Tak selamanya bermain menimbulkan dampak buruk bagi anak. Bila orangtua dan guru pandai mengarahkannya, ada manfaat besar yang tersembunyi dalam permainan.
Suara bel berdering panjang, pertanda jam istirahat sekolah. Bagai gerombolan laron, para siswa SDIT di suatu tempat berhamburan keluar kelas. Sebagian ada yang langsung menuju kantin.Ada beberapa siswa yang bercengkrama di sepanjang teras kelas. Ada pula yang turun ke lapangan, asyik dengan berbagai permainan.
Bermain selalu identik dengan dunia anak. Hal yang satu ini tak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Permainan akan memberikan kesenangan kepada anak. Lebih-lebih bila di dalamnya ayah dan ibu berperan. Mungkin bentuknya sekadar melempar bola pada si kecil, mengekspresikan kekaguman atas karya sulam putrinya, menambahkan garis pada gambar yang dibuat anaknya, menemani putrinya bermain drama cilik dan sebagainya. Bila anak dibiasakan bermain secara kolektif, tidak sendiri-sendiri, tak hanya bermain ia juga akan belajar bagaimana hidup bersama.
Banyak para orang tua yang gelisah melihat fenomena negatif pada anak-anak yang biasa bermain perang-perangan. Perilaku agresif dan asosial itu makin parah setelah si anak menonton film-film kartun yang menggambarkan perkelahian dan permusuhan. Peran serta orangtua dalam mengarahkan anak-anaknya bermain jangan sampai diabaikan.
Seringkali ada anggapan, anak yang terlalu banyak bermain adalah sinonim anak pemalas atau bodoh. Padahal tidak demikian. Anggapan semacam ini kurang bijaksana. Dr. Muhammad Muadz, SpKj, konsutan psikologi Rumah Sakit Islam Jakarta, menanggapi masalah ini sangat serius. Menurutnya, dari sudut pandang ilmu psikologi, permainan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak, meski tak dinafikan ada pula efek buruknya bila anak dalam bermain tanpa mendapatkan pengarahan dan bimbingan orangtua.
Suara bel berdering panjang, pertanda jam istirahat sekolah. Bagai gerombolan laron, para siswa SDIT di suatu tempat berhamburan keluar kelas. Sebagian ada yang langsung menuju kantin.
Bermain selalu identik dengan dunia anak. Hal yang satu ini tak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Permainan akan memberikan kesenangan kepada anak. Lebih-lebih bila di dalamnya ayah dan ibu berperan. Mungkin bentuknya sekadar melempar bola pada si kecil, mengekspresikan kekaguman atas karya sulam putrinya, menambahkan garis pada gambar yang dibuat anaknya, menemani putrinya bermain drama cilik dan sebagainya. Bila anak dibiasakan bermain secara kolektif, tidak sendiri-sendiri, tak hanya bermain ia juga akan belajar bagaimana hidup bersama.
Banyak para orang tua yang gelisah melihat fenomena negatif pada anak-anak yang biasa bermain perang-perangan. Perilaku agresif dan asosial itu makin parah setelah si anak menonton film-film kartun yang menggambarkan perkelahian dan permusuhan. Peran serta orangtua dalam mengarahkan anak-anaknya bermain jangan sampai diabaikan.
Seringkali ada anggapan, anak yang terlalu banyak bermain adalah sinonim anak pemalas atau bodoh. Padahal tidak demikian. Anggapan semacam ini kurang bijaksana. Dr. Muhammad Muadz, SpKj, konsutan psikologi Rumah Sakit Islam Jakarta, menanggapi masalah ini sangat serius. Menurutnya, dari sudut pandang ilmu psikologi, permainan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak, meski tak dinafikan ada pula efek buruknya bila anak dalam bermain tanpa mendapatkan pengarahan dan bimbingan orangtua.
"Anak yang pada masa kecilnya selalu dikekang dari dunianya (bermain), ia mengalami ketidakbahagian. Ini sangat berbahaya sekali bagi tumbuh kembang kepribadian anak. Jangan heran kalau akhirnya buah hati kita ini akan menjadi insan yang kaku. Saya sering menemukan, banyaknya kasus lemahnya mentalitas orang dewasa, salah satu penyebabnya bermula dari kehidupan masa kecil yang tak bahagia," tegas Muhammad Muadz.
Fasli Jalal, Direktur Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam sebuah seminar bertema "Stimulasi Otak dan Pembentukan Budi Pekerti pada Anak Usia Dini" di Jakarta, juga memandang pentingnya ajang bermain itu bagi anak. Menurutnya, anak harus selalu diberikan peluang untuk bereksplorasi dan melakukan kegiatan fisik. Itu sangat bermanfaat sekali bagi pencapaian kesiapan akademik dan belajar. "Kegiatan fisik dan eksplorasi yang dilakukan anak merupakan sarana pembelajaran. Tidak heran jika anak yang tak seimbang dalam melakukan kegiatan fisik dan eksplorasi kognitif kelak bisa mengalami kesulitan dalam belajar," tanggap Fasli Jalal.
Seminar yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Semarak Anak Dini Usia dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional juga menghadirkan pembicara Sri Nilawati dari Program Studi Ilmu Kedokteran Olahraga, Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia . Sri Nilawati mengingatkan, pada umumnya anak secara spontan bermain atau berpartisipasi dalam kegiatan fisik. Partisipasi yang dilakukan tentu saja sesuai dengan tingat kemampuan dan keterampilannya. Secara alamiah, energi dan antusiasme anak dapat
disalurkan menjadi suatu pengalaman sehingga anak belajar. Misalnya, bagaimana ia berinteraksi dengan sesamanya dalam permainan atau aktivitas fisik lainnya. "Anak perlu memahami bahwa sejumlah keterampilan bila dilakukan bersamaan dapat menjadi permaian yang menyenangkan," kata Sri.
Menurut Sri Nilawati, proses perkembangan anak yang normal memang membutuhkan gerak. Anak yang aktif secara fisik akan memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai gerakan yang mungkin bisa dilakukan dalam suatu pengalaman aktivitas fisik. Oleh karena itu, anak perlu diperkenalkan dengan berbagai variasi pengalaman gerak melalui permainan, seperti berjalan, melompat, melempar, gerakan mata, keseimbangan, dan sebagainya. "Bahkan, kegiatan menulis sebenarnya merupakan akumulasi berbagai aktivitas fisik yang terjadi pada otot dan ribuan pengalaman sebelumnya," ujar Sri Nilawati.
Dr. H. Muhammad Muadz mengimbau setiap orangtua untuk lebih mendorong anak-anaknya melakukan kegiatan bermai yang kreatif dan inofatif. Tapi, terkadang hal itu sulit dilakukan kalau pada diri sianak terdapat kendala untuk bermain. Untuk itu orangtua hendaknya memperhatikan beberapa faktor penting yang mempengaruhi permainan anak, di anatanya sebagai berikut.
Pertama, faktor kesehatan.
Fasli Jalal, Direktur Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam sebuah seminar bertema "Stimulasi Otak dan Pembentukan Budi Pekerti pada Anak Usia Dini" di Jakarta, juga memandang pentingnya ajang bermain itu bagi anak. Menurutnya, anak harus selalu diberikan peluang untuk bereksplorasi dan melakukan kegiatan fisik. Itu sangat bermanfaat sekali bagi pencapaian kesiapan akademik dan belajar. "Kegiatan fisik dan eksplorasi yang dilakukan anak merupakan sarana pembelajaran. Tidak heran jika anak yang tak seimbang dalam melakukan kegiatan fisik dan eksplorasi kognitif kelak bisa mengalami kesulitan dalam belajar," tanggap Fasli Jalal.
Seminar yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Semarak Anak Dini Usia dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional juga menghadirkan pembicara Sri Nilawati dari Program Studi Ilmu Kedokteran Olahraga, Fakultas Kedokteran Universitas
Menurut Sri Nilawati, proses perkembangan anak yang normal memang membutuhkan gerak. Anak yang aktif secara fisik akan memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai gerakan yang mungkin bisa dilakukan dalam suatu pengalaman aktivitas fisik. Oleh karena itu, anak perlu diperkenalkan dengan berbagai variasi pengalaman gerak melalui permainan, seperti berjalan, melompat, melempar, gerakan mata, keseimbangan, dan sebagainya. "Bahkan, kegiatan menulis sebenarnya merupakan akumulasi berbagai aktivitas fisik yang terjadi pada otot dan ribuan pengalaman sebelumnya," ujar Sri Nilawati.
Dr. H. Muhammad Muadz mengimbau setiap orangtua untuk lebih mendorong anak-anaknya melakukan kegiatan bermai yang kreatif dan inofatif. Tapi, terkadang hal itu sulit dilakukan kalau pada diri sianak terdapat kendala untuk bermain. Untuk itu orangtua hendaknya memperhatikan beberapa faktor penting yang mempengaruhi permainan anak, di anatanya sebagai berikut.
Pertama, faktor kesehatan.
Kondisi tak sehat, baik jasmani maupun rohani sangat mempengaruhi kurangnya energi anak dalam bermain.
Kedua, faktor intelegensi.
Anak-anak yang cerdas lebih aktif dibandingkan dengan anak-anak yang kurang cerdas. Anak-anak yang cerdas lebih menyenangi permainan-permainan yang bersifat intelektual atau permainan yang banyak merangsang daya berpikir mereka, misalnya permainan drama, menonton film, atau membaca bacaan bacaan yang bersifat intelektual.
Ketiga, faktor jenis kelamin.
Ketiga, faktor jenis kelamin.
Keempat, faktor lingkungan.
Anak yang dibesarkan di lingkungan yang kurang sarana bermainnya, akan menimbulkan aktivitas bermain anak menjadi berkurang.
Kelima, status sosial ekonomi.
Anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga berekonomi tinggi, lebih banyak tersedia alat-alat permainan yang lengkap dibandingkan dengan anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang berekonomi lemah. Tapi meski pun begitu, ada nilai positif dan negatifnya. Anak yang serba dimanjakan untuk dibelikan berbagai alat-alat permainan, akan selalu bergeming dalam ketidakmandirannya hingga ia dewasa. Sedang orangtua yang sibuk dengan urusannya sendiri, sudah saatnya peduli dengan salah satu kebutuhan anak, yaitu bermain. Jangan lupa, bermain mempengaruhi tumbuh kembangannya anak, baik secara fisik, terapi, pengetahuan anak, kreativitas anak, perilaku sosial dan yang lebih penting, nilai moral.