Rasulullah saw. mati di atas fitrah, dan Abu Thalib mati secara kafir.” Ini
yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri dalam al-Fiqh al-Akbar karya Imam
Abu Hanifah. Aku melihatnya pada salinan naskah di perpustakaan Syeikhul Islam
di kota Madinah
Munawwarah –Seutama-utama shalawat dan salam semoga terlimpah kepada penghuni kota itu-, di mana
penulisan kitab itu merujuk kepada masa yang jauh, sehingga orang-orang yang
arif di sana
berkata kepadaku, “Sesungguhnya naskah ini ditulis pada zaman Abbasiyah.” Dan
naskah ini ada di balik kumpulan bernomor 330 dari bagian kumpulan-kumpulan di
perpustakaan itu. Siapa yang ingin melihat naskah ini dari al-Fiqh al-Akbar
dengan mata kepalanya sendiri, dia bisa datang ke perpustakaan itu. Dia akan
menemuinya di sanama dengan redaksi yang kami nukil di sini. Pembaca tidak bisa
menduga bahwa penglihatanku ini merujuk kepada masa yang jauh. Dia tidak boleh
menduga ini. Dia harus kokoh. Sesungguhnya penglihatanku terjadi pada musim
haji yang lalu (tahun 1354 hijriyah), sedang waktu aku menulis ini pada hari kamis, 4 Jumadil Ula 1455 hijriyah.
Antara aku melihat di perpustakaan dengan antara aku menulis ini terpaut 5
bulan 15 hari. Karena aku dulu berada di kota
Madinah hingga awal-awal bulan Dzulhijjah tahun ‘54 hijriyah.
Barangsiapa
merenung niscaya mendapati bahwa salinan yang ada pada naskah Mulla Ali al-Qari
terdapat di dalamnya dua petaka.
Petaka pertama,
dia berbohong, bertentangan dengan naskah lama, yang telah disebutkan
sebelumnya.
Petaka kedua,
sesungguhnya penggelapan merasukinya. Orang yang membaca “Dan Abu Thalib mati
dalam keadaan kafir” setelah redaksi yang dinukil oleh Mulla Ali al-Qari, dia
akan berkata menyanggah seketika: “Jikalau kedua orangtua Rasulullah saw. meninggal
di atas kekufuran, dan Abu Thalib juga begitu, maka ucapan yang tepat mestinya
berbunyi: “Dan kedua orangtua Rasulullah saw. dan Abu Thalib meninggal dalam
keadaan kafir.” Bukan dengan menyebut kufurnya kedua orangtua beliau secara
sendiri, sedang kufurnya Abu Thalib disebutkan setelahnya, juga secari sendiri.
Adapun naskah
kami ini, jelas sekali. Di dalamnya tidak ada menyendirikan kufurnya Abu
Thalib. Karena sesungguhnya dua hukum pada saat itu berbeda. Disebutkanlah apa
yang merekam keimanan kedua orangtua beliau, kemudian disusul redaksi tentang
kufurnya Abu Thalib.
Pembaca bisa
jadi bergegas hati bahwa lafadz ‘kufur’ yang dinukil oleh Mulla Ali
diubah/dibelokkan dari lafadz ‘fitrah’ yang ada pada naskah kami yang telah
kami peringatkan kepadamu dan kami menukilnya ini untukmu darinya.
Sesunggunhnya kedua lafadz antara keduanya ada kedekatan yang tampak. Dan
apakah penggelapan (tahrif) itu disengaja? Sesungguhnya membuang hukum atas Abu
Thalib mengatakan hal itu. Kami mengatakan ini dan kami tidak tahu apakah
pembuatan ini dari penulis atau dari penerbit?
Dan risalah ini
batil sejak dari asalnya, karena pemiliknya telah merujuk (mencabut) dari apa
yang dia tulis pada risalah itu, seperti ditulisnya pada syarahnya atas kitab
asy-Syifa karya Qadli Iyad. Dan ucapannya ini terdapat pada 2 tempat dari syarah
tersebut.
Tempat pertama halaman 601 dan tempat kedua
halaman 648 dari cetakan Istambul yang terbit tahun 1316 H. Pada tempat
pertama, penulis asy-Syifa menuturkan: “Abu Thalib berkata kepada Nabi saw.
yang memboncengnya di Dzil Majaz: Aku haus dan aku tidak memiliki air. Nabi
saw. lalu turun dan memukulkan telapak kakinya pada bumi, lalu keluarlah air.
Kata beliau, “Minumlah!” Mulla Ali Qari berkata setelah ini dengan redaksi,
“Ad-Dulaji berkata: yang jelas hal ini terjadi sebelum masa kenabian, sehingga
termasuk irhas (mukjizat yang diberikan sebelum diangkat sebagai nabi). Dan
bisa jadi di dalamnya ada petunjuk bahwa karamah ini akan tampak hasilnya,
disebabkan keberkahan telapak kaki penghulu alam semesta, pada akhir zaman. Kurang lebih 1000 tahun ada
sumber air di Arafah yang bersambung ke Makkah dan sekitarnya, disebabkan
jejak-jejak keberkahan itu. Dan Abu Thalib belum valid keislamannya. Adapun
keislaman ayah bunda beliau, ada beberapa pendapat dalam hal ini. Pendapat yang
paling sahih adalah keislaman keduanya, sesuai dengan kesepakatan tokoh-tokoh
ulama umat, seperti dijelaskan oleh as-Suyuthi dalam 3 risalah susunannya.”
Adapun tempat
kedua, Syeikh (rahimahullah) berkata di dalamnya, dengan redaksi, “Adapun
mengenai apa yang mereka tuturkan tentang beliau menghidupkan ayah bunda
beliau, maka pendapat yang sahih, bahwasanya hal itu benar terjadi, menurut
pandangan ulama-ulama terpercaya dari kalangan Jumhur, sebagaimana dikatakan
oleh as-Suyuthi dalam 3 risalah yang dia susun.”
Dengan ini,
cukuplah bagi kita, penyusun risalah sendiri, yaitu Syeikh Mulla Ali Qari,
sebagai penyanggah, disebabkan rujuknya dia kembali kepada kebenaran.
Demikianlah. Para ulama besar tidak menunggu kecuali rujuk (mengacu) kembali
kepada kebenaran, jika mereka salah, kembali kepada Tuhannya jika durhaka,
bersegera menuju kesempurnaan jika miring kepada kekurangan, dan bangkit menuju
puncak jika jatuh, di dalam hal apapun yang lebih rendah daripada kedudukan
yang tinggi itu.
Dan bukan ini
saja dalil yang menunjukkan selamatnya kedua orangtua Nabi saw. Akan tetapi, di
sana ada jalur lain yang menunjukkan keselamatan keduanya –semoga Allah
meridlai keduanya- bahwasanya keduanya meninggal pada masa fatrah (masa vakum
kenabian) yang tidak ada di masa itu utusan Allah yang memberi peringatan
orang-orang yang hidup pada masa itu, seraya mengajarkan kepada mereka apa
kewajiban mereka terhadap Tuhan dan kewajiban antar sebagian mereka kepada
sebagian yang lain. Dan masa itu lama sekali. Mereka semenjak masa Baginda Nabi
Ismail bin Baginda Nabi Ibrahim tidak seorang rasul pun diutus kepada mereka.
Jika demikian, keduanya orang yang memiliki uzur di sisi Tuhannya, tak ubahnya
seperti orang-orang Arab lainnya yang berada di masa fatrah. Aku suka jika kamu
menyimak firman Allah ta’ala,
يس ،
وَالْقُرْآنِ الْحَكِيْمِ ، إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِْيْنَ ، عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
، تَنْزِيْلَ الْعَزِيْزِ الرَّحِيْمِ ، لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أُنْذِرَ
ءَابَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُوْنَ
Yaa
siin. Demi al-Qur’an yang penuh hikmah, sesungguhnya kamu salah seorang dari
rasul-rasul, (yang berada) di atas jalan yang lurus, (sebagai wahyu) yang
diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, agar kamu memberi
peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan,
karena itu mereka lalai. (Q.S. Yaasiin: 1-6).
Tidakkah kamu perhatikan firman-Nya,
“Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah
diberi peringatan, karena itu mereka lalai.” (Q.S. Yaasiin: 6). Didapatkanlah
alasan tentang kelalaian mereka dan jauhnya mereka melaksanakan kewajiban
kepada Tuhan mereka, kewajiban yang sifatnya pangkal dan kewajiban yang
sifatnya cabang, bahwa tidak datang pada bapak-bapak mereka pemberi peringatan
yang menjadikan mereka tahu ada hak-hak bagi Sang Maha Pencipta yang harus diperhatikan
dalam lahir dan batin mereka. Ketika bapak-bapak mereka demikian, maka
tumbuhlah mereka menurut budaya bapak-bapak mereka, berupa meninggalkan
berbagai kewajiban.
Dari ayat ini, kamu kiranya memahami
adanya perbedaan yang besar antara seorang anak yang tumbuh di antara kedua
orangtua yang shaleh atau di antara kedua orangtua yang fasiq. Anak pertama
akan tumbuh dalam keadaan mengenal agama dan bersemangat mengikutinya seperti
kedua orangtuanya, sedang anak kedua sebaliknya. Dari sini apa yang
diceritakanoleh Tuhan kita mengenai kaum Sayyidah Maryam tatkala mereka berkata
kepadanya sebelum jelas fakta sebenarnya bagi mereka,
يَا
أُخْتَ هَارُوْنَ مَا كَانَ أَبُوْكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ
بَغِيًّا
Hai
saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan
ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina. (Q.S. Maryam: 28)
Yakni, mengherankan, kamu lakukan
kemungkaran ini, sedang kedua orangtuamu dulu bukanlah ahlinya.
Dan tidak adanya adzab terhadap
orang-orang Arab itu (orang-orang yang hidup pada masa fatrah), diterangkan
secara jelas oleh firman Allah ta’ala,
وَمَا
كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلاً
Dan
Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (Q.S. al-Israa’: 15)
Tuhan menyatakan, “Aku tidak akan
mengadzab seorang hamba-Ku disebabkan dia meninggalkan kewajiban apapun baik
pangkal maupun cabang, jika dia berada jauh dari masa Rasul, syariat-syariat
terdahulu mengalami perubahan, dan Aku belum mengutus kepada seorang rasul yang
mengingatkan dan memberikan pemahaman bahwa apa yang ditinggalkannya itu
tidaklah boleh ditinggalkan,” karena mengadzabnya saat itu dalam pandangan-Nya
dilakukan tanpa adanya pelanggaran. Tuhan kita Yang Maha Pemutus lagi Maha Adil
tidak akan mengadzab atas bukan pelanggaran selamanya, sedang kedua ayah bunda
Nabi saw. seperti orang-orang yang berada di masanya, tidak ada pada zaman
mereka syariat-syariat yang tidak mengalami perubahan, tidak pula ada rasul,
bahkan Nabi saw. diutus dengan membawa syariat pasca meninggalnya keduanya
dalam jarak waktu yang lama. Ayahanda beliau wafat, ketika beliau berada dalam
kandungan ibundanya. Adapun sang ibunda, ia wafat ketika beliau berada pada
fase pertama kehidupan beliau yang mulia atau lebih sedikit. Jika demikian, kedua
orangtua beliau selamat. Allah ta’ala tidak mengadzab keduanya, seperti
teman-temannya yang hidup di masa fatrah. Kebanyakan ulama umat berpandangan
demikian.
Bisa jadi kamu berkata, “Ada beberapa hadits
menerangkan bahwa sebagian orang yang hidup di masa fatrah disiksa, maka orang
yang tersisa dikiaskan dengan sebagian (yang disiksa) itu.”
Kami katakan, “Hadits-hadits itu tidaklah
terangkat dari derajat hadits-hadits Ahad. Dan adakah hadits-hadits Ahab itu
berdiri di depan (menandingi) Kitab Allah ta’ala? Kiranya kamu cepat berkata:
Tidak, kemudian tidak. Dan mungkin kamu katakan: “Menurut keharusan gambaran
kontradiksi.” Tidak ada kontradiksi sama sekali. Hadits-hadits itu berdiri pada
orang-orang yang kamu sebutkan karena ada pengertian-pengertian pada mereka
yang menjadikan mereka layak masuk neraka. Jika demikian, bagaimana kias bisa
sah sementara tidak ada kias pada hal semacam ini? Dan bisa jadi kamu katakan:
“Ada keterangan
yang menyebutkan bahwa kedua orangtua beliau disentuh siksa di dalam
keimanannya!.”
Kami jawab, “Keterangan ini agaknya
ada sebelum Allah ta’ala menghidupkan kembali keduanya untuk beriman kepada
Nabi saw., karena sesungguhnya peristiwa menghidupkan kembali itu ada dan tidak
diragukan (menurut pendapat orang-orang besar kalangan umat. Mereka adalah
jumhur ulama yang terpercaya, sebagaimana Mulla Ali Qari menyebut mereka). Jika
demikian, bagaimana keimanan keduanya disentuh siksa setelah kembali dihidupkan
ini? Dan jangan lupakan apa yang telah kami sampaikan sebelumnya bahwa
ayat-ayat yang qath’i (tegas dan pasti) menunjukkan keduanya selamat.
Riwayat-riwayat Ahad itu tidaklah bisa menentangnya. Apalagi nilai riwayat-riwayat
itu dibicarakan oleh para ulama dengan suatu pembicaraan yang menjadikanmu
enggan menoleh kepadanya. Bagaimana tidak, sedang al-Hafidz as-Suyuthi sendiri
memiliki 3 risalah dalam tema ini, sebagaimana ucapan Maulana Syeikh Mulla Ali
Qari. Yang tepat hanyalah diucapkan bahwa Mulla Ali Qari telah mencabut kembali
risalahnya. Kita tidak tahu manakah di antara dua perkara ini yang paling
belakangan, yang bisa dibuat patokan. Apakah risalah ini? Jika demikian,
berarti Mulla Ali Qari telah mencabut kembali ucapan tentang selamatnya ayah
bunda Nabi saw., atau apakah yang diucapkannya pada syarah kitab asy-Syifa?
Jika demikian, berarti dia telah mencabut ucapan bahwa kedua ayah bunda Nabi
saw. itu termasuk orang kafir dan mengambil keputusan ucapan bahwa keduanya
beriman. Dan pada saat kita bicarakan noktah ini, kami katakan:
Perkaranya jelas memperkirakan bahwa
yang paling belakangan adalah ucapan (Mulla Ali Qari) dalam syarah asy-Syifa.
Jika diperkirakan risalahlah yang belakangan, maka urusannya menjadi susah
dicerna, sementara pembicara suatu topik biasanya melihat pandangannya itu
dalam puncak kemudahan. Sesungguhnya syeikh menegaskan dalam syarahnya atas
kitab asy-Syifa bahwa pendapat tentang keislaman ayah bunda Nabi saw. merupakan
kesepakatan di antara ulama-ulama besar umat ini. Pendapat inilah yang dianut
oleh jumhur ulama yang terpercaya. Jika demikian, kalau dia mencabut pendapat
ini berganti pendapat yang kedua yang dikandung dalam risalahnya, maka dia
berarti menentang apa yang disepakati tokoh-tokoh besar dan apa yang dianut
jumhur ulama yang terpercaya. Dan apa nilai dari suatu pendapat yang pemiliknya
menentang ada yang telah disepakati ulama-ulama besar umat? Sebuah pendapat di
satu sisi dan di sisi lain ada jumhur ulama yang terpercaya. Sesungguhnya jika
demikian, maka dia benar-benar mencabut kebenaran dan mengatakan suatu
kebatilan yang amat jelas sekali. Jika hal ini kita padukan bahwa Abu Hanifah
berkata, “Kedua orangtua Nabi saw. meninggal di atas fitrah (yakni agama
Islam), maka tidak benarlah (konyol-lah) pendapat Mulla Ali Qari. Dan di mana
Mulla Ali Qari dibanding dengan Imam Terbesar itu? Sesungguhnya Mulla Ali tidak
menulis risalahnya kecuali setelah ia melihat kalimat yang dibelokkan yang
dinisbatkan kepada Sang Imam. Ketika dia melihat kalimat yang dibelokkan itu,
maka dia menulis apa yang dia tulis seraya bersandar dan berpedoman kepada Abu
Hanifah. Jawaban mengenai ini telah dikemukakan sebelumnya. Prinsip kalimat itu
telah mengalami pembelokan. Al-Alusi tela menuturkan, dan ia adalah salah satu
imam salaf yang terpercaya, dalam tafsirnya pada firman-Nya,
وَتَقَلُّبَكَ
فِى السَّاجِدِيْنَ
Dan
perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. (Q.S. asy-Syuaraa’:
219)
“Sesungguhnya pendapat yang
menyatakan bahwa ayah bunda Nabi saw. beriman adalah pendapat sekian banyak
ulama besar Ahlus Sunnah.” Kemudian dia berkata dengan redaksi, “Dan aku
mengkhawatirkan kufur atas orang yang mengatakan tentang ayah bunda beliau
dengan selain itu (tidak beriman) –termasuk Mulla Ali Qari dan semacamnya-.”
Sesungguhnya Allah ta’ala menjadikan
Nabi-Nya sebagai rahmat bagi alam semesta. Dan demi Allah, beliau telah menjadi
rahmat hingga bagi kedua paman beliau, yaitu Abu Thalib dan Abu Lahab, yang
keduanya melihat beliau dengan mata kepalanya sendiri, mendengar dakwah beliau
dengan kedua telinganya, dan berketetapan hati atas kekufuran hingga keduanya
meninggal.
Karena kekerabatan keduanya dengan
beliau, sunnah nabawiyah datang memberitahukan bahwa Allah memberikan
keringanan siksa selamanya pada orang pertama (Abu Thalib). Dan ada yang
mengatakan: Orang kedua (Abu Lahab) juga mendapatkan keringanan di sebagian
waktu. Bahkan, demi Allah, beliau menjadi rahmat bagi semua orang kafir yang
mendustakannya terang-terangan. Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman mengenai
mereka,
وَمَا
كَانَ اللهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيْهِمْ
Dan Allah sekali-kali tidak akan
mengadzab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. (Q.S. al-Anfaa: 33)
Jika demikian, bagaimana beliau
tidak menjadi rahmat bagi kedua orangtua beliau, sedang keduanya meninggal atas
fitrah, sebagaimana diyakini oleh Imam Terbesar (Abu Hanifah) dan jumhur ulama
yang terpercaya?!”