Seri Aqidah: Islam, Bagaimana Anda Memahami?
Alloh Subhana wata’ala berfirman, yang artinya:
“Dan
 jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, 
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain 
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah 
berdusta (terhadap Allah)”. QS. Al An’am: 116
Sebagian 
besar manusia berjalan dalam kehidupan ini tanpa pegangan (petunjuk). 
Mereka mengerjakan suatu amal perbuatan tanpa adanya ukuran (standar) 
yang digunakan untuk menilai perbuatan tersebut. Oleh karenanya mereka 
melakukan perbuatan buruk (qobihah) namun beranggapan perbuatan tersebut adalah suatu kebaikan (hasanah). Demikian juga, mereka menjauhi amal kebaikan karena beranggapan bahwa amal tersebut adalah suatu keburukan.
Mereka
 menjadikan akal sebagai ukuran (standar) perbuatan, sedangkan akal 
kadangkala memandang sesuatu sebagai kebaikan pada hari ini, kemudian 
menilainya sebagai keburukan di hari esok. Dan kadangkala akal menilai 
sesuatu sebagai kebaikan disuatu negeri, dan menilainya sebagai suatu 
keburukan di negeri yang lain. Mereka tidak konsisten, karena sesuatu 
dianggap sebagai kebaikan pada suatu keadaan, dan menganggapnya 
kejelekan pada keadaan yang lain. Sehingga terjadilah suatu penetapan 
hukum atas sesuatu masalah dengan tanpa adanya ukuran yang jelas 
(terbawa tiupan angin). Sehingga menjadilah kebaikan dan keburukan 
sebagai suatu yang nisbi dan tidak hakiki.
Alloh Subhana wata’ala berfirman, yang artinya:
“Katakanlah:
 "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling 
merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya 
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka 
berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap
 ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka
 hapuslah amalan- amalan mereka, dan Kami tidak Mengadakan suatu 
penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat”. QS. Al Kahfi: 103-105.
Islam
 telah menetapkan suatu standar nilai (ukuran perbuatan) untuk mengukur 
segala macam perbuatan manusia, sehingga dapat diketahui mana perbuatan 
yang buruk dan mana yang baik. Sehingga hal ini dapat mencegah manusia 
dari perbuatan yang buruk dan membimbing manusia melakukan perbuatan 
baik.
Standar nilai tersebut adalah hukum syara’ bukan yang lainnya. Maka dari itu apapun yang dinilai baik oleh syara’, ia adalah kebaikan, dan apapun yang dinilai buruk oleh syara’,
 ia adalah keburukan. Standar ini bersifat abadi (dâimy) sehingga suatu 
yang baik tidak akan berubah menjadi buruk, dan sebaliknya.
Alloh Subhana wata’ala berfirman, yang artinya:
“Dan
 bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka 
ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), 
karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang 
demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”. QS. Al  An’am: 153.
Tetapi
 sayang, di antara kaum muslimin ada yang pura-pura lupa dari standar 
perbuatan ini, seakan-akan dia tidak merasa terikat dengannya.
Kenyataan
 yang kita lihat, banyak para wanita muslimah yang berada sepanjang 
jalan ibu kota negeri-negeri Islam seperti Beirut, Damaskus, Baghdad, 
Jakarta dan lain-lainnya, berkeliaran sambil memperlihatkan betisnya, 
serta memperlihatkan keindahan tubuhnya. Mereka menyangka dengan 
melakukan perbuatan tersebut mereka telah melakuan suatu kebaikan. 
Demikian pula dengan seorang laki-laki wara’
 yang senantiasa berdiam di masjid, mengharamkan dirinya mencampuri 
urusan pemerintahan, dengan alasan bahwa hal itu termasuk urusan politik
 (as siyasah). Ia menganggap bahwa turut campur dalam masalah politik termasuk perbuatan tercela.
Sesungguhnya,
 keduanya telah terjebak dalam perbuatan dosa. Si  wanita 
mempertontonkan auratnya, sedangkan si laki-laki tidak mau memperhatikan
 urusan kaum muslimin, karena keduanya tidak mau mengambil standar untuk
 dirinya dalam menilai perbuatannya. Sekiranya mereka mau mengambil 
standar dalam hal tersebut maka tidak akan terjadi paradoksi antara 
perilakunya dengan mabda’ (prinsip dasar hidup/idiologi) yang mereka ikrarkan sebagai keyakinan yang dipeluknya.
Keadaan
 ini terjadi sebagai akibat dari tidak adanya ketetapan suatu standar 
nilai bagi amal perbuatan mereka. Oleh karena itu, adanya standar nilai 
yang berfungsi sebagai alat ukur perbuatan manusia adalah suatu 
keharusan, sehingga manusia akan mengetahui hakekat suatu amal sebelum 
dia mengerjakannya. Standar perbuatan tersebut adalah syara’ dan tidak 
ada yang lainnya.
Alloh Subhana wata’alah berfirman, yang artinya:
“Kemudian
 Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan 
(agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa 
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. QS. Al Jâtsiyah: 18.




