Fenomena
politik Indonesia kontemporer yang terus bergejolak bagi kita tentu
membutuhkan pemikiran yang mendalam. Pemikiran yang mendalam dalam
arti pemikiran yang tidak sampai mengurung kita sehingga terjebak
pada sebuah kepentingan bagi kaum muslimin yang sifatnya sesaat. Kita
hendaknya mengarahkan cakrawala pandangan dan pemikiran untuk
kepentingan yang lebih luas dan yang jauh ke depan. Untuk ini, kita
perlu memiliki sikap tatsabbut
dalam
perilaku politik kita,
yakni
sikap politik yang konsisten.
Bentuk
dari tidak adanya sikap tatsabbut
salah
satu contohnya tampak pada terbawanya sekian ulama, da'i dan tokoh
masyarakat pada arus permasalahan tauliyatul
mar'ah al imamah
(kepemimpinan wanita) di Indonesia. Mereka terpecah antara pro dan
kontra. Contoh kedua terlihat dari fenomena munculnya kelompok yang
disebut dengan poros tengah. Dan contoh-contoh yang lainnya.
Soal
kepemimpinan wanita kalau hal itu dikembalikan kepada sistem
pemerintahan Islam, maka telah jelas sekali. Yakni sudah ada ittifaq
ulama dalam soal itu. Latahnya adalah ketika hukum tauliyatul
mar'ah al imamah
tersebut dikembalikan kepada bahasan fiqh yang diikhtilafi. Pihak
yang kontra kepemimpinan wanita tampak memberikan sorotan yang seru
dan keras kepada pihak yang pro kepemimpinan wanita. Padahal meminjam
bahasanya Dr. Assayyid Muhammad Alawi Al Maliki Al Hasani, orang
semacam itu mestinya tidak perlu ditanggapi dan dibantah, seperti
ungkapan beliau:
أَقَلُّ
وَأَحْقَرُ مِنْ أَنْ يُرَدَّ عَلَيْهِ
أَوْ يُجَادَلَ
...Dia
lebih sedikit dan lebih hina apabila ditanggapi atau dibantah.1
Latahnya
pula, pihak yang menyoroti kepemimpinan wanita terjebak dan telah
diopinikan sebagai pihak yang mendukung calon pemimpin tertentu,
sehingga argumentasi (baca: fatwa) apapun yang dikeluarkan dianggap
sekedar trik semata-mata untuk menghadang kepemimpinan wanita.
Argumentasi mereka pada akhirnya tidak efektif. Rasanya dengan itu
mereka menghinakan diri (idzlaalun
nafsi),
padahal kaum muslimin itu adalah ummat yang lazimnya memposisikan
diri pada kemuliaan diri (izzatun
nafsi).2
Selain
itu, konsep ajaran agama Islam adalah konsep yang menyeluruh
(kaaffah),
bukan parsial (juz'iyah).
Atas dasar ini kalau memiliki pandangan yang jauh ke depan, kita
mesti berfikir soal sistem di negeri ini. Umpamanya mengapa ummat
Islam yang mayoritas di Indonesia posisinya tidak lebih laksana "anak
ayam yang mati di lumbung padi?" Yakni kita tidak sekedar
berfikir tidak bolehnya wanita menjadi presiden, sementara UUD 45
(dasar sistem di negeri ini) tidak mencantumkan terhalangnya
kepemimpinan wanita. Dengan demikian, rasanya hina sekali apabila
pemikiran cuma tertambat pada kepentingan sesaat sedang kepentingan
yang membawa kebaikan hajat hidup lebih banyak bagi kaum muslimin
ditinggalkan.
Soal
fenomena munculnya poros tengah memberikan ibroh bagi kita akan
kebenaran fakta politik kontemporer bahwa di dalam politik tidak ada
teman abadi ataupun musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan
abadi. Artinya musuh bebuyutan bisa menjadi teman yang karib manakala
ada kepentingan politik yang sama. Apabila kepentingan politik
berbeda, sekalipun teman akan dianggapnya musuh. Sedang dalam Islam
kita dituntut benci dan suka sewajarnya saja.
Pada
kasus poros tengah pula, kita menemui fenomena kekaguman yang
berlebihan kepada figur tertentu (figuritas). Mungkin dasarnya dia
pengikutnya banyak. Cerdasnya bukan main. Dan kegigihannya menegakkan
demokrasi. Padahal kekaguman yang berlebihan pada suatu figur dapat
mengakibatkan kultus individu yang cenderung menampakkan
kelebihan-kelebihan manusia dan menafikan kelemahan-kelemahannya.
Sekian
wujud tidak adanya tatsabbut
pada
strategi politik tersebut di atas adalah akibat yang dibuat landasan
hanyalah rekayasa akal yang penuh liku-liku dan latah laksana ditiup
angin. Rekayasa akal yang hanya berfikir untuk kepentingan sesaat
yang seringkali memerosokkan kita pada lubang-lubang kesalahan.
Padahal kita menginginkan keselamatan hati yang dasarnya dimulai dari
tunduk-patuhnya akal pada hukum-hukum syara'.
Di
sini latar belakangnya mengapa sampai dengan saat ini kita masih
bersikap diam. Kita tidak menampakkan dukungan secara latah terhadap
kelompok atau pihak tertentu. Termasuk umpamanya mengapa kita tidak
latah dengan terang-terangan mendukung pihak yang kontra terhadap
tauliyatul
mar'ah al imamah
dan kelompok poros tengah. Kekhawatiran kita apabila mendukung salah
satu pihak atau kelompok adalah jebakan fanatisme, akibat merasa diri
paling benar. Jika fanatisme ini yang kita dahulukan, tidak mustahil
kita bisa berhadapan dengan pihak atau golongan lain yang juga
sama-sama bagian dari kaum muslimin. Rasulullah saw bersabda:
لَيْسَ
مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ ،
وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى
عَصَبِيَّةٍ ، وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ
مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
Bukan
termasuk golongan kami, orang yang mempropagandakan ashobiyah. Bukan
termasuk golongan kami pula, orang yang berperang atas dasar
ashobiyah. Begitu pun bukan golongan kami, orang yang mati di atas
ashobiyah.3
Sikap
diam inilah sikap politik yang kita pilih untuk saat ini. Diam
sebagai wujud tatsabbut.
Diam bukan berarti ridlo seperti ungkapan: as
sukuut dalilur ridlo.
Namun, diam demi kemaslahatan kaum muslimin. Diam untuk
mengantisipasi terus keadaan. Diam agar bisa berdakwah kepada seluruh
lapisan. Diam untuk keselamatan hati.
Dan
yang penting, diam tidak sekedar diam, tapi diam untuk memobilisasi
energi guna mengembangkan pembinaan pemikiran Islam secara hanif
yang
meliputi 1) pelurusan aqidah, 2) pelurusan suluk
dan 3) pelurusan ilmu pengetahuan. Alloh swt berfirman:
فَأَقِمْ وَحْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا
Maka
hadapkanlah wajahmu kepada agama (Allah) dengan hanif.4
Ketahuilah
politik bukan berharga mati. Diam di sini pun juga adalah bentuk kita
berpolitik. Mudah-mudahan ini adalah bentuk tatsabbut
yang diridloi. Amiin.
والله سبحانه وتعالى أعلم
1Al
Manhalul Lathif, Cet. IV, Jeddah, 1402 H
2Q.S.
Ali Imran: 139
3HR.
Muslim, Abu Dawud, Nasa'i dan Ibnu Majah.
4Q.S.
Ar Ruum: 30