Setiap manusia tidak lepas memiliki naluri
mempertahankan hidup (gharizatul baqo').
Ekspresi dari naluri itu bahwa sejak dahulu manusia memiliki sikap Al
Khauf (takut). Dan adanya sikap ini pada diri
manusia dengan berbagai tingkatannya; sedikit atau banyak, sama
sekali tidak mempengaruhi tingkat keimanan. Namun begitu, sebagaimana
terhadap naluri lawan jenis dan naluri beragama, Islam tidak
melenyapkan sikap itu di satu sisi dan di sisi lain Islam juga tidak
membiarkannya. Islam dengan ajarannya mengarahkan ekspresi naluri itu
kepada jalur yang benar, yaitu hendaknya Al
Khauf tidak menghalangi aktifitas jihad
fi sabilillah.
Dari berbagai bentuk ketakutan-ketakutan yang ada,
sesungguhnya yang paling ditakuti manusia adalah datangnya kematian.1
Al Qur'an menggambarkan bahwa kematian adalah musibah terbesar yang
akan dialami manusia.2
Dari sini meski sadar bahwasannya kematian berada di tangan Allah swt
semata, manusia pada umumnya takut melakukan atau memasuki hal-hal
yang menjadi jalaran datangnya musibah tersebut. Manusia yang tidak
sadar, tentunya akan lebih ketakutan lagi. Karena itu kenyataan
menunjukkan manusia takut dibunuh, takut disantet, takut diculik,
takut diteror, dan lain sebagainya. Ini semua manusiawi, asal tidak
berlanjut menjadi sifat Jubn
(lemah, bahasa Jawa: jerih)
Kepada kaum muslimin, khususnya kepada mereka yang
berniat menjadi da'i, Islam mengarahkan hendaknya jangan takut mati
manakala berdakwah di jalan Allah swt. Karena menurut para Ulama,
mati tidak lebih adalah terputusnya hubungan ruh dengan badan;
pergantian suasana; atau perpindahan dari rumah satu ke rumah yang
lain.3
Mati bahkan adalah penghapus dosa bagi setiap orang Islam.4
Dalam berdakwah tidak boleh berharap bertemu musuh, tetapi jika
bertemu, tawakkal dan bersabarlah. Berlari saat bertemu musuh (Al
Firor minaz Zahfi) adalah dosa besar dan
termasuk perbuatannya orang-orang munafiq.
Arahan di atas memang tampak agung, namun amat berat
rasanya. Tetapi di balik itu Allah swt menyediakan balasan yang luar
biasa bagi da'i yang mati syahid.5
Kelak ruhnya berada pada burung hijau yang memiliki lampu-lampu
bergantungan di Arasy yang membawanya pergi dari surga kemana
disukai.6
Nilai-nilai inilah yang mendorong para sahabat menyingkirkan
perasaan takutnya manakala genderang jihad telah ditabuh bertalu-talu
dengan penuh ketegaran. Sampai-sampai menjelang jihad yang paling
sulit; peperangan Badar sekali pun mereka dahului dengan sikap kantuk
massal. Sahabat Abu Tholhah bercerita: "Aku
termasuk salah seorang yang dilanda kantuk berat, sampai pedangku
lepas dari tanganku berulang-ulang. Tiap kali jatuh aku ambil. Jatuh
lagi aku ambil lagi dan seterusnya."
Sahabat Abdullah bin Mas'ud berkata:
النُّعَاسُ
فِى الْقِتَالِ مِنَ اللهِ وَ فِى
الصَّلاَةِ مِنَ الشَّيْطَانِ
Kantuk dalam peperangan itu dari Allah swt sedang
kantuk dalam sholat itu dari setan.
Ketidaktakutan pada kematian di atas tentu pas apabila
diaktualisasikan pada saat merebak upaya teror dan isu penculikan
aktifis pembinaan Islam yang langsung atau tidak langsung berkait
dengan strategi Yahudi dan Nasrani memecah belah ummat Islam itu.
Kondisi yang mengarah pada percaturan siasah yang cenderung kotor7
ini menuntut kita semuanya membangkitkan sifat syajaa'ah
(yang adil). Dalam arti sikap khouf
jangan dijadikan alasan misalnya untuk tidak aktif mengaji,
meliburkan pembinaan dan mengurung diri di dalam rumah. Jika
pasifitas ini yang dipilih, dikhawatirkan proses dakwah membina ummat
yang teramat penting justru mengalami kemunduran. Sebuah kondisi yang
diharapkan oleh musuh-musuh Islam. Padahal -jika tidak salah- inilah
kesempatan tepat untuk mulai memasukkan materi pendidikan sabar,
tawakkal dan syajaa'ah
serta dzikir-dzikir, sehingga terbentuk kader untuk kejayaan Islam.
Toh kita tidak akan mati, jika ajal belum waktunya. Allah swt
berfirman:
وَلاَ
تَهِنُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَنْتُمُ
اْلأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِـْينَ
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah kamu
bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling berjaya, jika
kamu orang-orang yang beriman.8
*****
Sikap At Tawaqquf
yang kita telurkan sebagai ijtihad Jama'ah menyikapi kondisi siasah
yang cenderung mengabaikan akhlakul karimah saat ini, seperti tidak
ikut (mendukung) partai berbasis ummat Islam dan menghindari adanya
tanaazu' kerapkali
menimbulkan berbagai pertanyaan, apalagi ketika partai politik saat
ini disebut-sebut sebagai sarana perjuangan Islam di pentas nasional
yang efektif, sementara Jama'ah Dakwah ini prioritasnya hanya
Tafaqquh Fiddin. Pertama,
Jamaah Dakwah ini tidak bergerak dengan menjadikan waaqi'atul
haal (kondisi yang ada) sebagai dalil,
sehingga hukum dibuat lentur menurut zaman dan tempat.
Kedua,
khitthoh (garis
perjuangan) Jamaah Dakwah sekaligus konsep-konsepnya selama ini
insya'allah ijtihadnya berdiri di atas landasan Al Qur'an dan As
Sunnah. Sehingga ia adalah hukum syara' yang di situ terdapat
maslahah, yang mengikat setiap anggota Jama'ah. Ketiga,
dengan hasil ijtihad ini, Jama'ah Dakwah tidak berarti menyalahkan
ijtihad jama'ah atau indifidu lain yang berbeda.
Mudah-mudahan dua sikap ini (Al
Khouf tidak menjadi alasan menghentikan
aktifitas Dakwah dan keteguhan dalam At
Tawaqquf), menjadi modal kita semua
menghadapi kondisi fitnah dalam percaturan siasah
sekarang ini.
والله
سبحانه وتعالى أعلم
1
Kematian disebut juga Al Wafaatul Kubro atau Al Qiyamah As Shughro.
"... Lalu kamu ditimpa
musibah kematian." Lihat Al Qur'an surat Al Maidah: 106.
3
Menurut para Ulama:
الموت
ليس بعدم محض ولافناء صرف وإنما هو انقطاع
تعلق الروح بالبدن ومفارقته وتبدل حال
وانتقال من دار إلى دار
Lihat At Tadzkiroh fi Ahwaal Al
Mautaa wa Umuur Al Akhiroh; Al Qurthuby: 4 dan Arruh; Ibnu Qayyim Al
Jauziyyah: 45.
4
Hadits: كفارة لكل مسلم
الموت
"Mati adalah penghapus dosa bagi setiap
orang Islam." HR. Abu Nu'aim. Menurut Ibnu Al Aroby, hadits ini
shohih-hasan.
5
Menurut riwayat Imam Ibnu Majah dan Imam At Tirmidzi, orang yang
mati syahid mendapatkan enam perkara di sisi Allah swt: 1) Diampuni
dosanya bersamaan memancurnya tetesan darah pertama kali. 2)
Diperlihatkan kedudukannya di surga. 3) Diselamatkan dari siksa
kubur dan diberikan keamanan pada hari qiamat. 5) Diletakkan pada
kepalanya mahkota kebesaran. 6) Dinikahkan dengan 72 istri dari
kalangan bidadari. Lihat Arruh: 100.
6
Lihat tafsiran surat Ali Imron: 169 pada tafsir Ibnu Katsir I/523.
7
Prof. Dr. Assayyid Muhammad Alawi Al Maliki Al Hasani menyebut
siasah ada dua. Pertama; As Siasah Al Aadilah. Kedua; As Siasah Al
Baathilah. As Siasah Al Bathilah yaitu politik yang tidak
menyertakan akhlakul karimah, atau politik yang bertentangan dengan
syara'. Lihat Arrisalah Al Islamiyah: 57
8
QS. Ali Imron: 139.