Koreksi diri adalah pohon yang membuahkan taubat yang merupakan salah satu pintu dari berbagai pintu rahmat yang telah disipakan oleh Allah bagi setiap orang yang memiliki keinginan meniti jalan lurus dalam Suluk menuju ridho Allah dan tidak berbuat teledor di sisiNya demi kelanggengan hubungan dengan Tuhannya.Inilah dasar beramal dan sumber segala kesholehan amal perbuatan. Karena itulah Allah ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“QS al Hasyr:18.Seorang mukmin yang terbina sangat bertanggung jawab kepada dirinya yang kelak akan dihisab oleh Allah. Ini karena ia memahami sebab-sebab yang memperbaiki hatinya untuk mengingat Allah. Di antara sebab-sebab itu ialah:
1).Pemahamannya bahwa kemuliaan seluruhnya hanyalah milik Allah sebagaimana pujian tidak seyogya kecuali bagiNya. Allah ta’ala berfirman: “ Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” QS Fathir:10.Jadi kemuliaan bukan dengan harta benda, pangkat kedudukan ataupun keturunan, tetapi kemuliaan bisa diraih hanya dengan al Kalim at Thayyib; yaitu kalimat tauhid dan seluruh ibadah-ibadah lisan yang disertai amal shaleh yang bekerja (berfungsi) untuk meninggikan dan menjayakannya (baik dalam wilayah individu, keluarga, masyarakat dan negara).
2) Pemahamannya bahwa seluruh makhluk adalah keluarga Allah dan yang paling dicintai olehNya dari mereka adalah mereka yang paling memberi manfaat kepada keluargaNya sebagaimana diriwayatkan dalam hadits-hadits. Karena itulah Fudhel bin Iyadh mengatakan: “Di kalangan kami orang yang mendapatkan (derajat kewalian) tidak mendapatkannya dengan banyak puasa atau shalat. Tetapi ia mendapatkan dengan jiwa yang dermawan (Sakha’ an nafs), hati yang selamat (Salamatusshadri) dan berkehendak baik untuk umat (an nush lil ummah). Ini karena ibadah orang yang beribadah hanya menjadi miliknya sendiri sementara kedermawanan orang yang dermawan menjadi milik banyak orang. Sungguh telah dikatakan: Sesuatu yang menular lebih utama daripada yang tidak menular”.
Musa bin Isa Ad Dinawari berkata: “Berderma dengan apa yang ada merupakan puncak kedermawanan. Sedang kikir dengan apa yang ada adalah bentuk buruk sangka kepada Dzat yang disembah”
3) Pemahamannya akan kewajiban merespon anugerah dan rahmat Allah dengan kegembiraan yang diikuti dengan pujian atasNya serta pengakuan akan pemberianNya. Bukan malah berbangga diri menyambut anugerah dan rahmat tersebut. Ini berdasarkan firman Allah, “Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembir kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan"QS Yunus:58. Inilah Nabi Sulaiman alaihissalam, Beliau berkata: “Ini adalah dari anugerah Tuhanku apakah aku bersyukur atau kufur…”QS an Nahl: 4, berbeda dengan Qarun yang berkata: “diberikan kepadaku (semua ini) adalah hanya karena ilmu yang ada padaku “QS al Qashash: 78.
Beginilah, bangga diri (Ujub) memang serupa dengan bergembira (Farah). Karenanya barang siapa yang bergembira dengan kataatan karena ketaatan itu muncul dari dirinya maka sungguh ia telah kedatangan Ujub. Berdasarkan firman Allah: “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…“QS al Bayyinah:5.
Kesempurnaan Maqam Ikhlash didapatkan dengan kesaksian seorang hamba bahwa peranannya di dalam sebuah amal shaleh darinya tidak lebih hanyalah nisbat taklif serta tidak pula datang kepadanya bencana amal (aafaatul amal) yang ada tiga; Ujub, Riya’ dan Sombong. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang bergembira karena kebaikannya dan susah karena keburukannya maka dia-lah orang yang (benar-benar) beriman”(HR Thabarani- al Jami’ as Shaghir 2/173) maksudnya bergembira sebab ketaatan dan sedih akibat kehilangan ketaatan adalah di antara tanda-tanda keimanan. Tetapi, kegembiraan sebab ketaatan itu harus berasal dari sisi di mana ketaatan itu adalah anugerah Allah dan taufiq dariNya sebagaimana kesedihan atas hilangnya ketaatan juga harus dibarengi dengan usaha menjalankannya atau sedih karena kendor dan teledor menetapinya.
Adapun seorang yang tidak merasa sedih atas hilangnya ketaatan dan tidak menyesal karena telah bermaksiat maka itu menjadi pertanda kematian hatinya.
4) Pemahamannya bahwa Shidiq bersama Allah adalah dasar keberuntungan sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ia pasti beruntung jika ia jujur”Muttafaq alaih. Sungguh Alqur’an telah mendorong kepada pertemanan dengan ahli shidiq karena pertemanan ini memiliki nilai kemuliaan, “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan tempatkanlah dirimu bersama orang-orang yang jujur”QS at Taubah: 119 sebagaimana pula diisyaratkan dalam do’a Nabi Yusuf alaihissalam: “…wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh “QS Yusuf:101.Atas dasar ini maka memilih teman, sahabat dan kawan akrab yang shaleh adalah bagian dari urgensi kehidupan -di masa seperti sekarang ini yang tepat dikatakan, “Masa seperti halnya pelakunya sementara pelakunya seperti yang kamu lihat”- semata demi keselamatan agama dan berlari dari ujian-ujiannya. Dikatakan: ”Halal itu sebelum harta, tetangga sebelum rumah dan teman sebelum perjalanan” Lantas, siapakah teman dan sahabat anda? Dialah orang jujur kepada anda dan bukan orang yang selalu membenarkan anda.
Seseorang dikenal dengan temannya sebagaimana dikatakan:[Jangan bertanya tentang seseorang, tanyakanlah tentang temannya,
karena setiap teman selalu mengikuti orang yang bersamanya]
-والله يتولى الجميع برعايته-