Salah satu dari Asma’ul Husna adalah al Afuwwu, yang artinya:
Allah adalah Dzat Maha Pemaaf yang melebur keburukan–keburukan (Sayyi’aat)
serta memaafkan kemaksiatan–kemaksiatan. Al Afuwwu masih berdekatan dengan nama
Allah al Ghafuur , Maha Pengampun, hanya saja Permaafan lebih dari sebuah
Pengampunan, sebab pengampunan hanya diikuti dengan penutupan (kasus) sementara
permaafan disertai dengan penghapusan kasus.
Dalam rangka menerapkan karakter ketuhanan ini,
seseorang harus belajar dan terus belajar menjadi orang yang lapang dada atau
berbesar hati sebagaimana Nabi Musa alaihissalam berdo’a kepada Allah:
“Musa berkata “Ya Tuhanku lapangkanlah dada saya!” QS.
Thaha: 25.
Maksudnya luaskanlah hati saya (besarkanlah hati saya) supaya
tidak menjadi sempit (agar tak berkecil hati) menghadapi kebodohan para
penantang serta tidak merasa gentar dengan kekuatan dan jumlah mereka yang
besar. Disebutkan bahwa ketika menerima perintah melawan Fir’aun dan
pasukannya, nyali Nabi Musa alaihissalam ciut, tetapi karena ketundukan penuh kepada
Allah, maka Beliau berdo’a supaya hatinya dilapangkan olehNya agar hati itu
meyakini bahwa siapapun tak memiliki daya menimpakan bencana atau bahaya
kecuali atas kehendakNya.
Selanjutnya perlu dimengerti bahwa bahasa Lapang Dada tak
lebih dari sebuah bahasa kiasan dari hati yang besar dan bersih penuh dengan
cahaya ilahi. Jika Nabi Musa alaihissalam
meminta hal tersebut maka sungguh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
juga telah menerimanya dari Allah Swt:
“Bukankah telah Aku lapangkan untukmu dadamu (hatimu)?”QS.
al Insyirah: 1.
Bias cahaya dari sikap berbesar hati berlapang dada di antaranya
adalah seperti berikut:
1)
Sikap tidak peduli,
tidak memandang dan tidak mendengarkan (Ighdho’) omongan– ongan orang bodoh. Oleh
Alqur’an sikap ini disebut menjadi salah satu karakter Ibaadur Rahmaan (para
hamba Alloh Maha Pengasih) , “Dan jika orang–orang bodoh melemparkan omongan
kepada mereka maka mereka berkata: Selamat!” QS. al Furqaan: 63, maksudnya jika
ada orang bodoh yang mengeluarkan kata–kata kotor dan kasar kepadanya maka sama
sekali tidak membalas dengan kata– kata serupa, justru dia berlapang dada dan
berbesar hati memaafkan serta membalas dengan kata– kata yang baik.
Pernah ada seorang mencaci
temannya di hadapan Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam, tetapi orang yang dicaci malah membalas: “Semoga
keselamatan atasmu!” Nabi shallallahu
alaihi wasallam bersabda kepada orang yang dicaci: “Sesungguhnya di antara kalian berdua ada malaikat
yang membelamu setiap kali ia mencacimu”Beliau melanjutkan: “dan bila kamu
mengucapkan selamat kepadanya (pencacimu) maka malaikat itu berkata: “Tidak,
kamu yang lebih berhak dengan ucapan salam itu”. HR. Ahmad. Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam pernah dicaci maki oleh
Abu Jahal dalam suatu kesempatan. Abu Jahal mencaci Beliau serta agama yang
Beliau ajarkan, akan tetapi Beliau sedikitpun tidak membalas dan pergi begitu
saja saat Abu Jahal telah memuaskan egonya. Sikap ini menarik simpati dari
seorang wanita yang kebetulan menyaksikan drama tidak seimbang tersebut. Wanita
itu lalu melaporkan apa yang dia saksikan kepada Hamzah yang tidak lama juga
melintas di tempat kejadian. Wanita itu berkata kepada Hamzah: “Wahai Abu
Imarah, andai saja anda melihat apa yang menimpa keponakan anda barusan niscaya
anda pasti marah, Abu Jahal telah mencela dan mencacinya habis–habisan, tetapi keponakan
anda diam dan tak sepatahpun membalas!”
Kabar ini terasa memilukan
hati Hamzah hingga kemarahannya kepada Abu Jahal memuncak. Dia segera mencari
Abu Jahaldan memukul Abu Jahal dengan
busur sampai wajah Abu Jahal berdarah. Kepada Abu Jahal, Hamzah berkata:
“Apakah kamu akan menyakiti Muhammad, padahal aku telah memeluk agamanya?”
Sesudah itu Hamzah datang kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dan menyatakan diri
masuk Islam.
Ayat di atas oleh
mayoritas ulama menjadi dasar bahwa tidak menghiraukan (Ighdho’) omongan orang
bodoh merupakan suatu hal yang sangat dianjurkan baik ditinjau dari segi etika,
muru’ah maupun syaria’ah, bahkan sikap
tidak menghiraukan tersebut lebih aman dalam menjaga kehormatan diri. Dalam
sebuah syair hikmah dikatakan: Jika ada orang bodoh berbicara maka jangan dijawab,
sebab jawaban terbaik bagianya adalah diam.
Bersikap seperti pesan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam kepada Uqbah bin Amir: “Sambunglah
orang yang memutuskanmu, berilah orang yang tidak mau memberimu dan
berpalinglah dari orang yang menganiayamu” HR. Ahmad.
Ada tiga sikap berlapang
dada dan berbesar hati yang diajarkan dalam hadits ini;
a) Menyambung orang yang memutuskan,
mengunjungi orang yang tidak pernah berkunjung kepada kita. Adapun realitas
saling mengunjungi maka hal itu sebuah sikap yang sangat manusiawi dan seimbang,
maka tidak masuk dalam kategori berlapang dada. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Penyambung sejati bukanlah
orang yang membalas jasa, tetapi orang yang jika diputuskan maka segera dia
menyambung” HR. Bukhari.
b) Memberi kepada orang
yang tidak memberi kita (berderma kepada orang yang kikir), atau memberikan
sesuatu kepada orang yang suka menjegal langkah kita.
c) Berpaling dari orang yang
zhalim. Membalas kepada orang yang berbuat zhalim memang dibenarkan sesuai
dengan kadar kezhaliman, akan tetapi jika tidak membalas maka itu sungguh
bernilai tinggi di sisi Allah: “Dan jika kalian hendak melakukan pembalasan
maka balaslah sesuai dengan apa yang mereka lakukan, tetapi jika kalian mau
bersabar maka sesungguhnya itu lebih baik bagi orang–orang yang bersabar” QS.
an Nahl: 126.
Kemenangan yang diraih
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
dan pasukan Islam dalam peristiwa
penaklukan Makkah tidak lantas menjadikan mereka lepas kontrol, melampiaskan
amarah menuntut balas atas segala yang pernah dilakukan oleh orang kafir. Andai
saja waktu itu kaum muslimin menuntut balas maka sungguh sangat layak, tetapi Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam dengan
kebesaran jiwa dan kelapangan dada malah bertanya: ”Wahai orang–orang Quresy,
apa kiranya yang hendak aku lakukan terhadap kalian?” Mereka menjawab: “Engkau
adalah saudara kami yang murah hati dan putra saudara kami yang baik budi”. Menanggapi
jawaban mereka, Nabi shallallahu alaihi wasallam
bersabda: “Aku katakan kepada kalian seperti yang dikatakan oleh Yusuf kepada
para saudaranya “Kalian tidak bersalah, pergilah karena kalian semua merdeka”.
Abu Bakar ra. juga demikian, kecemburuan sebagai seorang ayah membuatnya
mengambil keputusan tidak akan lagi menanggung biaya hidup Misthah bin Utsatsah
yang turut ambil bagian dalam menyebarkan berita bohong tentang Aisyah ra.,
hingga turunlah ayat yang intinya menegaskan supaya Abu Bakar berbesar hati
dengan tetap menanggung biaya hidup Misthah seperti selama ini telah berjalan.
Allah berfirman: “Dan janganlah orang–orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan
kepada kerabatnya, (yaitu) orang–orang miskin dan yang berhijrah di jalan
Allah, hendaknya mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin
Allah mengampuni kalian…” QS. an Nuur: 22.
Berlapang dada memang
bukan suatu hal yang mudah, tidak mempedulikan kata–kata cercaan orang yang
bodoh, menyambung orang yang memutuskan, memberi orang yang pelit serta
berpaling dan melupakan kezaliman yang dilakukan oleh orang lain atas diri kita
memang bukan hal yang gampang, akan tetapi dengan mengingat janji Allah yang
teramat besar berupa ampunan mungkin sedikit akan memudahkan jika memang
keimanan kita sedang dalam kondisi subur. Dan mungkin langkah untuk berbesar
hati terasa lebih mudah jika kita melihat sebuah kemungkinan bahwa bisa jadi
apa yang dilakukan oleh orang lain tehadap kita -seperti kita dicaci, diputuskan,
tidak diberi sesuatu atau dianiaya–tidak lain adalah sebagai respon atau reaksi
atas apa yang kita lakukan sendiri. Jika berbesar hati dan berlapang dada atau
berbuat santun ini bisa menjadi ciri khas dan watak kita maka silahkan menunggu
janji Allah ta’ala seperti tertulis
dalam sebuah hadits yang artinya: “Ketika Allah mengumpulkan seluruh makhluk pada
hari kiamat maka ada orang yang memanggil supaya para ahli keutamaan bangkit
serta dikatakan kepada mereka masuklah ke dalam surga! Malaikat bertanya:
Hendak ke manakah kalian? Ke surga, jawab mereka. Malaikat bertanya: Sebelum
dihisab? Mereka menjawab: Ia. Siapa kalian? Tanya Malaikat. Mereka menjawab:
Kami para ahli keutamaan. Malaikat bertanya: Apa keutamaan kalian? Mereka menjawab:
Jika kami dibodoh–bodohkan maka kami berlaku santun, jika dianiaya kami
bersabar, dan jika diperlakukan buruk maka kami memaafkan. Kemudian dikatakan
kepada mereka: Silahkan memasuki surga, sebaik- baik pahala orang yang beramal“
(Hadits ini termuat dalam Tafsir Tanwirul Adzhaan)
2)
Menahan kemarahan, “…dan
orang–orang yang menahan kemarahan…”QS. Ali Imran: 134. Seorang lelaki bertanya: “Wahai Nabi Allah,
tunjukkanlah kepada saya amal yang bisa memasukkan saya ke surga!” Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab: “Jangan marah dan bagimu surga” HR.
Thabarani. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang
menahan amarah, padahal dia mampu untuk menurutinya maka Allah pasti memanggilnya
di depan pandangan semua makhluk hingga Allah mempersilahkan baginya untuk memilih
bidadari yang dia kehendaki”HR. Abu Dawud Turmudzi. []